Liputan6.com, Panmunjom - Kim Jong-un berjalan tegap menuju garis batas yang memisahkan dua Korea. Setelan hitamnya yang tampak longgar berkibar seiring langkah kakinya yang cepat. Kemudian, ia tersenyum lebar ke arah Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in yang berdiri menyambutnya.
Keduanya pun berjabat tangan. "Saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda. Sungguh senang," kata Kim Jong-un membuka percakapan.
Advertisement
Baca Juga
"Apakah Anda mengalami kesulitan untuk datang ke sini?," tanya Moon Jae-in, sesuai transkrip pembicaraan, seperti Liputan6.com kutip dari Time, Jumat malam, (27/4/2018).
Setelah Kim Jong-un menjawab tidak, Presiden Korsel tersebut memudaian berkata bahwa ia gembira berjumpa dengan sang penguasa Korut.
Suasana berlangsung hangat dan bersahabat. Tak ada kesan angker dari sisi Kim Jong-un, meski baru beberapa bulan sebelumnya, diktator Korut itu menyebar ancaman dengan melakukan uji coba senjata nuklir dan peluncuran rudal balistik antar benuanya yang konon bisa mencapai daratan Amerika Serikat.
"Saya merasa sangat bersemangat atas pertemuan di situs bersejarah ini. Hati saya tergerak melihat Anda sudi datang untuk menerima saya di perbatasan (Military Demarcation Line) di Panmunjom," kata Kim Jong-un.
Moon Jae-in pun balas memuji. Menurutnya, sikap tegas Kim Jong-un dan keberaniannya membuat keputusan, memungkinkan kedua negara rukun hingga ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Kita telah menciptakan momentum bersejarah," kata Presiden Moon. Memang, pada Jumat 27 April 2018 pukul 09.30 waktu setempat, sejarah baru tercipta di Semenanjung Korea.
Setelah beruluk salam, Kim Jong-un melompati perbatasan Korea Selatan -- sesuatu yang tak pernah dilakukan ayahnya, Kim Jong-il, juga sang kakek, Kim Il-sung sejak Perang Korea 1950-1953 berakhir.
Kedua pemimpin Korea itu kembali berjabat tangan dan berpose di depan para juru kamera. "Anda telah tiba di sisi selatan (Korsel). Kapan saya bisa ke Utara?," tanya Moon Jae-in.
Kim Jong-un pun menjawab, "Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi Anda untuk memasuki wilayah teritorial Korea Utara."
Lalu, penguasa muda Korut itu menggandeng tangan koleganya, keduanya melewati garis demarkasi menuju wilayah kekuasaan Pyongyang.
Â
Moon Jae-in menjadi Presiden Korsel pertama yang melompati perbatasan Korea Utara, sejak Roh Moo-hyun yang bertemu Kim Jong-il pada 2007.
Tak sedikit orang yang meneteskan air mata haru saat menyaksikan adegan tersebut: para pembelot, orang-orang yang terluka akibat perang dan konflik yang berkepanjangan, atau mereka yang merindukan perdamaian.Â
Pertemuan keduanya kemudian digelar di  Peace House, Zona Demiliterisasi (DMZ). Dan, kejutan demi kejutan kemudian terjadi...Â
Mengakhiri Perang Korea
Pertemuan tingkat tinggi tersebut menghasilkan dokumen deklarasi bersifat mengikat bertajuk, "Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification on the Korean Peninsula".
Dokumen tersebut memuat bahwa kedua negara sepakat untuk secara resmi menyudahi Perang Korea 1953, menerapkan denuklirisasi penuh di Semenanjung Korea, dan akan bekerja sama menuju unifikasi.
Sejatinya, Perang Korea belum secara resmi berakhir karena pada 1953 kedua belah pihak hanya menandatangani gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
"Kedua pemimpin dengan sungguh-sungguh menyatakan... bahwa tidak akan ada lagi perang di Semenanjung Korea dan era baru perdamaian telah dimulai," demikian bunyi kutipan deklarasi itu, seperti dikutip dari CNN (27/4/2018).
Presiden Moon Jae-in menegaskan hal serupa. "Tidak akan ada lagi perang di Semenanjung Korea dan sebuah era baru perdamaian telah dimulai. Kim Jong-un dan saya sepakat bahwa denuklirisasi penuh akan tercapai, itu merupakan tujuan kami bersama."
Sementara itu, Kim Jong-un mengatakan, "Kita bukan orang yang harus berkonfrontasi satu sama lain ... Kita seharusnya hidup dalam kesatuan. Kita sudah lama menunggu momen ini terjadi."
"Jalan yang saya tempuh hari ini, saya berharap dapat ditapaki pula oleh setiap warga Korea Utara dan Korea Selatan. Kita akan dapat menikmati kedamaian dan kemakmuran di Semenanjung Korea tanpa takut harus berperang," tutur pemimpin Korea Utara tersebut.
Dalam sebuah momen yang cair, Kim Jong-un menunjukkan mi ala Korea Utara yang dibawanya sebagai menu untuk disajikan dalam jamuan makan malamnya dengan Moon Jae-in. Ia bahkan sempat bercanda dengan mengatakan, sulit membawa mi jauh-jauh dari Pyongyang. Namun tak lama, ia melirik saudara perempuannya, Kim Yo-jong dan mengatakan, "Mungkin saya tidak seharusnya mengatakan (Pyongyang) itu jauh".
Kim Yo-jong adalah satu-satunya perempuan yang ikut serta dalam pertemuan "meja oval". Ia tak hanya adik kandung Kim Jong-un, tapi juga penasihat, bahkan dianggap sosok yang bertanggung jawab memoles citra pemimpin Korut itu menjadi lebih lembut.
Selain denuklirisasi dan mengakhiri Perang Korea, Kim Jong-un dan Moon Jae-in sepakat untuk membentuk "kantor penghubung dan perwakilan" di wilayah Kaesong, di mana kedua negara mengoperasikan sebuah kompleks industri.
Dua pemimpin juga bersepakat untuk "mendorong kerja sama, pertukaran, kunjungan, dan kontak aktif di seluruh tingkatan untuk meremajakan rasa rekonsiliasi dan kesatuan nasional".
KTT Korea Utara-Korea Selatan ini akan ditindaklanjuti dengan pertemuan khusus yang digelar pada 15 Juni 2018.
Dalam bidang olahraga, Korea Utara dan Korea Selatan akan bersama-sama berpartisipasi dalam ajang internasional seperti Asian Games, yang akan diadakan tahun ini di Indonesia. Pada 15 Agustus 2018, kedua negara akan mengadakan reuni bagi keluarga yang dipisahkan oleh pembagian Semenanjung Korea .
Kedua pihak setuju untuk menghentikan propaganda melalui pengeras suara di perbatasan. Korea Utara dan Korea Selatan menyetujui pertemuan antara menteri pertahanan. Dan tak ketinggalan, membalas kunjungan Kim Jong-un, Presiden Korea Selatan akan melawat ke Pyongyang pada musim gugur tahun ini.
Akhinya Kita Mendengar Suara Kim Jong-un...Â
Pertemuan Kim Jong-un dan Moon Jae-in berlangsung akrab dan bersahabat. Mereka tak terlihat kesulitan untuk saling memahami. Awalnya, banyak orang yang bertanya-tanya, bahasa apa yang digunakan kedua pemimpin untuk bicara.
Meski sama-sama orang Korea, dialek atau saturi antar Selatan dan Utara jauh berbeda. Itu juga yang membuat para pembelot Korut kesulitan berasimilasi dengan warga Seoul dan sekitarnya. Banyak kosakata Korsel yang dipengaruhi Bahasa Inggris.Â
Pada sejumlah pertemuan pada masa lalu, tahun 2000 dan 2007, pemimpin dua Korea selalu membawa penerjemah.
"Sangat dimungkinkan, kedua delegasi akan menggunakan Bahasa Inggris dalam pertemuan yang disetting sangat formal," kata Jenna Gibson, direktur komunikasi di Korea Economic Institute, seperti dikutip dari South China Morning Post (SCMP). Terutama dalam membahas hal-hal teknis.
Ada yang menilai aksen Kim Jong-un dipengaruhi masa lalunya yang pernah bersekolah di Swiss.
And it is amazing to listen to KJU's North Korean accent in his casual voice. Not so accurate and sounded like he has a bit of accent from Switzerland in his Korean too.
— Minjeong Ko (@Minjeong_KoKo) April 27, 2018
Warga Korea Selatan yang menyaksikan detik-detik pertemuan lewat layar kaca mengaku kaget mendengar suara Kim Jong-un.
"Suaranya terdengar dewasa dan konservatif, seperti suara lelaki yang jauh lebih dewasa," kata Wonjin Yoon, salah satu warga Korsel.
"Semua orang mengira dia akan terdengar seperti bocah laki-laki, tetapi dia pandai berbicara, terutama ketika dia membuat lelucon tentang membawa naengmyun (mi tradisional yang disajikan dingin) ke Korea Selatan. Kami semua terkejut."Â
Saksikan video menarik soal kunjungan Kim Jong-un berikut ini:
Kesepakatan yang Dahsyat, tapi...
Pertemuan dua pemimpin Korea tak hanya menjadi momentum bersejarah karena dilakukan untuk kali pertamanya. Namun, dialog digelar di tengah situasi Selatan dan Utara yang secara teknis masih berperang.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyambut baik pertemuan tersebut. Menurutnya, Perang Korea akan segera berakhir dan rakyat AS harus ikut bangga dengan apa yang kini terjadi negara itu.
KOREAN WAR TO END! The United States, and all of its GREAT people, should be very proud of what is now taking place in Korea!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) April 27, 2018
Donald Trump, yang pernah berperang retorika dengan Kim Jong-un dan menyebut pemimpin Korut itu sebagai "Rocket Man" juga memuji Presiden China Xi Jinping yang dianggapnya punya andil besar.
Please do not forget the great help that my good friend, President Xi of China, has given to the United States, particularly at the Border of North Korea. Without him it would have been a much longer, tougher, process!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) April 27, 2018
Sementara itu, Teuku Rezasyah dari Center for International Relations Studie (CIRS) Universitas Padjajaran mengatakan bahwa kesepakatan yang tertuang dalam deklarasi itu, meski masih samar dan belum detail secara teknis dan implementatif, merupakan sebuah pencapaian dahsyat bagi kedua pemimpin Korea, Moon Jae-in dan Kim Jong-un, dan rakyat negara masing-masing.
"Kesepakatan ini sungguh dahsyat bagi rakyat Korea, arah masa depan unifikasi Korea, denuklirisasi di Semenanjung, serta masa depan kedua negara, terutama Korea Utara, dalam berhubungan dengan komunitas internasional, terkhusus Amerika Serikat dan China," kata Rezasyah kepada Liputan6.com, Jumat 27 April 2018.
Rezasyah sangat menggarisbawahi bagaimana 'dua Korea' sangat serius perihal 'unifikasi mandiri' tersebut, sebagaimana hal itu tertuang dalam Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification on the Korean Peninsula.
'Unifikasi mandiri', kata Rezasyah, menunjukkan bagaimana kemandirian dua Korea untuk bersatu sebagai sebuah satu negara, satu bangsa, di mana masing-masing pihak akan memainkan peran sentral dan utama untuk mencapai tujuan tersebut.
"Pernyataan itu, serta butir-butir pelengkapnya, juga bisa menjadi acuan akan terjadinya sebuah pertemuan-pertemuan tinggi lanjutan antara pejabat dua Korea dan melibatkan banyak aktor, demi menindaklanjuti KTT hari ini. Luar biasa itu, sebuah langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata dosen Universitas Padjajaran itu.
"Selain itu, cara deklarasi itu menekankan bahwa dua Korea yang akan memainkan peran sentral, berfokus pada pemulihan hubungan mereka, juga sangat hebat. Ini juga merupakan sebuah penegasan kepada dunia dan komunitas internasional bahwa, 'biarkan kami, dua Korea, menjadi pemain sentral bagi perdamaian di Semenanjung'," tambahnya.
Pengamat CIRS itu juga menjelaskan, komitmen kedua negara untuk mendirikan 'kantor penghubung dan perwakilan di Gaeseong (Kaesong)' dan merevitalisasi kota itu sebagai sebuah diplomatic-hub bagi dua Korea, merupakan poin yang sangat positif.
Gaeseong memiliki nilai historis, di mana wilayah itu pernah menjadi ibu kota Kerajaan Korea pada dinasti Taebong dan dinasti Goryeo.
Tak hanya itu, Gaeseong modern, pada tahun 2002, pernah disulap menjadi area industri yang pernah dioperasikan secara kolaboratif oleh Korea Utara dan Korea Selatan. Bahkan, Korea Selatan banyak menyuntikkan dana dan teknologi agar kota industri itu bisa beroperasi mumpuni.
Namun, wilayah industri itu ditutup oleh pemerintah Korea Selatan pada tahun 2016, pada masa kepemimpinan Presiden Park Geun-hye, beriringan dengan peningkatan tensi di Semenanjung serta intensitas uji coba rudal dan nuklir Korea Utara.
Keputusan dua Korea untuk tidak mendiskreditkan Amerika Serikat dan China -- meski dalam porsi kecil -- juga dianggap penting oleh Rezasyah.
"Cara mereka tetap menempatkan Amerika Serikat dan China di dalam deklarasi, meski dalam porsi yang kecil, menunjukkan keseriusan dua Korea bahwa mereka ingin menjadi pemain utama untuk mencapai perdamaian ini terlebih dahulu. Baru setelahnya melibatkan Washington dan Beijing kemudian," ujarnya.
Sementara itu, pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut juga cukup mengejutkan.
"Pertemuan dua pemimpin Korea sungguh di luar dugaan dunia. Kim Jong-un ternyata ingin menjalin perdamaian dengan Korea Selatan. Bahkan ia bersedia untuk melakukan denuklirisasi," kata Hikmahanto kepada Liputan6.com.
Denuklirisasi Perlu Proses Panjang
Kendati demikian, para pengamat mengatakan bahwa tujuan untuk mencapai denuklirisasi penuh seperti yang termaktub dalam Deklarasi Panmunjom masih sangat jauh terealisasi.
"Detailnya belum tampak dari deklasasi itu. Niat untuk denuklirisasi memang disebutkan, tapi bagaimana proses dan implementasinya belum bisa diprediksi," kata Rezasyah.
"Lagipula, tak dijelaskan tipe denuklirisasi apa yang akan dilakukan. Apakah nuklir yang terkait senjata, nuklir terkait pembangkit listrik, atau nuklir yang seperti apa? Kita belum tahu," jelasnya.
 Terkait denuklirisasi, Amerika Serikat dan China mungkin akan tetap memainkan peranan dalam proses negosiasi tersebut.
"Tujuan utama dari Amerika Serikat menerima tawaran Korea Utara untuk konferensi tingkat tinggi, kan, tujuannya ke arah sana; untuk denuklirisasi penuh di Semenanjung. Jadi kita tunggu saja bagaimana hasil pertemuan Kim Jong-un dengan Donald Trump nanti."
Di sisi lain, Hikmahanto Juwana tetap optimis bahwa denuklirisasi, unifikasi, serta semua yang termaktub di dalam deklarasi bisa terjadi. Namun, terkait bagaimana prosesnya, hanya waktu yang bisa menjawab.
"Pembahasan yang lebih komprehensif dan rinci seputar semua yang ada di dalam deklarasi itu, termasuk denuklirisasi, akan dilakukan di tataran pejabat teknis. Dan akan sangat banyak sekali dinamika yang bisa terjadi. Kita tunggu saja ke depannya."
Sementara itu, Dino Patti Djalal dari Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada 10 April 2018 pernah menjelaskan agar dunia jangan terlalu berharap dan menaruh ekspektasi tinggi untuk mencapai tujuan denuklirisasi dan unifikasi.
"Yang paling terpenting sekarang adalah memberikan ruang untuk menumbuhkan rasa saling percaya antara dua Korea dan rekonsiliasi -- bukan unfikasi ya. Kedua hal itu lebih penting dan lebih terealisasi untuk saat ini, ketimbang mencapai tujuan denuklirisasi dan unfikasi, yang sesungguhnya, kedua hal itu, merupakan target jangka panjang," kata Dino di FPCI pada 10 April 2018.
Advertisement
Realitas Pahit: Permusuhan Belum Usai
Kim Jong-un tak datang sendirian ke Korea Selatan. Tak hanya disertai delegasi yang berjumlah sembilan orang, ia juga dikawal rapat pasukan pengaman elitenya.
Para pengawal yang dipilih khusus -- dari kecakapan, kemampuan bela diri, dan tak ketinggalan penampilan -- terus bersiaga.
Saat Kim Jong-un kembali ke Korea Utara, dengan menaiki mobil, 12 dari mereka bahkan rela berlari mengawal kendaraan yang membawa sang pemimpin tertinggi.
Â
Media Korea Selatan juga menangkap salah satu pertanda yang kontras dengan suasana hangat dan penuh persahabatan di Pamunjon.
Seperti dikutip dari Yonhap, saat bertemu Presiden Moon Jae-in, dua pucuk pimpinan militer Korut, Ri Myong-su, Kepala Staf Tentara Rakyat Korea Utara, dan Pak Yong-sik, menteri angkatan bersenjata Korut.
Hal tersebut tak dilakukan para jenderal Korsel untuk Kim Jong-un.
Jenderal Jeong Kyeong-doo, Kepala Staf Gabungan Militer Korea Selatan, hanya menjabat tangan Kim Jong-un tanpa memberi hormat atau bahkan menganggukan kepalanya.
Sementara, Menteri Pertahanan Song Young-moo juga memasang ekspresi datar, dengan posisi berdiri tegak, saat bertemu muka dengan Kim Jong-un.
Ia menjabat tangan penguasa Korut itu, dan hanya memberikan sedikit anggukan sebagai tanda sapaannya.
Sikap dua petinggi militer tersebut menjadi pengingat pada realitas pahit bahwa kedua negara secara teknis masih berperang, 65 tahun setelah gencatan senjata ditandatangani.
"Kedua petinggi militer tersebut tampaknya telah memutuskan bahwa secara formal,memberi hormat kepada pemimpin negara musuh, tidaklah tepat," demikian seperti dikutip dari Yonhap.
Sementara itu, Donald Trump mengungkapkan kemungkinan, pertemuannya denagan Kim Jong-un akan digelar awal Juni ini. Dua hingga tiga negara masih dipertimbangkan jadi lokasinya.
"Saya pikir ia tidak sedang bermain-main," kata Dobnald Trump soal Kim Jong-un, seperti dikutip dari Bloomberg, Sabtu (28/4/2018).
Trump juga memuji kemampuan pemimpin muda Korut itu menjalin relasi. "Hal-hal baik akan terjadi," kata miliarder nyentik itu dalam konferensi persnya bersama Kanselir Jerman, Angela Merkel.
Apakah pertemuan Kim Jong-un dan Presiden Korsel yang hanya berlangsung selama dua jam, serta dialognya bersama Donald Trump, akan menghapus permusuhan selama bertahun-tahun? Sejarah yang akan menjawab.