Korea Utara: Sanksi Teranyar DK PBB Adalah Langkah Perang

Kemlu Korea Utara menyebut, sanksi teranyar yang mereka terima dari Dewan Keamanan PBB adalah sebuah tindakan perang.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 24 Des 2017, 16:00 WIB
Diterbitkan 24 Des 2017, 16:00 WIB
Bendera Korea Utara
Bendera Korea Utara (AFP)

Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara menyebut, sanksi teranyar yang mereka terima dari Dewan Keamanan PBB adalah sebuah tindakan perang.

Hal itu diutarakan oleh Kementerian Luar Negeri Korea Utara, menyusul munculnya sanksi DK PBB berbentuk resolusi yang membatasi impor bahan bakar ke Korut hingga 90 persen.

Lewat media pemerintah KCNA, Kementerian Luar Negeri Korea Utara mengatakan bahwa tindakan tersebut "Sama saja dengan blokade ekonomi total" terhadap negaranya. Demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (24/12/2017).

Kemlu Korut juga menggambarkan sanksi teranyar PBB itu sebagai "Pelanggaran keras terhadap kedaulatan Korea Utara dan sebuah langkah perang yang mampu menghancurkan perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea serta kawasan lain."

Lembaga pemerintahan itu juga turut mengkritik Amerika Serikat -- selaku negara penyusun resolusi teranyar DK PBB tersebut.

"AS benar-benar takut pada pencapaian kami, terkait tujuan kami untuk menjadi negara kekuatan nuklir. Sehingga, mereka semakin terburu-buru menerapkan sanksi dan tekanan terhadap kami," lanjut keterangan dari Kemlu Korut.

"Kami akan terus melanjutkan program nuklir, yang ditujukan sebagai bentuk pertahanan, penjeraan serta penyeimbang kekuatan atas ancaman nuklir Amerika Serikat," tambah keterangan tersebut.

Sanksi Baru

DK PBB memberlakukan sanksi baru pada 23 Desember 2017. Sanksi itu ditujukan sebagai respons atas uji coba rudal balistik yang dilakukan oleh rezim Kim Jong-un pada 28 November lalu.

Lebih detail, resolusi itu ditujukan untuk memuluskan solusi diplomatik demi mengatasi masalah Korea Utara.

Sanksi terbaru yang dikeluarkan oleh DK PBB berdasarkan resolusi AS di antaranya adalah:

  • Pengiriman produk bahan bakar akan dibatasi 500.000 barel per tahun, dan minyak mentah 4 juta barel per tahun
  • Seluruh warga Korea Utara yang bekerja di luar negeri harus kembali ke tempat asalnya dalam waktu 24 bulan setelah sanksi dikeluarkan, di mana hal itu akan membatasi sumber vital mata uang asing
  • Larangan ekspor barang-barang Korea Utara, seperti mesin dan peralatan listrik.

Bagaimana dengan Sanksi yang Telah Lalu?

Tayangan berita di Tokyo yang menampilkan visualisasi rudal Korea Utara yang meluncur pada 29 November 2017. Rudal itu jatuh di Laut Jepang, atau 1.000 km dari titik peluncuran awal, setelah terbang ke angkasa setinggi 4.500 km (AP/Shizuo Kombayashi)
Tayangan berita di Tokyo yang menampilkan visualisasi rudal Korea Utara yang meluncur pada 29 November 2017. Rudal itu jatuh di Laut Jepang, atau 1.000 km dari titik peluncuran awal, setelah terbang ke angkasa setinggi 4.500 km (AP/Shizuo Kombayashi)

Bulan lalu, AS mengumumkan sanksi baru terhadap Korea Utara yang menurutnya dirancang untuk membatasi pendanaan program rudal nuklir dan balistiknya.

Langkah tersebut menargetkan operasi pelayaran Korea Utara dan perusahaan China yang melakukan perdagangan dengan Pyongyang.

PBB juga menyetujui sanksi baru setelah uji coba nuklir Korea Utara pada 3 September.

Langkah-langkah ini membatasi impor minyak dan melarang ekspor tekstil -- salah satu langkah guna melemahkan pasokan bahan bakar dan pendapatan Korea Utara untuk program senjatanya.

Seperti Apa Dampak Sanksi yang Telah Lalu?

AS telah menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara selama lebih dari satu dekade tanpa membuahkan hasil yang cukup signifikan.

Korea Utara sendiri mengatakan bahwa sanksi-sanksi tersebut justru akan memicu mereka untuk semakin giat mengembangkan program serta menguji nuklir dan rudal balistiknya.

Berikut contohnya;

  • Pada 30 November 2016, PBB menjatuhkan sanksi pada perdagangan batu bara Korea Utara dengan China hingga mengurangi ekspor sekitar 60 persen. Ekspor tembaga, nikel, perak, seng dan penjualan patung juga dilarang.
  • Sebagai bentuk respons, pada 14 Mei 2017, Korea Utara justru melakukan tes yang mereka klaim sebagai "roket balistik terbaru yang mampu membawa hulu ledak nuklir besar"
  • Kemudian pada 2 Juni 2017, PBB memberlakukan larangan bepergian dan pembekuan aset pada empat entitas dan 14 pejabat -- termasuk salah satunya kepala operasi spionase -- Korea Utara di luar negeri.
  • Sebulan kemudian, tepat pada 4 Juli 2017, Korea Utara mengklaim berhasil melakukan tes rudal balistik antar benua (ICBM) mereka untuk pertama kalinya
  • Sedangkan pada 6 Agustus 2017, PBB melarang ekspor batu bara, bijih dan bahan mentah lainnya ke Korea Utara dan membatasi investasi di negara tersebut. Pembatasan itu menekan sekitar US$ 1 miliar -- atau sekitar sepertiga dari total pendapatan ekonomi ekspornya.
  • Namun, pada 3 September 2017, Korea Utara mengatakan telah menguji bom hidrogen yang bisa dibuat miniatur dan dimuat pada rudal jarak jauh.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya