Pilot Australia Diduga Bunuh 18 Warga Irak dalam Serangan Udara di Mosul 2017

Dua pilot Australia menggempur para ekstremis ISIS di Mosul Barat pada Juni 2017 lalu. Kedua bahan peledak berkekuatan tinggi mencapai target mereka dan menetralisir ancaman itu (militan).

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 01 Feb 2019, 16:23 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2019, 16:23 WIB
Ilustrasi militer (Pixabay)
Ilustrasi militer (Pixabay)

Liputan6.com, Mosul - Pilot-pilot Australia terlibat dalam serangan udara bersama terhadap para ekstremis ISIS di Mosul Barat, pada Juni 2017 lalu. Dalam penyelidikan terkait serangan itu, kemungkinan mereka telah menewaskan hingga 18 warga sipil Irak.

Investigasi tersebut, seperti dikutip dari News.com.au, Jumat (1/2/2019), mengungkap setidaknya enam warga Irak mungkin tewas, berdasarkan angka kepadatan penduduk. Namun, jumlah pasti korban tidak akan pernah diketahui, atau penyebab pasti kematian mereka.

Serangan udara terjadi di puncak pertempuran untuk Mosul ketika pasukan keamanan Irak terlibat dalam perang kota yang intens melawan militan ISIS.

Ketika mereka bersiap untuk meninggalkan lingkungan Al Shafaar pada 13 Juni, tentara Irak melihat tiga militan ISIS bersembunyi di dalam sebuah bangunan, dan empat lainnya di halaman yang berdekatan, semuanya membawa senjata berat.

Khawatir pasukan mereka akan digempur, para komandan Irak meminta dukungan udara dari koalisi pimpinan AS.

Dua pilot Australia di atas kapal Super Hornets kemudian bergabung dengan armada koalisi pesawat-pesawat tempur begitu misi mereka selesai secara hukum.

Satu pesawat Australia yang dipandu GPS kemudian menjatuhkan bom seberat 500 pon pada bangunan yang dilaporkan terlihat ada militan ISIS, sementara pilot lainnya menggempur halaman.

Kedua bahan peledak berkekuatan tinggi mencapai target mereka dan menetralisir ancaman itu (militan ISIS).

Tinjauan awal pasca-serangan ini tidak mengungkap adanya korban sipil. Namun, penyelidikan yang diluncurkan tujuh bulan kemudian, setelah muncul melalui saluran media lokal dan sosial disebutkan bahwa warga sipil di gedung terdekat bisa terbunuh.

Investigasi yang dipimpin koalisi ini menyimpulkan bulan lalu menemukan klaim itu kredibel, dan otoritas Australia setuju, mengakui bahwa mungkin serangan udara menyebabkan kematian warga sipil yang tidak disengaja.

Kendati demikian tak jelas apakah warga sipil yang tewas akibat serangan Australia, serangan koalisi di dekatnya, tembakan darat dari tentara Irak atau di tangan militan ISIS.

Sejauh ini kedua pilot Australia yang terlibat juga tak ditemukan bertindak bertentangan dengan aturan keterlibatan atau hukum konflik bersenjata. Kepala Operasi Gabungan Australia, Mel Hupfeld mengatakan tanggung jawab untuk mengambil tindakan mematikan dalam perang adalah beban berat yang harus dipikul.

"Pilot dan pembuat keputusan kami yang terlibat dalam proses penargetan melakukan segala yang mereka bisa untuk menghindari korban sipil tetapi kadang-kadang itu tidak mungkin...," kata Air Marshal Hupfeld kepada wartawan di Canberra.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 

Tak Ada Intelijen Khusus

Tentara Amerika Serikat di Afghanistan pada Juni 2017 (File / AP PHOTO)
Ilustrasi tentara. (File / AP PHOTO)

Air Marshal Hupfeld mengatakan tidak ada intelijen khusus yang menunjukkan warga sipil berada di sekitar bangunan tempat ISIS bersemayam sebelum serangan diluncurkan. Namun dia mengatakan mengingat keadaan mendesak pasukan Irak yang meminta serangan, tak mungkin untuk memastikan hal tersebut.

Kepala operasi awalnya setuju bahwa jika Australia mengetahui kedekatan warga sipil pada saat itu, senjata tidak akan ditembakkan. Namun dia mengatakan ini perlu diseimbangkan dengan ancaman langsung dari cedera serius dan kematian bagi pasukan keamanan Irak.

Air Marshal Hupfeld mengatakan pasukan koalisi mengandalkan intelijen dari komandan Irak yang menyarankan kemungkinan warga sipil di dekatnya. Namun, dia berhati-hati untuk tidak menyalahkan Irak atas insiden tersebut.

"Kami sangat sadar akan risiko menimbulkan korban sipil di zona perang yang sangat intens dan kompleks. Aksi di Mosul adalah serangan udara paling ganas yang terjadi di generasi kita. Sangat disayangkan akibat perang bahwa korban sipil ini terjadi," imbuh Hupfeld.

Australia sebelumnya telah mengumumkan keterlibatannya dalam tiga dugaan potensi korban sipil terpisah sebagai akibat dari serangan yang dilakukan selama Operasi Okra.

Semua ini terjadi selama serangan Mosul pada 30 Maret 2017, 3 Mei 2017, dan 7 Juni 2017. Pesawat Australia menyelesaikan operasi tersebut pada Januari 2018.

Lebih dari 33.000 serangan udara telah diluncurkan selama kampanye untuk mengalahkan ISIS, mengklaim setidaknya 1.000 nyawa warga sipil, sementara membebaskan lebih dari delapan juta warga Irak dari penjajahan mereka.

Sejauh ini Australia masih memiliki sekitar 600 tentara yang dikerahkan di Irak, di mana ISIS sebagian besar terdesak.

Pada puncaknya, kelompok teroris menduduki sepertiga wilayah Irak. Australia sebelumnya telah mengumumkan keterlibatannya dalam tiga dugaan potensi korban sipil terpisah sebagai akibat dari pemogokan yang dilakukan selama Operasi Okra.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya