Liputan6.com, Washington, DC - Seorang pensiunan jenderal ternama dari militer Amerika Serikat, yang kini bekerja sebagai analis militer dan politik internasional, mengomentari tentang krisis Korea Utara dan cara AS dalam menyikapi isu tersebut.
Menurut sang jenderal, kecenderungan Presiden AS Donald Trump yang seakan bertumpu pada opsi militer dalam menyikapi krisis Korut, membuat dunia cemas. Khawatir bahwa perang antara kedua negara semakin dekat.
"Presiden AS telah kehilangan kredibilitasnya dalam komunitas internasional," jelas Jenderal Barry McCaffrey dalam sebuah program berita yang ditayangkan oleh media AS, 11th Hour at NBC, seperti dikutip News.com.au, Senin (16/10/2017).
Advertisement
"Saat ini sudah banyak krisis berlangsung. Semua pejabat dunia juga menunggu langkah yang akan diambil oleh Trump. Namun, sikapnya (Trump) yang minim diplomasi dan seakan menunjukkan keseriusan dalam melakukan strategi keterlibatan (militer), menurut saya, akan menggiring ke sebuah perang terbuka pada musim panas selanjutnya," tambah pria yang merupakan pendiri dan bekerja sebagai analis militer itu.
Menurut kalender AS, musim panas selanjutnya berarti pertengahan tahun 2018.
Baca Juga
Komentar itu, menurut pembawa acara program berita 11th Hour at NBCÂ Brian Williams, dinilai mengejutkan. Karena, menurut Williams, McCafrrey terkenal sebagai seorang analis yang kerap rasional dan jarang memberikan komentar yang bernuansa 'bombastis'.
"Saya mengenal sang jenderal sejak lama dan ia terkenal sebagai orang yang rasional dan jarang memberikan komentar bernada hiperbola," tambah Williams.
Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, Hillary Clinton turut mengutarakan komentar bernada serupa.
"Diplomasi dan upaya pencegahan perang merupakan pekerjaan yang sulit dan memakan waktu lama. Dan kita tidak bisa mengandalkan seseorang yang berkarakter impulsif dan memiliki ideologi, 'kami telah selesai dengan Anda' untuk melakukan hal itu," jelas Hillary Clinton saat diwawancari CNN, yang seakan menyindir cara Trump dalam menyikapi krisis Korut.
Â
Australia Juga Jadi Sasaran Korut
Komentar dari pensiunan terhormat AD AS, Jenderal Barry McCaffrey datang di tengah krisis Korea Utara yang terus berlanjut, khususnya ketika Pyongyang mulai menebar retorika ancaman ke sekutu Negeri Paman Sam lainnya, yakni Australia.
"Terbaru, Australia menunjukkan langkah berbahaya dengan ikut bergabung dalam hiruk pikuk provokasi politik dan militer yang dilakukan oleh AS terhadap Korut," jelas sebuah program berita yang ditayangkan media pemerintah Korut, KCNA.
"Menteri Luar Negeri Australia secara personal mengekspresikan dukungannya terhadap AS. Jika Australia terus mengikuti AS dalam menerapkan tekanan militer, ekonomi, dan diplomatik terhadap Korut, mereka akan menerima ganjarannya," tambah KCNA.
Ancaman itu mungkin tidak terlalu dianggap oleh pemerintahan Negeri Kanguru. Anggota Komisi Pertahanan Parlemen Australia, Dan Tehan mengatakan, "Kami tidak akan gentar terhadap ancaman Korut. Kami akan melakukan apapun untuk mendukung sekutu kami."
Retorika ancaman itu muncul setelah kedua menteri Australia, Menlu Julie Bishop dan Menhan Marise Payne datang berkunjung ke Korea Selatan pada 11 Oktober lalu. Mereka turut menyambangi Panmunjom, sebuah kota Korsel yang berjarak 4 kilometer dari DMZ.
Keduanya membawa sejumlah misi diplomatik saat mengunjungi Korsel, termasuk di antaranya mengupayakan negosiasi damai terkait krisis Korut.
Â
Korut Akan Kembali Tes Rudal?
Di sisi lain, sejumlah negara tengah khawatir bahwa Korea Utara akan kembali meluncurkan rudal pada Oktober ini. Kecemasan itu datang setelah media Korea Selatan melaporkan adanya pergerakan sejumlah persenjataan misil Korut.
Surat kabar Korsel, The Donga Ilbo yang mengutip sumber pemerintah menyebut bahwa sebuah citra satelit menunjukkan sejumlah misil yang tengah dikeluarkan dari beberapa hanggar persenjataan di Pyongyang dan Provinsi Phyongan Utara. Demikian seperti dikutip dari News.com.au, Sabtu 14 Oktober 2017.
Citra satelit itu juga menunjukkan, misil yang dikeluarkan dari hanggar itu nampak akan dimuat ke dalam mesin peluncur rudal.
Berdasarkan bukti itu, pejabat militer Amerika Serikat dan Korea Selatan menduga, Korut mungkin bersiap untuk melakukan tes peluncuran rudal yang mampu mencapai wilayah AS.
Misil yang ditunjukkan dari citra satelit itu kemungkinan berjenis Hwasong-14 ICBM yang berpotensi mampu menjangkau Negara Bagian Alaska. Namun bisa jadi, rudal itu merupakan jenis Hwasong-12 jarak menengah yang pernah digunakan untuk mengancam teritori AS di Guam Agustus lalu.
Tak menutup kemungkinan bahwa misil yang tampak dalam citra satelit itu merupakan jenis baru, yakni Hwasong-13 yang memiliki daya jangkau lebih jauh dan mampu mencapai pantai barat AS.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Korsel menolak untuk mengomentari dugaan laporan tersebut. "Kami tidak akan memberikan komentar mengenai masalah intelijen militer. Kami tetap akan terus mengawasi Utara," ujar dia.
Tes rudal Korut diyakini akan dilakukan saat latihan gabungan militer AS - Korea Selatan yang berlangsung pada pekan mendatang. Latihan itu akan dipimpin oleh USS Ronald Reagan, kapal induk yang mengepalai US Navy Carrier Strike Group Five yang berbasis di Yokosuka, Jepang.
Â
Advertisement
Trump Terperosok dalam Kubangan Masalah
Pensiunan terhormat AD AS, Jenderal Barry McCaffrey juga mengomentari bahwa kontroversi Kesepakatan Nuklir Iran turut menambah sederet masalah yang tengah dihadapi oleh Trump. Dan kontroversi itu akan mengalihkan perhatian sang presiden terhadap isu Korut.
Hillary pun turut berkomentar terkait cara Trump dalam menyikapi kontroversi Kesepakan Nuklir Iran, dengan mengatakan bahwa, "Keputusan Trump membuat kita (AS) nampak bodoh, juga menunjukkan kesan bahwa AS bukanlah negara yang baik."
Selain Korut dan Iran, Trump saat ini juga tengah menghadapi berbagai masalah domestik seperti krisis pasca-bencana alam Puerto Rico dan isu kebijakan kesehatan (US Healthcare System).
Â
Saksikan Video Pilihan Di Bawah Ini: