Bukti Perang Itu Jahat... Paus Ingin Foto Ini Disebar ke Dunia

Paus Fransiskus memerintahkan Takhta Suci Vatikan mencetak dan mendistribusikan kartu berisi peringatan pada dunia.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 01 Jan 2018, 21:00 WIB
Diterbitkan 01 Jan 2018, 21:00 WIB
Paus Fransiskus memerintahkan Takhta Suci Vatikan mencetak dan mendistribusikan kartu berisi peringatan pada dunia. (Vatican Press Office/AP)
Paus Fransiskus memerintahkan Takhta Suci Vatikan mencetak dan mendistribusikan kartu berisi peringatan pada dunia. (Vatican Press Office/AP)

Liputan6.com, Vatikan - Tahun 2018 telah menjelang, namun tak hanya harapan dan damai yang akan datang dalam hidup manusia di Bumi, tapi juga ancaman. Hal tersebut disadari benar oleh Paus Fransiskus.

Perang retorika antara diktator Korea Utara Kim Jong-un dan miliarder nyentrik yang jadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tak kunjung reda. Banyak pihak mengkhawatirkan, konflik terbuka bisa pecah di Semenanjung Korea, yang berujung pada adu kuat senjata nuklir. Jika itu terjadi, Perang Dunia III tak terelakkan.

Sebelum hal mengerikan itu terlanjur terjadi, Paus Fransiskus memerintahkan Takhta Suci Vatikan mencetak dan mendistribusikan kartu berisi peringatan pada dunia.

Dalam kartu itu terpajang foto korban bom nuklir Nagasaki, Jepang -- seorang bocah laki-laki yang menggendong jasad adiknya.

Dengan berdiri tegak, bibir terkatup rapat, bocah tersebut sedang mengantre agar jenazah adiknya bisa dikremasi. Terlihat noda darah di bahu kanannya, di atas siku. Tak ada tangis di matanya, meski jiwa kecil itu luar biasa remuk.

"Seorang bocah kecil menanti giliran kremasi untuk jasad adiknya yang ia gendong di belakang punggung. Foto ini diambil fotografer Amerika, Joseph Roger O'Donnell usai pemboman Nagasaki. Ekspresi kesedihan dalam diri bocah itu terlihat dari caranya mengigit bibir dan darah yang mengalir perlahan," demikian kalimat yang tercantum dalam kartu Vatikan, seperti dikutip dari Daily Mail, Senin (1/1/2018).

Di balik kartu tersebut, ada tanda tangan Paus Fransiskus. Juga sebuah kalimat: ... il frutto dela guerra. Itulah buah dari peperangan...

Paus Fransiskus telah lama mengutuk senjata nuklir. Pemimpin umat Katolik dunia itu juga terus menyoroti penderitaan anak-anak di zona merah perang.

Foto tersebut diambil oleh fotografer Korps Marinir Amerika Serikat (US Marine) Joe O'Donnell, tak lama setelah bom nuklir 'Fat Boy' dijatuhkan di Nagasaki, di penghujung Perang Dunia II.

Setelah dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945, Jepang menyerah kalah, Perang Dunia II pun berakhir dengan 'tumbal' 120 ribu nyawa.

Sang fotografer, Joe O'Donnell tak lantas beranjak dari Jepang usai perang. Beberapa bulan sesudahnya, ia mengabadikan kondisi pasca-pemboman di dua kota lewat kamera.

Foto-foto tersebut kemudian dipublikasikan dalam Japan 1945: A US Marine's Photographs from Ground Zero.

Salah satu foto lawas karyanya itu kini digunakan Paus Fransiskus, dalam upayanya mencegah perang yang kian di depan mata.

Pengakuan Sang Fotografer

Foto bocah Jepang korban bom atom yang diambil fotografer Korps Marinir Amerika Serikat (US Marine) Joe O'Donnell.
Foto bocah Jepang korban bom atom yang diambil fotografer Korps Marinir Amerika Serikat (US Marine) Joe O'Donnell.

Joe O’Donnell menjadi saksi mata penderitaan korban bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki -- mereka yang tewas, luka, kehilangan tempat bernaung, anak-anak yang tiba-tiba yatim piatu. Ia menyaksikan Jepang sebagai negara yang kalah perang.

Meski berpengalaman sebagai forografer perang di lokasi paling menyedihkan, hatinya tak urung terusik. Pun ketika melihat bocah kecil yang ia abadikan dalam kamera.

"Aku melihat seorang anak sedang melintas, usianya sekitar 10 tahun. Ia menggendong seorang bayi di punggungnya.

Saat itu di Jepang, kami masih bisa melihat anak-anak bermain bersama saudaranya, namun anak itu berbeda.

Aku bisa melihatnya datang ke tempat ini untuk sebuah alasan yang serius. Ia bertelanjang kaki, tanpa sepatu. Ekspresi wajahnya keras. Kepala kecil di belakangnya kemudian beringsut, menunduk, seakan bayi itu tidur nyenyak. Bocah itu kemudian berdiri di sana sekitar lima sampai 10 menit.

Lalu, sejumlah pria yang mengenakan masker putih menghampirinya. Perlahan, mereka melepas tali kain yang mengikat bayi itu ke tubuh sang bocah.

Saat itulah aku menyadari, bayi itu sudah tiada. Pria-pria itu memegang jasad itu di bagian tangan dan kaki, lalu memasukkannya ke dalam api.

Bocah itu hanya berdiri tegak, tanpa gerak, menyaksikan api yang berkobar. Ia menggigit bibir bawahnya begitu keras hingga berdarah.

Saat kobaran api kian padam, seperti matahari yang akhirnya terbenam. Bocah itu berbalik dan berjalan dalam diam, menjauh."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya