Liputan6.com, Yanggon - Berbagai laporan mengenai terjadinya penembakan yang diduga dilakukan oleh polisi Myanmar terhadap etnis Rohingya di sebuah kamp pengungsi di negara bagian Rakhine, telah memicu keprihatinan para pejabat PBB.
I am deeply concerned about the reports of shooting in Ah Nauk Ye camp in central #Rakhine, #Myanmar which holds IDPs who fled violence in 2012. I call for calm, non-violence and restraint. Our statement: pic.twitter.com/Fz2dd2SFLx
— Knut Ostby (@knutostby) November 18, 2018
Keprihatinan itu dipicu oleh sejumlah laporan dari para saksi mata yang mengatakan, polisi Myanmar menembak dan melukai empat orang Rohingya pada hari Minggu 19 November 2018, serta menahan dua orang yang dituduh menyelundupkan orang-orang keluar dari sebuah kamp pengungsi di negara bagian Rakhine, Myanmar barat.
Advertisement
Baca Juga
Laporan itu menyebut, sekitar 20 polisi mendatangi kamp Ah Nauk Ye, 15 kilometer timur ibu kota negara bagian Sittwe, dan menahan dua orang yang dituduh memiliki "kapal reyot" yang digunakan dalam upaya menyelundupkan 106 orang, termasuk 25 anak, untuk keluar dari kamp itu pada pekan lalu. Kapal tersebut kemudian dihentikan di selatan Yangoon.
Seorang saksi mata mengatakan bahwa ketika polisi datang ke kamp itu, "orang-orang dari kamp keluar untuk melihat apa yang terjadi, namun kemudian polisi menembaki mereka," demikian seperti dikutip dari Voice of America, Rabu (21/11/2018).
Akan tetapi, polisi mengatakan bahwa warga Rohingya mengepung mereka dengan pedang dan melemparkan batu ke arah mereka.
"Saya mendengar bahwa warga Bengali dari kamp itu berusaha membebaskan orang-orang yang ditangkap itu dari polisi dan polisi harus melepaskan tembakan peringatan," kata inspektur polisi Than Htay dari kantor polisi terdekat.
Orang Myanmar menyebut Muslim Rohingya sebagai "Bengali", suatu rujukan bahwa mereka merupakan imigran gelap yang berasal dari Bangladesh dan bukan warga negara Myanmar.
Simak video pilihan berikut:
Penangkapan Perahu Penyelundup Pengungsi Rohingya
Kabar di atas muncul setelah otoritas keimigrasian Myanmar menangkap sebuah perahu berisi 106 orang yang dicurigai sebagai Rohingya, di lepas pantai Yangon --kota terbesar Myanmar-- pada 16 November 2018 lalu, kata pejabat lokal.
Kapal itu diduga merupakan gelombang baru orang Rohingya yang berupaya keluar dari Myanmar, di mana mereka mengalami diskriminasi dan persekusi berkelanjutan. Sementara itu, dalam laporannya, PBB menyebut bahwa tentara Myanmar melakukan upaya genosida terhadap etnis minoritas itu pada tahun lalu --yang memicu gelombang pengungsi besar-besaran dari Rakhine ke Bangladesh dan beberapa wilayah lain di Asia Tenggara.
Aye Mya Mya Myo, seorang legislator majelis rendah untuk partai Nasional Liga untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, memposting foto-foto penangkapan itu di Facebook, menggambarkan sebuah perahu reyot yang penuh sesak dengan wanita mengenakan jilbab, pria dan anak-anak. Pada beberapa gambar, petugas polisi terus mengawasi orang-orang yang berjongkok di atas kapal.
Mya Myo mengatakan, ada 50 pria, 31 wanita dan 25 anak-anak di perahu.
Kapal itu menyerupai kapal-kapal Rohingya yang biasanya digunakan untuk melarikan diri dari kondisi layaknya apartheid di Rakhine, di mana mereka ditolak untuk bergerak bebas dan tak memiliki akses ke pendidikan dan kesehatan yang layak.
Pejabat dan pekerja kemanusiaan mengatakan dua minggu lalu bahwa puluhan orang Rohingya di Myanmar dan Bangladesh telah naik kapal untuk mencoba mencapai Malaysia dalam beberapa pekan terakhir, setelah akhir musim hujan pada awal Oktober. Mereka diduga kuat melakukan mobilitas dengan membayar jasa jaringan penyelundup manusia.
Para pengamat memperingatkan, karena rute penyelundupan ke Thailand telah terganggu dan perjalanan itu berbahaya dan mahal, semakin banyak Rohingya memilih perjalanan yang lebih murah dan lebih pendek lewat perairan di sepanjang pantai Teluk Benggala selatan ke Yangon, untuk kemudian mencapai Semenanjung Malaya.
Selama bertahun-tahun, Rohingya di perbatasan Myanmar telah menaiki perahu yang disediakan oleh jaringan penyelundup di bulan kering antara November dan Maret, ketika laut tenang. Perjalanan berbahaya ke Thailand dan Malaysia, sering dilakukan di kapal yang penuh sesak, telah menelan banyak korban jiwa.
Thailand menindak jaringan penyelundupan manusia setelah menemukan serangkaian kuburan massal pada tahun 2015, yang mengarah ke krisis ketika penyelundup meninggalkan kargo manusia mereka dan meninggalkan kapal yang terapung di Laut Andaman.
Advertisement