Ini Ancaman Korut jika DK PBB Jatuhkan Sanksi Baru

AS mengajukan rancangan sanksi baru yang lebih berat terhadap Korut. Korut pun melontarkan ancaman terkait hal tersebut.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 11 Sep 2017, 18:45 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2017, 18:45 WIB
Kim Jong-un Tinjau Pembuatan Bom Hidrogen
Pemimpin Korut, Kim Jong-un berbincang dengan para peneliti mengenai program senjata nuklir saat meninjau pembuatan bom hidrogen yang dapat dimasukkan ke dalam rudal balistik antarbenua pada 3 September 2017. (AFP Photo/Kcna Via Kns/Str)

Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara mengancam akan memberikan Amerika Serikat balasan dengan "harga yang sama" jika rancangan sanksi baru yang digagas Washington disetujui oleh Dewan Keamanan PBB.

"Republik Rakyat Demokratik Korea siap dan akan menggunakan cara-cara terbaiknya. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Korut akan menyebabkan rasa sakit dan penderitaan terbesar yang pernah dialami AS sepanjang sejarah," demikian pernyataan Korut yang dimuat dalam media pemerintah seperti dikutip dari CNN pada Senin (11/9/2017).

Sanksi baru yang diajukan oleh AS akan dihadapkan pada pemungutan suara pada Senin waktu New York. Sejumlah poin yang terdapat dalam resolusi tersebut antara lain embargo minyak, larangan mempekerjakan buruh asal Korut, larangan membeli ekspor tekstil, dan pembekuan aset Kim Jong-un, pemimpin negara itu.

Meski digagas oleh AS, sanksi tersebut dapat diveto oleh China dan Rusia yang telah mengungkapkan skeptisisme mereka atas tindakan keras terhadap Korut.

AS dan sekutunya telah menyerukan langkah tegas terhadap Korut menyusul uji coba nuklir terakhir berupa bom hidrogen yang dilakukan rezim Kim Jong-un pada Minggu 3 September. Bom hidrogen tersebut dikabarkan berkekuatan lebih dari 100 kiloton atau dapat disebut berkali-kali lebih kuat dibanding uji coba nuklir Korut sebelumnya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang Kyung-wha mengatakan bahwa senjata nuklir Korut adalah tantangan terbesar bagi hubungan luar negeri dan keamanan negara itu. Meski demikian, Menlu Kang menambahkan, baik Korsel maupun AS akan menjalankan kebijakan "menanggapi provokasi dengan tegas melalui sanksi keras dan di lain sisi tetap membuka pintu dialog".

Di tengah ancaman sanksi yang lebih keras, atmosfer di Korut masih diliputi kebanggaan akan keberhasilan uji coba nuklir terakhir. Tepat di hari jadi Korut ke-69, digelar sebuah perjamuan mewah untuk menandai kesuksesan para ilmuwan nuklir Korut.

Warga Korut dilaporkan tidak terlalu ambil pusing dengan ancaman sanksi lebih lanjut yang dilontarkan AS.

"Kami tahu AS mungkin akan menjatuhkan lebih banyak sanksi tapi tanggapan kami sebagai warga Korut adalah kami akan terus menembakkan lebih banyak rudal dan melakukan lebih banyak uji coba bom hidrogen," ujar seorang warga bernama Han Myong-sim kepada CNN.

Seorang warga lainnya bernama Ri Jong-ok mengatakan, "Kami tidak terlalu khawatir. Selama kami memiliki Kim Jong-un, kami akan bertahan".

Sanksi Terberat Menanti

Rancangan resolusi terbaru yang tengah menanti diputuskan, kelak akan menjadi sanksi terberat bagi Korut. Sanksi tersebut ditujukan untuk membatasi keuangan Korut dengan harapan dapat menghentikan program nuklir dan rudal mereka.

Sejauh ini tidak jelas apakah China akan mendukung sanksi tersebut. Menlu Tiongkok Wang Yi mengatakan bahwa DK PBB harus membuat respons lebih lanjut, namun ia tidak menjelaskannya secara rinci.

Rusia juga berpotensi memveto resolusi tersebut mengingat Presiden Vladimir Putin mengajukan perundingan diplomatik sebagai solusi menyelesaikan krisis nuklir Korut. Putin menegaskan bahwa sanksi dan tekanan tidak cukup untuk mengakhiri ketegangan.

Perhatian terhadap krisis nuklir di Semenanjung Korea juga menjadi fokus sejumlah pemimpin Eropa. Presiden Prancis Emmanuel Macron dilaporkan telah berbicara via telepon dengan Presiden Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe untuk membahas sanksi baru terhadap Korut.

"Mereka mendiskusikan reaksi tegas dan solid terhadap provakasi berulang-ulang dari Korut karena ini merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan dunia," demikian pengumuman pihak Istana Elysee mengomentari pembicaraan Trump dan Macron.

Kanselir Jerman Angela Merkel, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Jerman, mengatakan bahwa dirinya siap jika diminta untuk membantu mengakhiri krisis nuklir Korut.

Merkel merujuk kesepakatan Barat dengan Iran yang dinilainya juga dapat ditawarkan terhadap Korut. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Iran setuju untuk mengurangi program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi.

"Saya bisa membayangkan format seperti itu digunakan untuk mengakhiri konflik Korea Utara. Eropa dan Jerman khususnya harus siap memainkan peran yang sangat aktif dalam hal itu," kata Merkel kepada Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya