Liputan6.com, Rakhine - Konflik Rohingya di Myanmar masih terus bergulir hingga kini. Setelah dianggap sebagai pemeberontak, Rohingya dilaporkan kerap dianiaya bahkan sampai dibunuh untuk pembersihan etnis oleh tentara Myanmar.
Akibatnya, ribuan dari mereka mati-matian berjuang mempertahankan hidup dengan 'kabur' ke negara-negara tetangga, seperti Bangladesh dan Indonesia, melalui jalur laut.
Di negara perbatasan Myanmar, di Bangladesh, Rohingya disebut merepotkan karena sebagian besar dari pengungsi yang melarikan diri itu tidak memiliki kewarganegaraan. Sedangkan identitas mereka ditolak oleh Birma yang mayoritas penduduknya beragama Buddha.
Advertisement
Akan tetapi, keberadaan Rohingya disangkal oleh petugas Kementerian Keamanan Negara Rakhine. Ia secara terang-terangan menyebut kepada media bahwa seluruh pemberitaan mengenai Rohingya adalah palsu.
"Tidak ada yang namanya Rohingya," kata petugas bernama Kyaw San Hla itu. "Ini adalah berita palsu." Demikian seperti dikutip dari The Independent, Senin (4/12/2017).
Pernyataan semacam itu membingungkan Kyaw Min, seorang mantan anggota serikat mahasiswa Rohingya di sebuah perguruan tinggi di Birma. Dia telah tinggal di Birma selama 72 tahun. Menurutnya, sejarah Rohingya sebagai minoritas di Birma membentang sejak beberapa generasi sebelumnya.
Kini, pengawas hak asasi manusia memperingatkan bahwa sebagian besar bukti sejarah Rohingya di Birma dalam status waspada. Pasalnya, militer Myanmar disebut-sebut akan memusnahkan seluruh bukti tentang Rohingya. Pemusnahan ini juga diklaim sebagai bentuk pembersihan etnis.
Sejak akhir Agustus 2016, dilaporkan lebih dari 620.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh. Mereka yang mengungsi mengaku telah dibantai, diperkosa, dan dibakar rumahnya oleh militer di Rakhine.
Ada Pembersihan Etnis Di Rakhine
Dalam sebuah laporan yang dikeluarkan pada bulan Oktober, Komisioner Tinggi HAM PBB mengatakan, pasukan keamanan Birma berupaya menghapus semua tanda-tanda, letak geografis, lanskap, dan masa lalu Rohingya sehingga pada akhirnya yang tersisa hanya medan kosong yang tak dikenali oleh siapa pun.
Laporan PBB tersebut juga mengatakan bahwa kekerasan di Rakhine menargetkan para guru, budayawan, pemuka agama, dan tokoh berpengaruh lainnya. Tujuannya tak lain adalah untuk menghilangkan sejarah, identitas budaya dan pengetahuan mengenai Rohingya.
"Kami adalah orang-orang yag berpegang teguh pada sejarah dan tradisi kami sendiri," kata Kyaw Hla Aung, seorang pengacara Rohingya dan mantan tahanan politik.
"Bagaimana bisa mereka (pemerintah negara bagian Rakhine) berpura-pura menganggap kita tak ada?" ujarnya melanjutkan.
Lima tahun yang lalu di Ibu Kota Rakhine, Sittwe, hidup dua etnis berbeda namun saling berdampingan, yaitu Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya. Namun, sejak kerusuhan sektarian di tahun 2012, umat Islam di kota ini 'dibersihkan'.
Sekitar 120.000 orang Rohingya, bahkan mereka yang memiliki kewarganegaraan, diasingkan ke kamp pengungsian. Mereka juga dilaporkan kehilangan mata pencaharian, tidak diperbolehkan sekolah, hingga tidak diizinkan mendapat akses kesehatan layak.
Advertisement