Donald Trump Vs Penasehat Keamanan AS Soal Sanksi Impor Minyak Iran, Ada Apa?

Menlu Iran mengatakan bahwa Donald Trump sejatinya ingin perundingan, tapi penasehat keamanan AS inginkan konflik. Mengapa keduanya bertolak belakang?

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 25 Apr 2019, 18:00 WIB
Diterbitkan 25 Apr 2019, 18:00 WIB
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif (AP/Vesa Moilanen/Lehtikuva)
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif (AP/Vesa Moilanen/Lehtikuva)

Liputan6.com, Teheran - Dalam sebuah pernyataan publik pada Rabu 24 April, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan bahwa tindakan keras Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bertujuan "memaksa untuk duduk dalam perundingan".

"Tetapi penasehat keamanan nasionalnya --John Bolton-- dan sekutu AS di Timur Tengah menginginkan disintegrasi Iran," ujarnya mengkritik.

Dikutip dari Time.com pada Kamis (25/4/2019), Menlu Zarif mengaku ragu jika Trump menginginkan konflik di Iran, karena presiden AS ke-45 itu telah berjanji "untuk tidak menyia-nyiakan dana keamanan US$ 7 triliun di Iran, dan membuat situasinya kian memburuk".

Namun, masih menurut Zarif, hal tersebut terdistraksi oleh "rencana tim B", yang disebutnya terdiri dari Penasehat Keamanan AS John Bolton, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, dan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed.

"Mereka sedang berusaha mendorong Iran untuk mengambil tindakan, sebagai dalih untuk tindakan AS yang gila," ujar Zarif.

"Ini belum krisis, tapi ini adalah situasi berbahaya," lanjutnya memperingatkan.

Pemerintahan Trump memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran, termasuk pada sektor energinya, pada November lalu.

Hal itu dilakukan setelah penarikan Negeri Paman Sam dari kesepakatan nuklir dengan Iran dan enam kekuatan dunia lainnya, pada tahun 2015.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


AS Peringatkan Sanksi Impor Minyak dari Iran

Bendera Iran (Atta Kenare / AFP PHOTO)
Bendera Iran (Atta Kenare / AFP PHOTO)

Pada Senin 22 April, Donald Trump mengumumkan bahwa AS tidak akan lagi membebaskan negara-negara dari sanksi keras, jika mereka terus membeli minyak Iran.

Keputusan itu utamanya memengaruhi lima besar importir minyak Iran saat ini, yakni China, India, Jepang, Korea Selatan, dan urki.

Langkah ini adalah bagian dari kampanye "tekanan maksimum" pemerintahan Trimp di Iran, yang bertujuan menghilangkan semua pendapatan Teheran dari ekspor minyak, sekaligus mendestabilisasi dana negara itu di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya.

Beberapa jam sebelum pengumuman Trump itu, Iran mengulangi ancaman lawasnya untuk menutup Selat Hormuz, yang dilewati oleh sepertiga dari total jalur pelayaran minyak, jika mereka dihalangi untuk melakukan ekspor emas hitam.

"Kami percaya bahwa Iran akan terus menjual minyak," kata Zarif ketika ditanya tentang isu terkait.

“Kami akan terus mencari pembeli untuk minyak kami, dan akan terus menggunakan Selat Hormuz sebagai jalur transit yang aman untuk penjualan minyak kami. Itulah niat kami, dan itulah yang kami yakini akan terjadi," katanya penuh yakin.

"Tetapi jika Amerika Serikat mengambil tindakan gila untuk mencegah kami melakukan hal tersebut, maka bersiaplah untuk konsekuensinya," lanjut Zarif menegaskan.


Trump Disebut Inginkan Kesepakatan

Donald Trump Tinjau Tembok Prototipe di San Diego
Donald Trump telah mengancam penutupan sangat lama terhadap pemerintah AS apabila pendanaan untuk pembangunan tembok perbatasan tidak direstui. (AP File)

Menlu Zarif mengatakan dia pikir Trump menginginkan kesepakatan, "tapi saya pikir dia melakukan hal yang salah dengan menekankan bahwa Iran alergi terhadap tekanan".

Mengatasi Trump, dia berkata: "Cobalah bahasa hormat. ... Itu tidak akan membunuhmu, percayalah."

Zarif mengatakan ia kembali ke Kementerian Luar Negeri setelah mengundurkan diri karena "kami diplomat tidak pernah menyerah."

"Saya tidak berpikir siapa pun akan iri dengan posisi saya, terutama ketika saya harus berurusan dengan tekanan musuh," katanya, menambahkan dengan tawa.

"Saya harus melakukan apa pun yang saya bisa untuk mencegah konflik, untuk melihat apakah kami dapat menyelesaikan konflik secara damai, secara diplomatis," kata Zarif.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya