Heboh Pemasangan Spanduk Sebut Filipina Sebagai Provinsi China

Warga Filipina dibuat geger oleh pemasangan spanduk yang menyebut negaranya sebagai provinsi China.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 13 Jul 2018, 17:05 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2018, 17:05 WIB
Spanduk  kontroversial yang bertuliskan Filipina sebagai provinsi China, bertebaran di beberapa sudut jalan utama di Manial (AP/B.Marquez)
Spanduk kontroversial yang bertuliskan Filipina sebagai provinsi China, bertebaran di beberapa sudut jalan utama di Manial (AP/B.Marquez)

Liputan6.com, Manila - Warga kota Manila dibuat geger oleh kemunculan beberapa spanduk yang menyebut Filipina sebagai "provinsi China". Spanduk-spanduk misterius tersebut dipasang di banyak jembatan penyeberangan di jalan-jalan utama kota itu.

Ditemukan pertama kali pada Kamis, 12 Juli 2018, spanduk bertuliskan "Selamat datang di Filipina, Provinsi China" itu menuai kecaman luas dari warga Filipina, terutama kemarahan yang diluapkan oleh para warganet di Twitter dan Facebook.

Dikutip dari South China Morning Post pada Jumat (13/7/2018), pemasangan spanduk tersebut bertepatan dengan ulang tahun kedua kemenangan Filipina atas China dalam sebuah sidang arbitrase penting di Den Haag, Belanda.

Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab terkait spanduk kontroversial tersebut, yang dicetak dalam aksara latin dan karakter Mandarin, dengan tambahan visual bendera China yang diapit oleh dua ekor naga.

Otoritas Manila menyebut spanduk tersebut ditemukan setidaknya di lima lokasi di Manila, termasuk salah satunya dipasang tidak jauh dari area kediaman resmi presiden Filipina, Istana Malacanang.

Beberapa pihak menuding oposisi sebagai otak di balik pemasangan spanduk, dengan tujuan mendiskreditkan ketegangan yang terjadi dalam hubungan diplomatik antara Manila dan Beijing.

Namun, ada pula yang mencela hal tersebut sebagai ketidaktegasan pemerintah Filipina terhadap invasi Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan.

Kilas balik pada dua tahun lalu, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa Beijing tidak memiliki status berdaulat secara historis terhadap perairan Laut China Selatan.

Keputusan pengadilan tersebut juga menilai Negeri Tirai Bambu telah melanggar hak kedaulatan, dengan menghalangi nelayan tradisional beroperasi di area pulau buatan China, yang bersinggungan langsung dengan zona ekonomi ekslusif Filipina.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Memiliki Sejarah Perselisihan

Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping
Presiden Filipina Rodrigo Duterte bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping (Etienne Oliveau/Pool Photo via AP)

Filipina dan China disebut memiliki sejarah perselisihan tentang kedaulatan maritim. Namun, di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, yang telah menjabat dua minggu sebelum keputusan Den Haag, Manila justru mengambil pendekatan damai untuk mengajukan pinjaman, kerja sama perdagangan, dan mengundang investasi Beijing.

Media lokal beberapa kali memberitakan tentang pujian Duterte terhadap mitra pemimpin Negeri Tirai Bambu, Xi Jinping, dan bahkan sempat menawarkan Filipina ke Beijing sebagai provinsi China.

Menurut partai Akbayan yang berada di pihak oposisi, Filipina di bawah pemerintahan Duterte telah mencetak "gol bunuh diri" karena gagal menekan China untuk menerapkan putusan arbitrase.

Di lain pihak, Wakil Presiden Leni Robredo, yang dipilih secara terpisah dari Duterte, mengatakan bahwa warga Filipina sebaiknya melakukan protes damai terhadap kelambanan pemerintah.

Juru bicara Duterte, Harry Roque, menyebut spanduk itu "tidak masuk akal" dan mengatakan bahwa musuh politik pemerintah kemungkinan besar berada di belakangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya