Trump: Kim Jong-un Akan Berakhir seperti Moammar Khadafi jika Tak Mau Denuklirisasi

Trump desak Kim Jong-un untuk menyepakati denuklirisasi dan perlucutan senjata, jika tak ingin Korea Utara berakhir seperti dan Libya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 18 Mei 2018, 13:30 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2018, 13:30 WIB
Donald Trump dan Kim Jong-un (AP Photo)
Donald Trump dan Kim Jong-un (AP Photo)

Liputan6.com, Washington DC - Presiden Donald Trump mendesak pemimpin Korea Utara Kim Jong-un untuk segera membuat kesepakatan dengan AS tentang perlucutan senjata nuklir.

Jika tidak, Trump mengancam bahwa nasib Kim Jong-un dan Korea Utara akan berakhir seperti mendiang Muammar Khadafi dan Libya. Demikian seperti dikutip dari The Guardian (18/5/2018).

Ancaman itu disampaikan Trump di Gedung Putih Kamis, 17 Mei kemarin, ketika pers memintanya berkomentar seputar usulan yang disampaikan oleh Penasihat Kepresidenan bidang Keamanan Nasional, John Bolton.

Bolton sebelumnya mengatakan bahwa 'model Libya' akan menjadi contoh bagi AS untuk bernegosiasi dengan Korea Utara pada 12 Juni di Singapura nanti.

Model Libya yang dimaksud Bolton merujuk pada perjanjian yang dibuat antara AS -- Khadafi pada Desember 2003, di mana diktator Libya itu diwajibkan untuk melucuti program senjata nuklirnya dan menyerahkan teknologi pengayaan uranium (enriched uranium) -- yang merupakan bahan baku senjata nuklir -- kepada AS.

Akan tetapi, Trump tak menyadari tentang perjanjian itu dan menafsirkan 'model Libya' yang disebut oleh John Bolton dengan interpretasi yang berbeda. Dia justru menginterpretasikan 'model Libya' yang disebut Bolton sebagai intervensi NATO terhadap rezim Khadafi pada tahun 2011.

Pada tahun itu, NATO mendukung dan membantu kelompok oposisi yang berusaha untuk menggulingkan Khadafi. Pada akhirnya, Khadafi berhasil digulingkan dan tewas di tangan pemberontak di Tripoli.

"Jika Anda lihat model yang diterapkan pada Khadafi, model itu adalah penumpasan total (terhadap rezim dan Khadafi). Kami datang ke sana dan mengalahkannya," kata Donald Trump menginterpretasikan 'model Libya' yang diutarakan John Bolton.

"Sekarang, model seperti itu akan diterapkan (terhadap Kim Jong-un dan Korea Utara) jika kita tidak mencapai kesepakatan (soal denuklirisasi dan perlucutan senjata). Tapi jika kita membuat kesepakatan itu, Kim Jong-un akan menjadi orang yang paling bahagia," tambahnya.

"(Jika kesepakatan itu tercapai) Kim Jong-un akan tetap di sana. Ia tetap akan memerintah negaranya. Dan negaranya akan menjadi kaya," lanjut Trump.

Penasihat Kepresidenan AS bidang Keamanan Nasional, John Bolton. Foto diambil saat Bolton menjabat sebagai dubes AS untuk PBB pada 2005 (Dennis Cook/Associated Press)

Ketika ditanya apakah komentar itu mengindikasikan bahwa Trump tak sepakat dengan penasihat keamanan nasionalnya, presiden ke-45 AS itu mengatakan, "Saya pikir, ketika Bolton membuat pernyataan itu, dia berbicara tentang kemungkinan masalah yang mungkin kita hadapi (jelang KTT Korea Utara - AS). Karena, kita tidak bisa membiarkan negara itu memiliki nuklir. Kami tak bisa membiarkannya."

Menurut analis, komentar yang dibuat Trump tak hanya menginterpretasikan 'model Libya' secara keliru, tetapi juga memiliki nada ancaman terhadap Kim Jong-un. Ancaman itu justru akan berpotensi semakin memperkeruh hubungan kedua negara jelang KTT Korea Utara - AS pada 12 Juni nanti.

"Sungguh waktu yang tak tepat bagi Trump untuk mengutarakan ancaman seperti itu, tiga pekan jelang KTT," lanjut Joel Wit, analis senior US-Korea Institute Johns Hopkins University yang juga mantan negosiator AS.

Saat ini, KTT Korea Utara - AS pun tengah terancam batal usai Pyongyang mengancam untuk menghentikan pertemuan itu. Korea Utara mengutarakan bahwa Washington terus melakukan provokasi dengan 'memaksakan kehendak untuk denuklirisasi secara sepihak' serta 'terus melanjutkan latihan militer bersama Korea Selatan di semenanjung'.

Pemerintah Amerika Serikat pun sejak beberapa pekan terakhir bersikeras bahwa tolak ukur keberhasilan KTT Korea Utara - AS nanti adalah persetujuan Pyongyang untuk melakukan denuklirisasi dan perlucutan senjata secara total.

Namun, meskipun Pyongyang mengancam untuk membatalkan KTT, Donald Trump tetap optimis bahwa pertemuan itu akan tetap berlangsung.

Di sisi lain, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Heather Nauert, mengatakan, "Kami terus mendorong ke depan dan merencanakan persiapan kami. Mereka melanjutkan negosiasi awal pada saat ini untuk pertemuan antara presiden dan Kim Jong-un pada bulan Juni."

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Korea Utara Ancam Batalkan Pertemuan dengan Donald Trump

Ilustrasi Korea Utara (AFP)
Ilustrasi Korea Utara (AFP)

Korea Utara mengancam untuk membatalkan pertemuan tingkat tinggi antara Kim Jong-un dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, jika AS terus memaksa Pyongyang untuk melucuti persenjataan nuklir mereka.

Media pemerintah Korea Utara KCNA, mengutip Wakil Menteri Luar Negeri Kim Kye-gwan menjelaskan, "Jika AS terus memojokkan kami dan secara sepihak menuntut untuk melucuti persenjataan nuklir kami, maka kami tak lagi berminat untuk berdialog." Demikian seperti dikutip dari BBC pada Rabu 16 Mei 2018.

"Kami juga akan mempertimbangkan kembali apakah akan menerima KTT DPRK (Korea Utara) - AS mendatang," kata Kim Kye-gwan.

Wamenlu Korea Utara itu "sangat berharap bahwa KTT akan mengarah pada situasi yang lebih membaik di Semenanjung Korea dan menuju pada masa depan yang lebih besar."

"Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa Amerika Serikat terus memprovokasi kami dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyinggung menjelang KTT," tambahnya.

Komentar itu datang bersamaan ketika pemerintah Korea Utara secara tiba-tiba membatalkan agenda pertemuan dengan delegasi Korea Selatan, yang rencananya akan dilaksanakan hari ini.

Korut beralasan pembatalan tersebut merupakan bentuk protes terhadap latihan militer gabungan yang baru saja dilakukan oleh Korsel dan Amerika Serikat (AS).

Media pemerintah Korut, KCNA, menyebut latihan itu sebagai "provokasi" dan persiapan untuk invasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya