19-9-2006: Saat Tank Berjejer di Bangkok, Tanda Kudeta Thailand

Hari ini, 11 tahun yang lalu, militer Thailand melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 19 Sep 2017, 06:00 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2017, 06:00 WIB
Tank berjejer di sudut jalan Kota Bangkok saat kudeta Thailand 2006 (Wikimedia Commons)
Tank berjejer di sudut jalan Kota Bangkok saat kudeta Thailand 2006 (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Bangkok - Hari ini, 11 tahun yang lalu, militer Thailand melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Perwira tinggi angkatan bersenjata Negeri Gajah Putih mengirim sejumlah tank, kendaraan tempur, dan ribuan personel di setiap sudut Ibu Kota Bangkok.

Aksi kudeta itu diinisiasi oleh Dewan Reformasi Politik, yang terdiri dari sekelompok militer dan kepolisian negara yang mengaku sebagai pro-Raja Bhumibol Adulyadey. Mereka dipimpin oleh panglima angkatan bersenjata Letnan Jenderal Sonthi Boonyaratglin.

Tak lama setelah itu, Letjen Sonthi mengumumkan penangguhan Konstitusi Thailand, memberlakukan status darurat militer, dan membentuk rezim junta sementara untuk seluruh kawasan Thailand. Demikian seperti dikutip dari The Guardian (19/9/2017).

"Pemerintah saat ini tak lagi memerintah negara. Militer untuk sementara mengambil alih kekuasaan untuk sementara dan sesegera mungkin akan mengembalikannya kepada masyarakat," jelas juru bicara militer Thailand Kolonel Akara Chitroj.

PM Thaksin --yang saat itu tengah berada di New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB-- merespons peristiwa itu dengan menyatakan pemecatan terhadap Letjen Sonthi serta turut menetapkan status darurat untuk Negeri Gajah Putih. Pernyataan itu --meski hanya berisi suara sang PM-- disiarkan langsung dari New York ke Thailand.

"Perdana Menteri, dengan persetujuan kabinet, mendeklarasikan status darurat di Bangkok," ujar PM Thaksin.

Akan tetapi, militer justru menyebut, PM Thaksin tak akan kembali untuk sementara waktu, tanpa mengelaborasi lebih detail mengenai informasi tersebut. Saat itu diduga, sang perdana menteri ditetapkan sebagai persona non grata (individu yang tidak diinginkan) oleh junta.

Tak lama setelah Letjen Sonthi menyampaikan pengumuman, televisi nasional kemudian menyebarkan informasi yang menyebut bahwa tentara dan polisi telah berhasil menguasai Bangkok dan provinsi sekitar tanpa adanya perlawanan.

"Demi keamanan dan ketertiban, diharapkan agar setiap publik bekerja sama mentaati status darurat. Kami mohon maaf atas segala ketidaknyamanan ini," jelas pernyataan tertulis yang disiarkan melalui saluran televisi nasional.

Tayangan yang disiarkan oleh militer itu juga menyebut bahwa wewenang kepala negara akan sementara beralih ke Raja Bhumibol. Meski begitu, sepanjang peristiwa itu berlangsung, tak ada tanda-tanda keterlibatan keluarga monarki dalam proses kudeta tersebut.

Menurut pemimpin kudeta Letjen Sonthi, aksi 'reformasi' itu dilakukan karena pemerintahan PM Thaksin telah memecah belah negara serta membiarkan korupsi tumbuh subur di Thailand. Memang, sejak menjabat sebagai PM pada 2001 dan kemudian kembali terpilih pada 2005, Thaksin serta keluarga kerap dituduh terlibat dalam rasuah juga kasus penghindaran pajak --senilai US$ 2 juta.

Sepanjang kudeta berlangsung, komunitas internasional cenderung mengambil sikap bergeming. Amerika Serikat misalnya, melalui Kementerian Luar Negeri-nya, mengaku hanya memantau dan mengobservasi peristiwa tersebut.

Sejak kudeta 2006, PM Thaksin berstatus sebagai pelarian di luar negeri serta menghindari vonis korupsi dari Mahkamah Agung Thailand. Ia tinggal di Dubai dan memiliki kediaman di London Inggris.

Pemerintahan Negeri Gajah Putih kemudian dikembalikan kepada sipil dengan Surayud Chulanont --purnawirawan tentara-- menjadi PM pengganti Thaksin. Dan, sejak 2006, kehadiran militer di seluruh aspek pemerintahan Thailand, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sedemikian santer terasa, menjadikan negara dengan Ibu Kota Bangkok itu dikendalikan oleh junta.

Sejarah lain mencatat pada 19 September 1989, pesawat maskapai Prancis UTA Flight 772 meledak dibom sekelompok teroris. Pesawat hancur berkeping. Serpihannya jatuh di Gurun Tunuru, Niger. Sebanyak 171 orang di dalamnya tewas.

Sedangkan di Indonesia, pada 19 September 1945, para pemuda pemberani mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Arek-arek Suroboyo merobek bendera Belanda di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan nomor 65 Surabaya. 

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya