3 Firma Raksasa AS Didesak Berbuat Lebih untuk Awasi Ujaran Kebencian

Meski Facebook, Twitter, dan Google telah mengambil langkah untuk mengawasi kelompok penyebar ujaran kebencian di situs-situsnya, namun, hal itu dirasa belum cukup oleh beberapa pihak.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Mar 2018, 07:21 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2018, 07:21 WIB
Twitter
(Ilustrasi) Media sosial kerap digunakan oleh banyak pihak menjadi wadah dan sarana ujaran kebencian (iStockPhoto)

Liputan6.com, Washington DC - Meski perusahaan-perusahaan raksasa teknologi seperti Facebook, Twitter, dan Google telah mengambil langkah-langkah untuk mengawasi teroris dan kelompok penyebar ujaran kebencian di situs-situsnya, namun, hal itu dirasa belum cukup oleh beberapa pihak.

Simon Wiesenthal Center, lembaga think-tank di Los Angeles, AS mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh ketiga perusahaan itu. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (11/3/2018).

Hal itu diutarakan oleh Simon Wiesenthal Center kala merilis hasil penilaian kualitas tahunannya terkait terorisme digital dan ujaran kebencian di berbagai media sosial.

Lembaga think-tank itu memberi nilai Facebook B+, Twitter B-, dan Google C-.

Ketika dimintai keterangan terkait penilaian itu, Juru Bicara Facebook Christine Chen mengatakan bahwa perusahaannya tidak memiliki komentar apapun terkait hal itu.

Di sisi lain, perwakilan Google dan Twitter memilih diam seputar penilaian kualitas tahunan terkait terorisme digital dan ujaran kebencian yang dilakukan Simon Wiesenthal Center itu.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Minim Penanganan

Twitter
Ilustrasi Twitter (iStockPhoto)

Abraham Cooper, wakil dekan Simon Wiesenthal Center, mengatakan "Ada banyak materi yang belum Facebook tangani ... dan secara keseluruhan, khususnya dari segi ujaran kebencian, tidak ada penanganan sama sekali," ujarnya dalam sebuah konferensi pers di Kota New York

Rick Eaton, seorang peneliti senior Simon Wiesenthal Center, mengatakan, postingan yang penuh dengan kebencian dan kekerasan di Instagram, yang merupakan bagian dari Facebook, dengan segera dihapus, namun tindakan ini diambil hanya setelah postingan tersebut tersebar luas.

Ia merujuk pada postingan di Instagam yang mengancam akan melakukan serangan teror di perhelatan Piala Dunia 2018 yang akan datang. Postingan lainnya mendorong adanya serangan bunuh diri dengan pesan, "Anda hanya mati sekali. Mengapa tidak menjadikan diri anda seorang martir."

Cooper mengatakan Twitter dahulu mendapat nilai F sebelum menghapus cuitan-cuitan ISIS pada tahun 2016.

Ia mengatakan tindakan itu diambil setelah adanya testimoni di depan Komite Kongres AS yang mengungkapkan bahwa "ISIS melakukan 200.000 cuitan sehari."

Cooper dan Eaton mengatakan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa perlu bersikap lebih agresif dalam memberantas akun-akun yang mendorong tindak terorisme, rasisme, dan anti-Semitisme.

Di sisi lain, kini, pendukung terorisme dan ujaran kebencian telah beralih ke situs-situs alternatif lainnya seperti VK.com, sebuah situs mirip Facebook yang berbasis di Rusia, serta GoFundMe dan BitChute.

Simon Wiesenthal Center yang berpusat di Los Angeles didedikasikan untuk melawan gerakan anti-Semitisme, ujaran kebencian, dan tindak terorisme.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya