Liputan6.com, Jakarta - Pada momentum perayaan hari jadinya 9 September 2016, Korea Utara menggelar uji coba nuklir. Sejumlah pihak menduga, Pyongyang akan kembali melakukannya pada tahun ini.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan sejumlah pejabat Korea Selatan yang mengatakan, Korut telah memindahkan rudal balistik antarbenua ke arah pantai barat negaranya -- salah satu situs uji coba rudal Korut berada.
Perdana Menteri Korsel Lee Nak-yon memprediksi, Korut akan meluncurkan rudal balistik antarbenua (ICBM) di tengah hari berdirinya negara itu. Jika bukan pada 9 September, misil diperkirakan akan mengudara pada 10 September 2017, saat Korut merayakan ulang tahun Partai Pekerja yang berkuasa.
Advertisement
Baca Juga
Namun, Korut "mengurungkan" niat untuk meluncurkan rudalnya. Badai Matahari disebut-sebut membuat negara yang terisolasi itu gagal mewujudkan rencananya.
Salah satu pihak yang mengaitkan badai Matahari dengan gagalnya peluncuran rudal Korut adalah konsultan kedirgantaraan Nexial Research di Tokyo, Lance Gatling. Ia menyebut bahwa efek badai Matahari mungkin menghentikan niat Kim Jong-un untuk melepaskan rudal antarbenua.
Pasalnya, erupsi massa dan energi dari Matahari berpotensi menimbulkan ancaman pada perangkat teknologi. Misil Korut bisa saja kehilangan data dan perlengkapan pendukungnya. Jika itu terjadi, rudal itu bakal tak terkendali.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin. Kepada Liputan6.com, ia menjelaskan efek Badai Matahari terhadap rudal.
"Badai Matahari bisa berpengaruh pada medan magnet dan ionosfer. Kalau sistem kendalinya memanfaatkan medan magnet Bumi, sangat mungkin navigasi rudal akan terganggu," ujar Thomas.
Namun, Thomas tidak dapat memastikan bahwa Korea Utara mengurungkan niatnya untuk meluncurkan rudal akibat badai Matahari. "Tetapi alasan sesungguhnya saya tidak mengetahuinya," kata dia.
Menurut pusat penelitian cuaca antariksa di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), saat ini badai Matahari yang terjadi berada di level G4 -- masuk kategori parah.
Dampaknya bisa berimbas pada sistem tenaga listrik, operasi pesawat antariksa, dan lainnya. Di sisi lain, radiasi elektromagnetik yang diakibatkan bisa memicu munculnya tarian aurora yang indah di langit dekat kutub.
Â
Badai Matahari dan Dampaknya pada Bumi
Badan Antariksa Amerika Serikat mengabadikan penampakan suar matahari (solar flare) di Zona Aktif 2673 (AR 2673) pada Jumat, 8 September 2017 -- yang menjadi ledakan radiasi berenergi paling tinggi keenam sejak Senin, 4 September lalu. Para ilmuwan mengklasifikasikannya dalam kategori M8,1.
Namun, kekuatannya kalah besar dari yang terjadi pada Rabu, 6 September 2017, yang masuk kategori "monster", dengan kekuatan X9,3 -- merupakan suar surya paling kuat sejak 2005.
Suar surya yang kuat kerap disertai lontaran massa korona atau coronal mass ejections (CME), erupsi yang mengirimkan awan plasma Matahari superpanas ke angkasa, beberapa juta mil per jam.
CME yang menghantam ke Bumi dapat memicu badai geomagnetik, yang dapat mengganggu jaringan listrik dan komunikasi satelit, meski sifatnya sementara.
Sebelumnya, NASA mengatakan, pada 23 Juli 2012, Bumi nyaris terkena lontaran massa korona, dari badai Matahari paling kuat dalam kurun waktu 150 tahun.
Meski luput mengenai planet manusia, badai Matahari menghantam satelit Solar Terrestrial Relations Observatory (STEREO-A) milik badan antariksa itu.
Satu-satunya yang sebanding dengan CME pada Juli 2012 adalah peristiwa Carrington Event yang terjadi pada September 1859. Suar awalnya secara langsung diamati oleh astronom Inggris, Richard Carrington.
Kala itu sejumlah CME berkekuatan tinggi menghantam Bumi selama beberapa hari berturut-turut. Northern Lights atau aurora memanjang hingga selatan Kuba. Saluran telegraf global terputus, bahkan memicu api yang membakar sejumlah kantor telegraf.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement