Liputan6.com, Kinshasa - Perempuan di Republik Demokratik Kongo terpaksa melakukan hubungan seks demi mendapatkan vaksin ebola.
Berdasarkan penelitian sejumlah LSM, program vaksinasi nasional telah disalahgunakan oleh sejumlah oknum dengan memanfaatkan relasi kuasa berbasis gender. Kekerasan seksual terhadap perempuan juga diprediksi meningkat sejak mewabahnya ebola pada Agustus tahun lalu.
Dalam sebuah jajak pendapat, banyak responden mengaku khawatir terhadap oknum yang menawarkan layanan kesehatan dengan imbalan berupa permintaan berhubungan badan.
Advertisement
Adanya eksploitasi oleh pekerja penanggulangan ebola juga disebutkan oleh beberapa kelompok, dikutip dari The Guardian, Selasa (12/2/2019)
Â
Baca Juga
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh lembaga bantuan internasional, International Rescue Committee (IRC), perempuan di Kongo sering disalahkan dalam wabah ebola.
Kaum hawa dianggap pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan anak-anak mencuci tangan, namun di lain sisi juga dianggap sebagai entitas pembawa virus, kemudian dijauhi pada setiap periode menstruasi.
IRC mengklaim bahwa data-data didasarkan atas temuan di lapangan. Selanjutnya, lembaga itu berkomitmen untuk bekerja dengan mitra untuk memastikan bahwa perempuan dan anak benar-benar dilindungi.
Sebagai langkah strategis, Kementerian Kesehatan Kongo telah mendesak publik untuk melaporkan siapa saja yang menawarkan layanan vaksinasi dengan imbalan uang atau hal lain. Lebih lanjut lembaga itu menyarakan agar perempuan Kongo hanya bertemu dengan tenaga medis yang mengenakan lencana resmi.
 Saksikan pula video berikut:
Penanggulangan Ebola Harus Memperhatikan Perempuan
Baru-baru ini juga terdengar rumor seorang wanita Kongo terpaksa berhubungan seksual demi mendapatkan pekerjaan dalam biro pengurusan wabah ebola.
Menanggapi hal itu, Trina Helderman, penasihat kesehatan dan nutrisi menyatakan bahwa seharusnya biro penanggulangan ebola lebih memperhatikan kaum perempuan.
"“Wilayah Kongo memiliki sejarah panjang kekerasan dan eksploitas seksual terhadap perempuan dan anak. Meski mengejutkan, ini adalah masalah yang bisa diantisipasi, "kata Helderman.
"Entitas kemanusiaan seharusnya lebih siap untuk menerapkan langkah-langkah keamanan demi mencegah kasus terulang kembali," lanjutnya.
Sejak Agustus, sudah ada 811 kasus Ebola, dan 510 di antaranya berujung pada kematian. Menurut Eva Erlach dari Federasi Internasional untuk Komunitas Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau the International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum medis akan menghambat upaya penanggulangan wabah.
Ia juga menyesalkan kurangnya kepedulian sejumlah pihak terkait virus mematikan itu.
"Di semua lokasi ada banyak orang yang berpikir bahwa Ebola itu tidak nyata, bahwa itu hanya cara bagi organisasi kemanusiaan untuk menghasilkan uang," kata Erlach.
Advertisement