Rodrigo Duterte Usir Biarawati Australia dari Filipina, Kenapa?

Seorang biarawati sekaligus aktivis HAM asal Australia, dipaksa meninggalkan Filipina atas otorisasi Presiden Rodrigo Duterte. Kenapa?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 04 Nov 2018, 15:01 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2018, 15:01 WIB
Rodrigo Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberi tahu puluhan polisi yang berada di hadapannya bahwa mereka akan diawasi. (Ted Aljibe/AFP)

Liputan6.com, Manila - Seorang biarawati sekaligus aktivis HAM berkewarganegaraan Australia, telah dipaksa meninggalkan Filipina lebih cepat. Penyebabnya, ia dituduh telah melakukan tindakan yang menimbulkan kemarahan Presiden Rodrigo Duterte karena mengikuti demonstrasi anti-pemerintah yang menyerukan persatuan dan perlawanan terhadap pelanggaran HAM.

Patricia Anne Fox meninggalkan Filipina menuju Australia pada Sabtu 3 November 2018, setelah Biro Imigrasi Filipina mengeluarkan perintah deportasi beberapa bulan lalu dan mengubah visa miliknya dari visa misionaris menjadi visa kunjungan biasa yang tenggatnya berakhir Sabtu ini.

Dalam konferensi pers, Fox yang berusia 71 tahun, meminta warga Filipina untuk tetap bersuara dan membantu perjuangan untuk memperoleh kembali lahan, rumah dan pekerjaan mereka.

Fox mengatakan kepada Associated Press bahwa upaya pemberantasan narkoba yang digiatkan Presiden Duterte dan banyak menelan korban jiwa, adalah "tindakan barbar" dan jika diizinkan kembali ia bertekad akan mengaktifkan lagi misi membantu kelompok miskin yang sudah dijalankannya selama 27 tahun ini.

Sementara itu, juru bicara Presiden Rodrigo Duterte, Salvador Panelo, mengatakan dalam pesan tertulis pada hari Sabtu bahwa pengusiran Fox "adalah peringatan tepat waktu untuk semua orang asing di negara ini bahwa mereka tidak berhak atas semua hak istimewa warga Filipina, termasuk penerapan hak politik yang secara mutlak eksklusif bagi warga negara Filipina," demikian seperti dikutip dari The Strait Times, Minggu (4/11/2018).

Panelo mengatakan bahwa Fox telah "berpartisipasi dalam demonstrasi, misi pencarian fakta dan konferensi berita. Ia melanggar kondisi tinggalnya,dan dengan demikian mengejek hukum kami serta menyalahgunakan keramahan yang diberikan kepadanya oleh negara tuan rumah."

Panelo juga mengatakan bahwa Duterte menuduh Fox "berperilaku tidak tertib" setelah dia bergabung dengan misi pencarian fakta pada bulan April 2018 untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap petani di kota asal presiden di Davao.

Fox pergi menemui petani yang ditahan dengan tuduhan memiliki bahan peledak, dan menghadiri konferensi pers oleh para pekerja yang dipecat setelah menuntut upah dan kondisi yang lebih baik. Tak lama setelah itu, dia ditangkap secara singkat dengan tuduhan melanggar ketentuan visanya.

"Pelanggaran HAM di Filipina Meningkat"

Tak lama setelah mendarat di Melbourne pada 3 November, Patricia Anne Fox mengatakan kepada wartawan: "Saat ini di Filipina, pelanggaran hak asasi manusia meningkat, dan itu adalah pemerintahan tirani saat ini," demikian seperti dikutip dari The Strait Times.

"Sudah ada budaya kekebalan hukum untuk waktu yang lama, dan itu semakin parah," katanya.

Fox juga menawarkan saran kepada Presiden Duterte: "Dengarkan orang miskin, bukan hanya militer. Dengarkan kaum miskin kota, petani, pekerja, penduduk pribumi. Dengarkan mereka, dan bertindak atas nama mereka, bukan hanya orang kaya."

Misionaris itu berada di Filipina dengan membantu kelompok miskin selama hampir 30 tahun.

Sebelum dideportasi ke Australia, Fox menghadiri misa emosional untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ratusan pendukungnya yang memprotes pengusirannya dan bersumpah untuk mengupayakan agar bisa kembali ke Filipina, mungkin setelah Presiden Rodrigo Duterte mundur pada tahun 2022.

Fox sendiri berharap agar suatu hari nanti akan kembali ke Filipina.

"Akan tiba saatnya aku kembali suatu hari nanti," katanya.

Kelompok kiri Bagong Alyansang Makabayan (Aliansi Rakyat Baru) menyebut kepergiannya sebagai "ketidakadilan besar".

Pada malam keberangkatannya, Fox mendesak pengikutnya untuk "tidak menyerah pada rasa takut dan terus bertindak".

Dia bersikeras bahwa tindakannya selama di Filipina adalah "bukan politik atau partisan, tetapi bagian dan bagian dari karya kerasulan dan kerja misionaris".

"Sebaliknya, duduk diam, hening, tidak melakukan apa pun ketika ketidakadilan dan penindasan yang terjadi ... bertentangan dengan doktrin sosial dan ajaran gereja untuk keselamatan dan pembebasan bagi orang miskin dan tidak berdaya," katanya.

Fox telah berada di Filipina pada tahun 1990 sebagai anggota Sisters of Our Lady of Sion, sebuah perkumpulan biarawati yang didirikan di Perancis pada tahun 1847 dan terkenal karena menampung orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari penganiayaan Nazi pada Perang Dunia II.

Seorang mantan pengacara yang berpraktek yang bekerja dengan klien miskin di Australia, Fox mengatakan dia telah mendidik para petani Filipina yang tidak memiliki lahan dan pekerja pabrik tentang hak-hak mereka.

 

Simak video pilihan berikut:

Duterte Antikritik dari Asing?

Presiden Filipina Rodrigo Duterte (AP/Bullit Marquezz)
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (AP/Bullit Marquezz)

Pengusiran Patricia Anne Fox dari Filipina telah menyoroti isu yang lebih luas tentang keterlibatan orang asing dalam kampanye hak asasi manusia di negara itu.

Presiden Rodrigo Duterte telah sensitif terhadap kritik, terutama oleh orang asing, yang katanya tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan domestik negaranya dan tak berhak untuk mengkritik operasi berdarah pada perdagangan narkotika yang telah meninggalkan ribuan tersangka tewas.

Sebelumnya, pemerintah Filipina telah mencekal politisi Italia Giacomo Filibeck, yang mengkritik penumpasan anti-narkoba, untuk memasuki Filipina pada bulan April 2018.

Empat bulan kemudian, aktivis HAM dari Australia Gill Boehringer, dilarang masuk karena menghadiri protes pada tahun 2015. Ia juga dituduh oleh Filipina melanggar undang-undang imigrasi.

Juga tahun ini, tiga misionaris asing, termasuk seorang warga negara Amerika Serikat, ditahan dan dideportasi pada bulan Juli 2018 setelah mengunjungi Filipina selatan untuk menyelidiki tuduhan bahwa tentara telah melakukan pelanggaran HAM di sana, termasuk pembunuhan pada Desember 2017 terhadap setidaknya delapan anggota masyarakat adat di provinsi Danau Sebu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya