Ukuran Bulan Menyusut Picu Gempa di Permukaannya

Gempa dilaporkan terjadi di permukaan Bulan akibat ukuran massanya yang menyusut.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 15 Mei 2019, 11:58 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2019, 11:58 WIB
Bulan Purnama Penuh
Foto yang diambil pada tanggal 01 Januari 2018 ini menunjukkan "supermoon" yang muncul di langit malam, sebuah fenomena alam yang sudah tidak pernah terlihat lagi dalam 36 tahun. (Boris Horvat/AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Ukuran massa Bulan diketahui semakin menciut, di mana hal itu memicu kerutan dan gempa di permukaannya, lapor sebuah studi terbaru.

Menurut penelitian yang disponsori oleh NASA, saat bagian inti Bulan mendingin, maka ukuran massa menyusut. Hal itu menyebabkan permukaannya yang keras retak dan membentuk garis patahan.

Dikutip dari Time.com pada Rabu (15/5/2019), permukaan Bulan menjadi lebih rendah 150 kaki (setara 45 meter) dalam beberapa ratus juta tahun terakhir.

Sebagai bukti, NASA memposting video di Twitter yang menunjukkan garis patahan di permukaan Bulan.

Para astronot telah menempatkan seismometer di Bulan pada serangkaian misi sebelumnya.

Sementara pada ilmuwan, yang menduga gempa Bulancukup dekat dengan garis patahan sebagai hubungan sebab akibat, mempublikasikan analisis mereka dalam sebuah studi di jurnal Nature Geoscience, pada Senin 13 Mei.

Analisis oleh ilmuwan memberikan bukti pertama bahwa penyusutan Bulan masih aktif terjadi, sehingga memungkinkan potensi gempa di era modern sekarang.

Menurut Thomas Watters, penulis utama penelitian dan ilmuwan senior di Pusat Studi Bumi dan Planet di Museum Dirgantara dan Luar Angkasa Smithsonian, gempa di Bulan bisa menjadi kuat, sekitar lima pada skala Richte.

 

Ilmuwan NASA Temukan Kandungan Air di Bulan

Air di Bulan
Molekul air terlepas dari permukaan bulan ketika terlalu panas dan mengapung ke daerah yang lebih dingin dari permukaannya dan atmosfernya yang tipis. (NASA)

Beberapa bulan lalu, ilmuwan NASA menemukan bukti kandungan air yang bergerak di permukaan Bulan. Penemuan menakjubkan ini merupakan temuan misi proyek NASA dengan teknologi Lyman Alpha Mapping Project (LAMP).

Namun, menurut mereka, meski ada air di permukaan Bulan, tetapi bentuknya hanya ada dua: membeku sebagai hamparan es yang berada di sisi gelap dekat kutub dan sebagai molekul air yang tersebar di permukaan Bulan, demikian sebagaimana dikutip dari Live Science.

Untuk yang terakhir disebut, berarti bukti air terikat dengan butiran di regolith atau lapisan endapan superfisial longgar yang menutupi batuan padat, termasuk debu, tanah, batu pecah, dan bahan terkait lainnya dan hadir di Bumi, Bulan, Mars, beberapa asteroid, dan planet terestrial lain.

Ketika permukaan Bulan memanas, molekul-molekul air melepaskan dan menemukan tempat lain yang lebih dingin, sampai suhu di tempat semula kembali dingin.

NASA menemukan fakta ini menggunakan data dari pengorbit Lunar Reconnaissance (LRO) yang telah mengelilingi satelit alami Bumi tersebut sejak 2009.

Manusia Siap Pergi ke Bulan pada 2024

Jeff Bezos
Jeff Bezos (AP PHOTO)

Sementara itu, bos situs niaga daring Amazon, Jeff Bezos, telah meluncurkan mock-up (model atau replika mesin eksperimental) pesawat ruang angkasa pendaratan Bulan, yang ditujukan untuk membawa manusia ke Bulan pada 2024.

Kendaraan antariksa tak berawak bernama Blue Moon ini, yang dapat digunakan kembali (dapat digunakan kembali), akan mengangkut instrumen ilmiah, satelit, dan penjelajah (rover).

Blue Moon akan menampilkan mesin roket baru yang disebut BE-7, yang dapat meledakkan 10.000 pound (4,535 kg) daya dorong.

"Sudah waktunya untuk kembali ke Bulan, ini saat yang tepat untuk tinggal (di sana)," ujar miliarder berkepala plontos itu, dikutip dari BBC.

Pengusaha kelahiran New Mexico ini mempresentasikan misinya tentang "manusia terbang ke Bulan" di perusahaan angkasa luar miliknya, Blue Origin, di Washington Convention Center, Washington DC.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya