Liputan6.com, Kuala Lumpur - Seorang pria Denmark divonis penjara selama seminggu di Malaysia pada Senin lalu setelah mengaku bersalah melanggar aturan hukum soal berita palsu (fake news). Dia menjadi orang pertama yang dihukum di bawah undang-undang yang kontroversial tersebut.
Undang-undang berita palsu, yang disahkan pada awal April, membuat orang yang dianggap menyebarluaskan informasi palsu secara sengaja, dapat dihukum dengan kurungan hingga enam tahun penjara dan denda dalam jumlah relatif besar.
UU itu telah memicu kemarahan dari kelompok-kelompok hak asasi manusia yang percaya peraturan tersebut adalah dalih penguasa untuk menindak mereka yang memiliki perbedaan pendapat.
Advertisement
Salah Salem Saleh Sulaiman, warga Denmark keturunan Yaman berusia 46 tahun, mengaku membuat dan memposting di YouTube sebuah video yang menuduh layanan darurat merespons lambat penembakan yang dialami seorang anggota Hamas.
Baca Juga
Fadi al-Batsh ditembak mati di Kuala Lumpur pada 21 April 2018. Ahli pembuat roket itu dieksekusi saat sedang menuju masjid, untuk melaksanakan salat subuh.
Keluarga korban menuding agen mata-mata Israel, Mossad sebagai dalang. Namun, negeri zionis membantah berada di balik pembunuhan itu.
Dalam persidangan, Salah Salem Saleh Sulaiman, yang tak didampingi pengacara, mengenakan jubah putih dan kopiah hijau. Dia mengaku tidak mengetahui hukum soal penyebaran berita palsu di Malaysia.
"Saya mengaku salah, karena saya tidak bertanya soal aturan hukum di negara ini," kata dia, dalam bahasa Inggris, dengan tubuh gemetar. Demikian seperti dikutip dari Asiaone pada Selasa (1/5/2018).
Video berdurasi dua menit diputar di pengadilan. Rekaman tersebut menunjukkan terdakwa berbicara dalam bahasa Arab dan mengeluh tentang apa yang dia klaim sebagai respon lambat dari polisi Malaysia dan layanan ambulans setelah penembakan. Pihak berwenang telah membantah klaimnya itu.
Hakim Zaman Mohamad Noor menjatuhkan vonis penjara selama sepekan terhadap terdakwa, dipotong masa tahanan yang sudah dijalani sejak penangkapannya 23 April 2018. Hukuman denda sebesar 10.000 ringgit Rp sekitar Rp 35 juta juga dijatuhkan.
"Jika tidak bisa membayar denda, maka terdakwa harus menjalani hukuman pengganti selama satu bulan," kata hakim.
Pria Denmark, yang baru 10 hari berada di Malaysia, mengaku dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar denda. Dia mengatakan dia memiliki tiga istri dan enam anak.
UU Kontroversial
Undang-undang berita palsu telah memicu kekhawatiran bahwa pemerintah berusaha untuk meredam kritik, terutama dengan pemilihan umum yang terjadi pada tanggal 9 Mei.
Portal berita independen Malaysiakini pekan lalu mengajukan keberatan hukum pertama terhadap undang-undang berita palsu itu, dengan alasan melanggar jaminan konstitusional untuk kebebasan berbicara.
Dalam UU, siapa pun yang ditemukan "secara sadar menciptakan, menawarkan, menerbitkan, mencetak, mendistribusikan, menyebarluaskan atau menyebarluaskan" berita atau publikasi palsu apa pun bisa denda hingga 500.000 ringgit Malaysia sekitar Rp 1,7 miliar atau penjara hingga 10 tahun atau keduanya.
Dalam kasus pelanggaran terus menerus, seseorang dapat dikenakan denda tambahan hingga 3.000 ringgit Malaysia (Rp 10 juta) setiap hari selama pelanggaran berlanjut.
Selain hukuman, pengadilan juga dapat memerintahkan pembuatan permintaan maaf, seperti di pengadilan terbuka atau dengan publikasi di koran.
Siapa pun yang ditemukan memberikan bantuan keuangan untuk tujuan melakukan atau memfasilitasi pelanggaran juga bertanggung jawab atas denda hingga 500.000 ringgit Malaysia atau penjara hingga 10 tahun atau keduanya.
RUU ini juga menyatakan bahwa setiap orang yang gagal menghapus publikasi yang mengandung berita palsu juga bertanggung jawab atas denda hingga 100.000 ringgit Malaysia (Rp 352 juta) dan dalam kasus pelanggaran berkelanjutan, denda lebih lanjut hingga 3.000 ringgit Malaysia setiap hari selama pelanggaran berlanjut.
Advertisement