Israel Batalkan Kesepakatan dengan PBB soal Migran Afrika

Dalam kesepakatan dengan PBB, Israel akan memukimkan 16.250 migran Afrika ke tiga negara Barat, yaitu Jerman, Italia, dan Kanada.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 04 Apr 2018, 11:00 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2018, 11:00 WIB
Perdana Menteri israel Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membahas konferensi kesehatan tahunan di Tel Aviv pada 27 Maret 2018. (AFP PHOTO / JACK GUEZ)

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa, 3 April 2018, membatalkan kesepakatan dengan PBB untuk memukimkan ribuan migran ilegal Afrika di tiga negara Barat, yakni Jerman, Italia, dan Kanada.

Keputusan untuk membatalkan kesepakatan tersebut diambil Netanyahu setelah ia bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Aryeh Deri dan penduduk Tel Aviv selatan, sebuah wilayah kelas pekerja di mana banyak migran Afrika menetap dalam beberapa tahun terakhir. Demikian seperti dikutip dari washingtonpost.com pada Rabu, (4/4/2018).

Diketahui terdapat sekitar 38.000 migran Afrika di Israel. Sebagian besar dari mereka memasuki negara itu secara ilegal melalui perbatasan darat dengan Mesir sebelum dibangunnya pagar pada 2013.

Para aktivis mengatakan, hidup mereka akan berbahaya jika dipulangkan kembali ke negara asal.

Perubahan sikap Netanyahu atas kesepakatan dengan PBB itu terjadi dalam waktu yang begitu cepat. Ia mengumumkannya pada Senin, 2 April 2018, beberapa jam setelahnya, Netanyahu menyatakan menunda pelaksanaannya dan kini ia membatalkannya.

"Kami akan terus mencari solusi," ujar Netanyahu melalui sebuah pernyataan.

Berdasarkan rencana, yang dibuat oleh Badan Pengungsi PBB (UNHCR) tersebut, Israel akan mengirim sedikitnya 16.250 migran Afrika ke Jerman, Italia, dan Kanada. Jumlah yang sama akan diberikan status tinggal sementara di Israel.

Anshel Pfeffer, seorang koresponden untuk surat kabar Haaretz yang kelak akan meluncurkan biografi Netanyahu, mengatakan bahwa pemimpin Israel itu terlalu meremehkan sikap oposisi atas kesepakatan tersebut. Pfeffer juga menilai bahwa skandal korupsi yang tengah panas dan menyeret Netanyahu membuat sang PM rentan terhadap serangan di media sosial.

"Dalam waktu 20 jam, ia menunjukkan empat sikap yang berbeda. Netanyahu seharusnya menjadi pemimpin yang kuat dan mampu membuat keputusan. Apa yang tengah ia tunjukkan pada kita adalah bagaimana situasi politik saat ini begitu genting...," kata Pfeffer.

 

Saksikan video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


UNHCR Upayakan Win-Win Solution

Israel Usir Puluhan Ribu Imigran Afrika, Aksi Protes Terus Berlanjut
Migran Afrika berkumpul berjalan menuju Penjara Saharonim untuk melakukan aksi, Israel (22/2). Otoritas Israel telah memberitahukan para migran Afrika bahwa mereka punya waktu hingga Maret mendatang untuk meninggalkan Israel. (AFP Photo/Menahem Kahana)

William Spindler, juru bicara UNHCR mengatakan, pihaknya akan terus meramu "kesepakatan yang menguntungkan bagi Israel, komunitas internasional, dan mereka yang membutuhkan suaka".

Tidak jelas apakah kini Israel akan kembali pada rencana awalnya, mendeportasi migran ke Afrika. Rwanda dan Uganda disinyalir berpotensi menjadi negara tujuan.

Namun, dalam laman Facebooknya pada Senin malam, Netanyahu menuliskan bahwa Rwanda berada dalam tekanan luar biasa dari Uni Eropa dan New Israel Fund, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat yang mendorong negara Afrika untuk membatalkan kesepakatan dengan Israel.

Netanyahu bahkan menyerukan dilakukannya investigasi terhadap New Israel Fund yang menurutnya menerima dana dari miliarder, George Soros. Ia berpendapat, organisasi itu membahayakan "keamanan dan masa depan Israel sebagai negara bangsa orang-orang Yahudi".

Bantahan telah menekan Rwanda pun dilontarkan oleh Daniel Sokatch, Chief Executive New Israel Fund. Sokatch menegaskan pihaknya siap menjawab setiap pertanyaan yang akan diajukan Parlemen Israel.

"Netanyahu berusaha mengalihkan perhatian dari merosotnya diri sendiri secara moral," kata Sokatch.

Banyak migran dari Sudan melarikan karena perang dan kemiskinan. Sementara migran asal Eritrea memilih kabur dari kediktatoran brutal yang mengharuskan pria dan wanita masuk militer seumur hidup.

Dengan dibatalkannya kesepakatan tersebut, hidup ribuan migran asal Afrika masih menanti kepastian.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya