Dubes AS di PBB Bela Donald Trump soal Kesepakatan Nuklir Iran

Keputusan Trump untuk renegosiasi Kesepakatan Nuklir Iran, turut didukung oleh Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 17 Okt 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2017, 10:00 WIB
Dubes AS untuk PBB Nikki Haley
Dubes AS untuk PBB Nikki Haley (AP Photo/Bebeto Matthews)

Liputan6.com, Washington, DC - Akhir pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengambil keputusan kontroversial. Ia mengumumkan menolak untuk mendukung sertifikasi tinjauan berkala Kesepakatan Nuklir Iran.

Sang presiden juga mengancam akan membuat AS meninggalkan pakta tersebut. Serta meminta Parlemen Negeri Paman Sam untuk memproduksi kesepakatan nuklir baru terkait Iran.

Keputusan Trump turut didukung oleh Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Senin (16/10/2017).

"Kita (AS) harus meminta pertanggungjawaban mereka (Iran). Mereka tidak dapat terus mendukung terorisme di seluruh dunia seperti yang kita lihat sedang mereka lakukan. Mereka tidak dapat melakukan uji coba misil balistik, yang akan mengarah pada kepemilikan senjata nuklir oleh Iran," papar Haley dalam program ABC This Week.

Dukungan juga datang dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nulir Iran, merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan sejumlah pihak yang terdiri dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS), Jerman, dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari negara-negara yang menandatangani kesepakatan tersebut.

Pakta itu memiliki mekanisme pengawasan rutin. Secara berkala, yakni per-90 hari, para negara anggota akan memberikan sertifikasi kepatuhan kepada Iran setelah melakukan peninjauan.

Terakhir kali, sertifikasi kepatuhan diberikan kepada Iran pada Juli 2017.

Namun kini, hampir 90 hari menjelang sertifikasi kepatuhan berikutnya, Presiden Trump menolak untuk memberikan dukungannya terhadap sertifikasi itu.

Jerman, sebagai salah satu negara anggota JCPOA yang memiliki kewenangan untuk memberikan sertifikasi kepatuhan, menyayangkan keputusan Trump.

"Kami, Jerman, Prancis, Inggris dan Uni Eropa, mendukung perjanjian itu dengan Iran, kami ingin mempertahankan perjanjian ini," jelas Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel.

"Kesepakatan itu menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa mungkin sekali mencegah perang dengan perundingan, dan yang terutama, untuk mencegah suatu negara mempersenjatai diri dengan senjata nuklir. Penghancuran perjanjian ini akan berarti bahwa pihak-pihak lain di seluruh dunia tidak akan lagi bergantung pada perjanjian semacam itu," tambah sang Menlu.

Dalam komentar yang nampaknya merespons keterangan Menlu Jerman itu, Nikki Haley mengatakan, "Saat ini, Iran tidak menyerukan 'Matilah Jerman!', namun meneriakkan, 'Matilah Amerika!'."

Selain itu, menurut Haley, sikap AS dalam menyikapi Iran dapat menjadi pesan bagi Korea Utara.

"Pesan untuk Korea Utara yakni, kami tidak akan terlibat dalam suatu kesepakatan yang buruk, dan apabila kami menghadapi kesepakatan itu, kami akan meminta mereka bertanggung jawab. Kami tidak akan melihat dengan cara lain hanya karena kami mencapai suatu kesepakatan."

Presiden Trump diprediksi akan membujuk Parlemen untuk meninjau JCPOA agar AS mampu melakukan re-negosiasi pakta tersebut.

Legislator Partai Demokrat --oposisi-- mengkritik langkah presiden. Akan tetapi, sejumlah politisi Partai Republik menganggap, peninjauan JCPOA itu dapat menjadi kesempatan untuk memperbaiki pakta yang dianggap cacat dan merugikan AS itu.

"Berdasarkan perjanjian, Iran memiliki apa yang saya sebut jalur untuk membuat senjata nuklir. Jadi kita harus berusaha memperbaikinya, dan inilah yang saya harap Kongres akan lakukan dan saya berharap presiden akan berkonsultasi sepenuhnya dengan sekutu-sekutu kita, karena ini adalah suatu perjanjian multilateral, bukan bilateral," jelas Senator AS dari Republik, Susan Collins.

Presiden Iran Kecam Sikap Donald Trump

Presiden Iran Hassan Rouhani mengecam sikap 'agresif' Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menolak mendukung pakta Kesepakatan Nuklir Iran. Kecaman itu datang pada Jumat 13 Oktober 2017, beberapa saat usai Trump mengumumkan sikapnya pada hari yang sama.

"Apa yang terdengar pada hari ini (terkait pengumuman yang datang dari Trump) tak lain hanyalah tuduhan tak mendasar dan sumpah serapah yang telah berulang selama bertahun-tahun," jelas Rouhani di Tehran kala memberikan pidato dalam televisi nasional untuk merespons sikap Trump.

Presiden Rouhani juga mengatakan, Tehran akan tetap berkomitmen pada Kesepakatan Nuklir Iran jika pakta tersebut sesuai dengan kepentingan nasional mereka. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu 14 Oktober 2017.

Sebelumnya, dalam sebuah pidato di Gedung Putih, Presiden Trump menyatakan tak lagi mendukung pakta Kesepakatan Nuklir Iran.

"Kami tidak akan terus menyusuri jalan yang justru akan lebih banyak menimbulkan kekacauan dan ancaman nyata terhadap isu nuklir Iran," jelas Trump dalam sebuah pidato di Gedung Putih.

Trump juga mengancam akan membuat AS meninggalkan pakta tersebut. Ancaman itu dapat menjadi kenyataan jika ada tiga pemicu berikut.

Pertama, Iran kembali mengaktifkan misil balistik lintas benuanya. Kedua, Negeri Para Mullah menolak melakukan negosiasi untuk memperpanjang perjanjian yang membatasi aktivitas nuklir mereka. Terakhir, Tehran terbukti kembali membuat bom.

Sementara itu, menanggapi ancaman Trump, Presiden Iran Hassan Rouhani menyatakan bahwa negaranya tidak akan memasuki negosiasi dan melakukan amandemen dalam bentuk apa pun.

Ia juga menganggap, keputusan AS untuk menolak memberikan dukungan dan menginginkan negosiasi kembali justru akan semakin merugikan Washington.

"AS justru akan semakin terisolasi, ketika di saat yang sama semua orang berkomitmen pada pakta itu. Trump juga tak menyadari, sebuah hukum internasional tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh hanya satu negara," jelas Rouhani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya