Liputan6.com, New York - Dalam beberapa pekan terakhir, sudah lebih dari satu kali pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengultimatum akan memotong dana yang mereka kucurkan kepada PBB dan para negara anggota organisasi multilateral itu.
Bunyi seluruh ultimatum itu selalu bernada sama: "PBB dan negara anggota harus patuh kepada AS, jika tak ingin Negeri Paman Sam memutus atau mengurangi anggaran dana untuk mereka". Demikian menurut analisis surat kabar ternama The New York Times, (26/12/2017).
Ultimatum terbaru dilontarkan Amerika Serikat pada Minggu, 24 Desember 2017.
Advertisement
Baca Juga
Pihak Perwakilan Tetap AS di PBB mengatakan mereka akan mengurangi anggaran untuk organisasi multilateral itu sebesar US$ 285 juta untuk periode 2018-2019.
Nikki Haley, Perwakilan Tetap (Duta Besar) AS di PBB, mengatakan pemotongan anggaran itu dianggap perlu. Pasalnya, Amerika Serikat menilai bahwa PBB tak efisien dan boros dalam mengelola dana.
"Kami tak akan lagi membiarkan mereka (PBB) memanfaatkan kemurahan hati masyarakat Amerika Serikat," kata Haley.
"Kami juga tengah mencari cara agar PBB ... dapat terus melindungi kepentingan AS," tambahnya.
Sementara itu, AS juga telah mengeluarkan ultimatum bernada serupa pada 21 Desember 2017, beberapa jam sebelum Majelis Umum PBB bersidang untuk melakukan pemungutan suara terkait rancangan resolusi yang menolak pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Trump memperingatkan akan menahan kucuran bantuan "miliaran" dolar AS bagi negara-negara pendukung rancangan resolusi itu.
Ancaman Trump tersebut muncul setelah Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, lebih dulu merilis ultimatum bahwa ia akan "mencatat" negara-negara mana saja yang mendukung lahirnya resolusi tersebut.
"Biarkan mereka memilih untuk melawan kita," ujar Trump seperti dikutip dari The Guardian, Kamis 21 Desember 2017.
Trump melanjutkan, "Kita akan banyak berhemat. Tidak akan seperti dulu lagi di mana mereka memilih melawan dan kemudian kita memberi mereka ratusan juta dolar. Kita tidak lagi bisa dimanfaatkan".
Ketika sidang darurat Majelis Umum PBB berakhir dengan "kekalahan telak" Amerika Serikat, Dubes Haley menegaskan rencananya untuk "mencatat" negara-negara mana saja yang menentang Amerika Serikat.
"Kami akan mengingatnya (para negara yang menetang AS di Majelis Umum PBB), jika sewaktu-waktu mereka meminta bantuan keuangan kepada AS", kata Haley seperti dikutip dari The New York Times.
Nikki Haley: Kami Baru Mulai
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan bahwa rencana teranyar Washington DC untuk memotong anggaran yang digelontorkan kepada PBB hanyalah langkah awal.
"Kami baru mulai," kata Haley seperti dikutip dari The New York Times, 26 Desember 2017.
Namun, seperti dikutip dari situs berita politik The Hill, meski baru rencana awal, pemotongan itu diprediksi akan memberikan dampak yang cukup signifikan, mengingat Amerika Serikat merupakan salah satu penyumbang dana utama PBB.
Washington DC berkontribusi sebesar 22 persen dari total anggaran tahunan PBB.
Dengan kata lain, AS menyumbang sekitar US$ 1,2 miliar dari total biaya operasional tahunan PBB yang berjumlah sekitar US$ 5,4 miliar (per-tahun fiskal 2016-2017).
Amerika Serikat juga merupakan kontributor keuangan tunggal terbesar, sebesar 28,5 persen, untuk mendanai operasi penjaga perdamaian PBB. Menurut laporan, AS menyumbang US$ 6,8 miliar (per-tahun fiskal 2017-2018).
Dana operasional sebesar itu, menurut Nikki Haley, adalah sebuah bentuk penghamburan yang dilakukan oleh PBB.
"Inefisiensi dan pemborosan yang dilakukan oleh PBB merupakan fakta yang telah banyak diketahui khalayak," dalih sang Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB itu.
Advertisement
Bukan Pertama Kali
Rencana AS untuk memotong atau memutus kucuran anggarannya kepada PBB dan sejumlah negara anggota organisasi tersebut memang muncul di tengah riuh isu Yerusalem yang kian menghangat.
Namun, gagasan semacam itu sesungguhnya sudah lama dicetuskan oleh Washington DC sejak awal periode pemerintahan Presiden Donald Trump.
Pada Januari 2017, ketika Nikki Haley dilantik untuk mengisi pos Perwakilan Tetap AS di PBB, ia mengancam bahwa AS akan mengubah cara "berbisnis" dengan organisasi multilateral tersebut.
Donald Trump sendiri pernah mendeskripsikan bahwa organisasi berusia 72 tahun itu merupakan "klub sosial yang menyedihkan dan telah menyia-nyiakan potensinya".
Sementara itu, kubu konservatif dan Partai Republik AS -- yang saat ini mendominasi diskursus serta konstelasi pemerintahan Negeri Paman Sam -- telah lama mengkritik PBB (juga negara anggota) karena dinilai tak banyak memprioritaskan kepentingan Washington dalam kancah politik global.
Dan beberapa orang menganggap langkah rencana pemotongan anggaran itu sebagai bentuk respons AS atas "ketidakberpihakan PBB" terhadap agenda politik Washington DC.
Alasan itu menjadi sangat relevan karena mencuat usai sidang darurat Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB soal Yerusalem yang dilaksanakan beberapa pekan lalu.
Â
Memicu Kritik
Rencana ultimatum anggaran itu memicu kritik dari sejumlah pengamat politik. Ada yang menganggap bahwa kebijakan tersebut akan berdampak buruk bagi AS sendiri pada beberapa waktu ke depan.
"Negara lain mungkin akan kehilangan rasa hormatnya kepada AS," kata Stewart Patrick, analis senior untuk Council on Foreign Relations seperti dikutip The New York Times.
Patrick melanjutkan, langkah tersebut akan menumbangkan "relasi baik diplomatik antara AS dengan PBB", juga para negara anggota organisasi itu. Hal itu juga akan menggeser dinamika diplomasi menjadi bersifat transaksional berorientasi uang.
"(Diplomatik luar negeri) bukan sesuatu yang bisa kita lakukan dengan cara-cara transaksional seperti itu," lanjutnya.
Sementara itu, analis lain tak begitu mempermasalahkan rencana AS untuk memotong anggaran PBB. Namun, ada syaratnya.
"Memotong anggaran bukan berarti AS ikut 'meminimalisasi' partisipasinya di PBB, terkhusus untuk isu-isu HAM," kata Louis Charbonneau, Direktur Bidang PBB untuk Human Rights Watch.
Advertisement