Ahli: Putus Nyambung dalam Berpacaran Tak Baik Bagi Kesehatan Mental

Para ahli lebih menyarankan jika hubungan selalu putus nyambung, lebih baik segera diakhiri.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 14 Jun 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2019, 21:00 WIB
Ilustrasi putus cinta (iStockphoto)
Ilustrasi putus cinta (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam setiap hubungan, akan selalu ada pasang surutnya. Putus nyambung mungkin dialami oleh sebagain orang saat berpacaran.

Namun, siklus putus nyambung ketika berpacaran ini dikatakan oleh para ahli sebagai hal buruk bagi kesehatan mental Anda.

Dikutip dari laman Indy100, Jumat (14/6/2019), para peneliti, yang dipimpin oleh Brian Ogolsky dan Ramona Oswald dari University of Missouri-Colombia, menemukan bahwa mereka yang putus nyambung bukan hanya bikin sakit hati tapi juga merusak pikiran.

Para ahli lebih menyarankan jika hubungan selalu putus nyambung, lebih baik segera diakhiri. Karena akan berakibat buruk bagi dua belah pihak.

Meski demikian, Kale Monk, asisten profesor pengembangan manusia dan ilmu keluarga punya analisis yang bersebrangan dengan pernyataan sebelumnya.

Bagi Monk, putus nyambung itu tak selalu jadi pertanda buruk bagi pasangan kekasih.

Menurutnya, putus nyambung dapat berkontribusi pada kesadaran mereka untuk terus membina hubungan yang baik. Baginya, ini dapat membuat pasangan lebih bisa berkomitmen satu sama lain.

Salah satu penyebab putusnya hubungan di dasari oleh tingginya tingkat kecemasan dan depresi dari satu atau bahkan dua belah pihak.

Simak video pilihan berikut:

Bebas dari Belenggu Patah Hati

Ilustrasi putus cinta (iStockphoto)
Ilustrasi putus cinta (iStockphoto)

Banyak orang menganggap patah hati bisa mengakibatkan perasaan hancur berkeping-keping, sehingga membuat hidup seperti tidak ada gairahnya.

Lebih dari itu, menurut ilmu pengetahuan, "rasa hampa" akibat patah hati juga bisa menjadi penyebab insomnia, kurang fokus, hingga mengancam fungsi kekebalan tubuh.

Menurut penelitian ilmiah terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Experimental Psychology: General, para peneliti menguji berbagai strategi kognitif, dan menemukan beberapa langkah terbaik untuk membantu seseorang mengatasi deretan masalah di atas, yang disebabkan oleh patah hati.

Dikutip dari Time.com pada, para peneliti mengumpulkan 24 orang yang patah hati, dengan kisaran usia 20-37 tahun, di mana telah menjalin hubungan jangka panjang selama rata-rata dua setengah tahun.

Beberapa responden mengaku telah dicampakkan, sementara yang lain mengakhiri hubungan mereka secara sadar, tetapi semua merasa kesal.

Dalam serangkaian petunjuk, para responden dilatih menggunakan tiga strategi kognitif yang dimaksudkan untuk membantu mereka melanjutkan hidup setelah menderita patah hati.

Strategi pertama adalah menilai kembali mantan mereka secara negatif. Para responden itu diminta untuk memikirkan aspek-aspek yang tidak menguntungkan dari mantan kekasih mereka, seperti kebiasaan yang sangat menyebalkan.

Setelahnya, diketahui bahwa setelah menyoroti sifat-sifat negatif tersebut, mayoritas responden mengaku bisa menghalau pikiran masa lalu.

Dalam strategi lain, yang disebut reappraisal (penilaian kembali) cinta, responden diminta untuk membaca dan percaya pernyataan penerimaan, seperti "Tidak apa-apa untuk mencintai seseorang yang tidak bersama saya."

Daripada berjibaku dengan apa yang mereka rasakan saat patah hati, mereka diperintahkan untuk menerima perasaan cinta mereka sebagai hal normal tanpa penghakiman.

Strategi ketiga adalah mengalihkan perhatian, dengan tujuan untuk memikirkan hal-hal positif yang tidak terkait dengan mantan. Di sini, para peneliti meminta seluruh responden untuk tidak memikirkan apapun tentang kisah percintaan di masa lalu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya