Dipukuli hingga Ditangkap Paksa, Warga Sipil Jadi Korban Kerusuhan di Zimbabwe

Banyak warga sipil Zimbabwe dilaporkan mengalami penangkapan paksa menyusul kerusuhan yang kian meluas di negara itu.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 17 Jan 2019, 12:02 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2019, 12:02 WIB
Kerusuhan semakin meluas di ibu kota Zimbabwe, Harare, pada Rabu 16 Januari 2019 (AFP)
Kerusuhan semakin meluas di ibu kota Zimbabwe, Harare, pada Rabu 16 Januari 2019 (AFP)

Liputan6.com, Harare - Aktivis, pengacara, dan beberapa pihak lainnya di Zimbabwe melaporkan tentang gelombang penangkapan paksa warga sipil di sekitar ibu kota Harare, Rabu 16 Januari, menyusul tindakan polisi dalam mengatasi kerusuhan akibat protes terhadap kenaikan harga pangan dan bahan bakar.

Sel tahanan kantor polisi di seluruh kota dilaporkan mengalami kapasitas berlebih, di mana di dalamnya banyak diisi oleh pria dan remaja, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Kamis (17/1/2019).

Di beberapa lingkungan miskin, kelompok-kelompok pemuda membentuk barikade penghalang, dan melempari beberapa kendaraan pasukan keamanan yang melintas dengan batu.

Tentara bersenjata berpatroli di berbagai jalan utama di kota-kota besar Zimbabwe, ketika orang-orang tak dikenal dilaporkan menyapu berbagia kawasan miskin di Harare, dan memukuli warga sipil "secara acak".

Selain itu, sebagian besar akses internet dan media sosial diputus sejak tensi kekerasan semakin meningkat pada hari Rabu.

"Pemutuskan akses internet (digunakan) untuk menutupi operasi besar-besaran pemerintah yang menindas," kata Doug Coltart, seorang pengacara yang berbicara mewakili lebih dari 30 tahanan di penjara pusat Harare.

"Sebagian besar mengatakan mereka telah diculik dari rumah oleh pria bertopeng yang membawa senjata AK47. Mereka mengaku diseret keluar dan dipukuli. Mereka juga ditahan tanpa tuduhan atau perwakilan, tanpa makanan atau air," lanjutnya menjelaskan.

Kerusuhan di Zimbabwe terjadi setelah aksi unjuk rasa nasional oleh serikat pekerja pada Senin 14 Januari, sebagai protes atas kenaikan tajam harga bahan bakar oleh Presiden Emmerson Mnangagwa.

Pemerintahan Mnangagwa sendiri berkuasa ketika Robert Mugabe terpaksa mengundurkan diri setelah pengambilalihan militer pada November 2017.

Setelah berkuasa penuh selama 37 tahun, Mugabe meninggalkan angka pengangguran yang besar, utang menumpuk, kekurangan pasokan mata uang, serta hancurnya sebagian besar infrastruktur.

 

Simak video pilihan berikut:

Wakil Presiden Zimbabwe Disalahkan

Aksi protes menentang kenaikan harga bahan bakar di Zimbabwe (AP/Tsvangirayi Mukhwazhi)
Aksi protes menentang kenaikan harga bahan bakar di Zimbabwe (AP/Tsvangirayi Mukhwazhi)

Emmerson Mnangagwa diketahui tengah bepergian di Asia dan Eropa ketika kerusuhan terjadi. Dia meninggalkan wakil presiden Constantino Chiwenga sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Chiwenga sempat dipersalahkan atas penembakan tentara terhadap enam warga sipil, menyusul aksi unjuk rasa berhari-hari setelah pemilu Zimbabwe pada 30 Juli tahun lalu.

Dia juga diduga bertanggung jawab atas gelombang penindasan brutal ketika pengumuman hasil pemilu pada bulan Agustus.

Sementara itu, belum diketahui siapa yang memerintahkan operasi penangkapan terhadap warga sipil, namun tindakannya disebut mirip dengan gelombang penindasan setelah pemilu terakhir, yang dimenangkan oleh Mnangagwa.

Dalam sebuah unggahan di akun Facebook-nya pada hari Rabu, Mnangagwa mengatakan dia sedih dengan "kekerasan sewenang-wenang dan perusakan sinis" selama protes.

Menteri Informasi, Monica Mutsvangwa, mengatakan di televisi pemerintah pada Selasa malam bahwa demonstrasi tersebut merupakan "terorisme" dan "terkoordinasi dengan baik" oleh pihak oposisi.

Penumpasan sebagian besar menargetkan benteng oposisi, meskipun pemimpin sayap pemuda partai Zanu-PF ditangkap bersama dengan enam orang lainnya, karena membakar bus milik perusahaan transportasi milik negara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya