Badai Matahari Dahsyat Mengawali Pembentukan Kehidupan di Bumi?

Menurut ilmuwan NASA, Matahari besar pada 4 miliar tahun lalu mengubah partikel di Bumi dan membuat munculnya kehidupan.

oleh Citra Dewi diperbarui 25 Mei 2016, 19:15 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2016, 19:15 WIB
Ilustrasi badai Matahari
Ilustrasi badai Matahari (NASA's Goddard Space Flight Center/Genna Duberstein).

Liputan6.com, Greenbelt - Pada masa 'remaja' Bumi, sekitar 3,9 miliar tahun lalu, gonjang-ganjing terjadi di Tata Surya. Ledakan dahsyat terjadi, planet manusia dibombardir komet dan asteroid.

Bumi dibuat bopeng bukan kepalang. Namun, dari peristiwa kolosal tersebut kehidupan akhirnya muncul -- setidaknya itu yang dikatakan para ilmuwan.

Namun, sebuah studi terbaru yang dipublikasi di jurnal Nature Geoscience, meyakini bahwa kehidupan di Bumi terbentuk karena badai Matahari besar yang terjadi pada jutaan tahun lalu.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hasil penelitian tersebut, akan lebih baik jika kita mengenal beberapa istilah seperti badai Matahari, solar flare, dan lontaran massa korona atau CME.

Badai Matahari adalah gabungan dari solar flare yang disebabkan oleh partikel bermuatan, biasanya elektron, dengan materi plasma Matahari. 

Dilansir dari India Today, aktifitas magnetik yang menjalankan reaktor inti Matahari menyebabkan percepatan partikel tersebut.

Istilah lain, yakni solar flare, merupakan ledakan intens radiasi dari pelepasan energi magnetik yang berhubungan dengan titik hitam Matahari.

Sedangkan lontaran massa korona atau corona mass ejection (CME) adalah ledakan besar angin surya, plasma isotop cahaya lain, dan medan magnet, yang melontar di atas korona Matahari atau dilepaskan ke angkasa.

Aktifitas Bintang 'Bayi'

Menurut para peneliti, pada 4 miliar tahun lalu sering terjadi badai Matahari. Peristiwa tersebut diduga dapat menghangatkan Bumi dan terjadinya kehidupan pun dimulai.

Namun, terdapat fakta yang membingungkan ilmuwan, yakni organisme pertama muncul di Bumi terjadi pada 4 miliar tahun lalu, saat cahaya Matahari hanya sekitar 70 persen dibanding saat ini.

"Hal tersebut berarti, dulunya Bumi adalah bola es," ujar ketua studi serta ilmuwan Goddard Space Flight Center NASA, Vladimir Airapetian.

Lontaran massa korona atau CME yang terjadi di Matahari (NASA).

"Sebaliknya, bukti geologi mencatat bahwa Bumi adalah bola hangat mengandung air. Kami menyebutnya sebagai Faint Young Sun Paradox," tambahnya.

Atas paradoks tersebut, Aiapetian dan rekan penelitinya memiliki penjelasan dengan menganalisis observasi yang dilakukan oleh Teleskop Kepler miilk NASA.

Menurut data Kepler, bintang baru biasanya sangat aktif, serta meledakkan solar flare dan CME yang lebih sering dibanding bintang yang telah berumur.

Penampakan solar flare di Matahari (NASA).

Sebagai contoh, Matahari biasanya meledakkan super flare setiap 100 tahun sekali. Namun pada bintang baru, ledakkan besar tersebut dapat terjadi 10 kali dalam sehari.

"Penelitian terbaru menunjukkan bahwa badai matahari menjadi pusat pemanasan Bumi," ujar Airapetian.

Efek pemanasan terjadi secara tak langsung melalui perubahan kimia di atmosfer. Sekitar 4 juta tahun lalu, atmosfer Bumi terdiri dari 90 persen molekular nitrogen--terdiri dari dua atom nitrogen yang terikat, sekarang jumlahnya telah turun hingga 78 persen.

Teori Terbentuknya Kehidupan di Bumi

Teori Terbentuknya Kehidupan di Bumi

Berdasarkan penjelasan peneliti, pada 4 miliar tahun lalu partikel yang diledakkan badai Matahari dapat menembus ke dalam atmosfer Bumi karena medan magnet relatif lebih lemah.

Dikutip dari LiveScience, Rabu (25/5/2016), menembusnya partikel tersebut merusak molekul ganda nitrogen dan mengubahnya menjadi atom tunggal yang mengakibatkan terpecahnya molekul karbon dioksida menjadi karbon monoksida dan oksigen atomik.

Nitogen dan oksigen yang mengambang bebas tersebut kemudian berkombinasi menjadi nitrous oksida -- gas rumah kaca yang 300 kali lebih kuat dari karbon dioksida.

"Perubahan kimia atmosfer berubah membuat perubahan Bumi," ujar Airapetian.

CME yang menghantam Bumi dapat memicu badai kuat geomagnetik dan dapat mengganggu jaringan listrik serta satelit navigasi. Selain itu, hal tersebut juga menyuguhkan penampilan aurora yang indah.

Aurora terjadi karena interaksi antara medan magnetik dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari (NASA/ Hugo Løhre).

Saat ini, aurora hanya dapat disaksikan secara terbatas pada bagian Bumi dengan lintang tinggi, karena saluran medan magnet Bumi yang kuat menggiring partikel matahari ke arah kutub.

Namun jutaan tahun lalu aurora dapat dilihat di banyak bagian Bumi, karena kuatnya badai Matahari dan rendahnya medan magnet.

"Perhitungan kami menunjukkan bahwa kalian akan dapat melihat aurora di AS bagian selatan seperti South Carolina," jelas Airapetian jika keadaan Bumi masih seperti jutaan tahun lalu.

Partikel Matahari yang melesat cepat juga diduga menjadi sumber energi yang dibutuhkan untuk mengubah molekul sederhana menjadi komponen organik rumit seperti DNA dan RNA.

Namun hal tersebut bukan berarti badai Matahari dalam jumlah besar baik untuk kehidupan karena dapat merusak atmosfer Bumi terutama jika tak memiliki medan magnet yang kuat.

Ilustrasi Bumi (NASA)

"Kami ingin mengumpulkan seluruh informasi ini -- bagaimana kedekatan planet dengan bintangnya, besarnya aktifitas bintang, dan seberapa kuat magnetosfer Bumi -- untuk mencari planet yang dapat dihuni di sekitar bintang dan diseluruh galaksi," ujar rekan peneliti sekaligus peneliti utama di NASA Goddard, William Danchi.

"Pekerjaan ini melibatkan ilmuwan dari banyak bidang -- mereka yang mempelajari Matahari, bintang, planet, kimia, dan biologi," tambah Danchi.

"Dengan bekerja sama, kami dapat menciptakan deskripsi yang kuat tentang bagaimana penampakan Bumi ketika awal terbentuk dan di mana kehidupan lainnya dapat terjadi," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya