Theresa May Desak Uni Eropa Pertimbangkan Rencana Baru Inggris untuk Brexit

Mendekati tenggat waktu Brexit, PM May desak Uni Eropa mempertimbangkan rencana baru Inggris.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 20 Sep 2018, 11:04 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2018, 11:04 WIB
Perdana Menteri Inggris Theresa May berbicara di hadapan Uni Eropa (AP/Virginia Mayo)
Perdana Menteri Inggris Theresa May berbicara di hadapan Uni Eropa (AP/Virginia Mayo)

Liputan6.com, Jakarta - Perdana Menteri Theresa May mendesak para pemimpin Uni Eropa untuk memfokuskan diri pada upaya mendapatkan kesepakatan Brexit dalam dua bulan ke depan dan mengancam bahwa negosiasi terkait tidak akan diperpanjang.

Saat menghadiri sesi makan malam di Salzburg, Austria, PM May mengatakan kepada 27 rekannya bahwa prioritasnya saat ini adalah mempertahankan hubungan ekonomi, dan memastikan janji-janji untuk Irlandia Utara dipertahankan.

Dikutip dari BBC pada Kamis (20/9/2018), muncul perkiraan bahwa Inggris akan mengajukan ide-ide baru untuk pemeriksaan regulasi dalam mengatasi kebuntuan Irlandia saat ini.

Prediksi itu datang ketika PM May bersikeras ingin Uni Eropa harus juga memikirkan kembali sikapnya di perbatasan selepas Brexit nanti.

Dalam pidato saat makan malam tersebut, PM May menekankan proposal "serius" untuk kerja sama masa depan antara Inggris dan Uni Eropa agar terus terjaga dengan baik.

Pertemuan informal para pemimpin Uni Eropa di Kota Salzburg itu adalah kesempatan pertama bagi PM May untuk membuat cetak biru Kesepakatan Checkers dari para pemimpin lainnya secara kolektif.

Negosiasi atas ketentuan keluarnya Inggris dan hubungan masa depan berada pada tahap kritis, dengan tarik ulur yang berlangsung sekitar enam bulan sebelum Inggris dijadwalkan resmi keluar pada 29 Maret 2019.

Usulan PM May agar Inggris mendaftar ke buku peraturan umum untuk perdagangan barang dan wilayah pabean gabungan tidak banyak mendapat dukungan dari banyak orang di partainya sendiri.

Oleh pengamat, hal itu diyakini akan mengikis kedaulatan Inggris serta dukungan publik dalam negeri terhadap hasil referendum Brexit, yang disampaikan pada 2016.

Di lain pihak, menurut juru bicara pemerintah senior, PM May mengatakan kepada rekan-rekannya bahwa Brexit adalah tantangan "rumit" yang unik, tetapi dapat diselesaikan tepat waktu.

PM May menegaskan tidak akan ada pertanyaan tentang Inggris yang berusaha memperpanjang negosiasi melampaui 29 Maret 2019, seperti yang diminta oleh Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon, sehingga berisiko menunda momen keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Ditambahkan oleh PM May bahwa dia telah "mengajukan proposal yang serius dan bertanggung jawab pada kita semua (Inggris) untuk menyelesaikannya".

Tiga prioritasnya, katanya, melindungi Irlandia Utara bagi kedaulatan Inggris, menjaga hubungan perdagangan dengan Uni Eropa, dan mempertahankan hubungan keamanan yang erat dengan Uni Eropa untuk menghadapi ancaman umum.

 

Simak video pilihan  berikut: 

Sandungan Masalah Irlandia Utara

Karnaval Tradisional Rose Monday di Jerman
Kereta karnaval membawa karikatur yang menggambarkan Perdana Menteri Inggris, Theresa May melahirkan bayi Brexit-nya dalam parade karnaval Rose Monday di Duesseldorf, Jerman, Senin (12/2). (AP Photo/Martin Meissner)

Sementara itu di Irlandia Utara, ada dugaan bahwa Inggris akan mengajukan proposal baru dalam minggu-minggu mendatang, yang bertujuan membantu memecahkan kebuntuan dengan Uni Eropa.

Brussels, ibu kota Uni Eropa, telah mendesak Irlandia Utara untuk tetap selaras dengan aturannya, kecuali solusi lain dapat ditemukan untuk mencegah pemeriksaan fisik pada barang yang menyeberang dari dan ke Republik Irlandia.

Tanggapan lanjut tentang ancaman yang dtujukan kepada Inggris, kemungkinan besar akan mendapat jawaban, setidaknya pada hari Kamis ini, ketika perunding Uni Eropa Michel Barnier akan memberi pengarahan singkat kepada para pemimpin Eropa tentang situasi terkini pada krisis Brexit.

PM May akan bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia Leo Varadkar dan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk.

Sebelumnya pada Selasa 18 September, kanselir Austria Sebastian Kurz, yang menjadi tuan rumah acara tersebut, mengatakan bahwa kedua pihak perlu berkompromi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya