Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun, menjelaskan bahwa negaranya tak lagi menganggap Amerika Serikat sebagai mediator yang netral untuk mengusahakan perdamaian antara Palestina - Israel.
"Amerika Serikat semakin menunjukkan dukungannya yang tak terbatas kepada Israel, dan dukungan itu sangat terlihat," kata Dubes Zuhair Al Shun dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com, Jumat 13 April 2018.
"Maka, Palestina tak lagi menganggap Amerika Serikat sebagai mediator yang netral bagi perdamaian Palestina - Israel. Kami melihat, AS semakin bermitra dan berpihak terhadap Israel yang menduduki negara kami," jelasnya.
Advertisement
Baca Juga
Oleh karena itu, lanjut Al Shun, Palestina tengah mencari alternatif melalui mediator atau sponsor lain, melalui PBB, organisasi internasional, maupun negara besar lain di dunia, demi mengakhiri dominasi AS sebagai sponsor perdamaian yang tidak netral.
Keberpihakan AS Terhadap Israel
Sejak beberapa dekade silam, Amerika Serikat telah menjadi figur mediator dalam konflik antara Israel - Palestina, dengan menggagas sejumlah dialog, pertemuan, atau inisiatif perdamaian.
Namun, gagasan yang diupayakan oleh Amerika Serikat tak kunjung membuahkan hasil. Bahkan, beberapa di antaranya justru semakin memicu eskalasi konflik antara Israel dan Palestina -- seperti pasca Camp David Summit 2000 yang mempertemukan PM Israel Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat, dengan Presiden AS Bill Clinton sebagai mediator.
Kendati demikian, sejak 1960-an, AS telah dituding sebagai pihak yang lebih condong ke Israel dalam proses perdamaian antara Israel - Palestina. Meski begitu, Washington terus mengklaim untuk bersikap netral dalam menghadapi konflik kedua negara.
Tetapi kini, ketika AS secara sepihak menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 lalu, hal itu justru jelas-jelas menegaskan keberpihakan Negeri Paman Sam kepada Negeri Bintang David dalam seluruh dinamika konflik Israel - Palestina, kata Profesor Studi Arab dari Columbia University, Rashid Khalidi.
"Donald Trump telah melumat status quo AS terhadap proses perdamaian Israel - Palestina, dengan semakin menegaskan dan melegitimasi pendudukan serta kolonisasi Israel di Palestina," kata Khalidi seperti dikutip dari The Nation (16/4/2018).
"Trump juga bulat-bulat mengabulkan apa yang diinginkan oleh Israel selama ini, yakni mengakui bahwa Yerusalem secara eksklusif milik Israel," lanjutnya.
Meski begitu, Khalidi menilai bahwa penegasan keberpihakan AS terhadap Israel memberikan nilai positif tersendiri bagi dinamika perdamaian antara Tel Aviv - Ramallah.
"Setidaknya Palestina dan komunitas internasional tahu bahwa AS sudah tak bisa lagi menjadi mediator bagi keberlangsungan proses perdamaian Israel - Palestina ... Kini saatnya PBB, Uni Eropa, dan organisasi internasional lain yang lebih imparsial untuk menjadi mediator perdamaian," jelas profesor di salah satu universitas Ivy League tersebut.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Solusi Perdamaian Berdasarkan Legitimasi Internasional
Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun, juga mengatakan bahwa negaranya kini telah dan akan terus menolak segala usulan atau inisiatif perdamaian yang diajukan oleh Amerika Serikat dalam proses perdamaian Israel - Palestina.
Hal itu disebabkan karena posisi Amerika Serikat yang kini tak lagi netral dalam proses perdamaian Israel - Palestina, menyusul langkah Presiden AS Donald Trump yang secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Kami telah mendengar beberapa saran dari Presiden Trump, seperti rencana relokasi pemukim Israel dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Tapi, kami menolak semua rencana itu," kata Dubes Zuhair Al Shun dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com, Jumat, 13 April 2018.
"Saat ini kami justru lebih menerima solusi-solusi perdamaian berdasarkan legitimasi internasional sesuai dengan resolusi-resolusi PBB," lanjut Al Shun.
Al Shun juga mengatakan, Palestina menolak usulan 'The Deal of the Century' yang digagas oleh Presiden Trump, karena inisiatif tersebut tak berlandaskan pada legitimasi internasional dan hanya dirumuskan secara sepihak oleh Amerika Serikat semata.
"Perdamaian yang adil dan komprehensif untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dengan ibu kota Yerusalem harus berdasarkan legitimasi internasional," tegas Al Shun.
Advertisement