Menentukan Nasib Jakarta Bebas Polusi Udara Lewat KTT Aksi Iklim 2019

KTT Aksi Iklim PBB 2019 siap digelar pada September di New York, membahas soal polusi udara.

oleh Afra Augesti diperbarui 02 Agu 2019, 19:40 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2019, 19:40 WIB
Markas besar PBB di New York, Amerika Serikat
Markas besar PBB di New York, Amerika Serikat (AP)

Liputan6.com, Jakarta - Akhir-akhir ini, ibu kota Indonesia, Jakarta, sedang disorot dunia. Kota Metropolitan tersebut muncul dalam airvisual.com, sebuah situs yang memperkirakan data kualitas udara di negara-negara dunia.

Jakarta berada di urutan ketiga sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia, setelah Sao Paulo (Brasil) sebagai peringkat dua dan Dubai (Uni Emirat Arab) yang menduduki posisi pertama.  

Dalam situs itu tercatat kualitas udara Jakarta mencapai level 134 US Air Index Quality (AQI) pada hari ini, Jumat (2/8/2019).

AQI merupakan indeks yang digunakan AirVisual untuk mengukur tingkat keparahan polusi udara di sebuah kota. Indeks ini merupakan gabungan dari 6 polutan utama, yaitu PM2.5, PM10, karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozon (O3) di permukaan tanah.

Rentang nilai AQI adalah 0-500. Semakin tinggi nilai AQI, maka semakin parah pula tingkat polusi udara di kota tersebut.

Dalam sebuah wawancara dengan Liputan6.com pada Selasa, 9 Juli 2019, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih menyebut akar polusi udara di Jakarta ada pada bertambahnya volume kendaraan pribadi.

Menurut Walhi, kendaraan bermotor adalah penyumbang 40 persen polusi udara di Jakarta. Sedangkan berdasarkan keterangan dari climatekids.nasa.gov, polusi udara disebabkan oleh partikel padat dan cair, serta gas-gas tertentu yang tersuspensi di udara.

Partikel dan gas itu dapat berasal dari knalpot mobil dan truk, pabrik, debu, serbuk sari, letusan gunung berapi, dan kebakaran hutan. Partikel padat dan cair yang tersuspensi di udara lazim disebut aerosol.

Menjelang KTT Aksi Iklim (Climate Action Summit) yang diselenggarakan oleh PBB pada 23 September 2019 di New York, PBB bersama WHO, Program Lingkungan PBB (UN Environment) dan Climate and Clean Air Coalition menyerukan kepada semua pemerintah dunia untuk ikut serta dalam 'Clean Air Initiative'.

Inisiatif tersebut mengajak pemerintah-pemerintah nasional dan daerah untuk berkomitmen mencapai kualitas udara yang aman bagi warga negara masing-masing. Selain itu, 'Clean Air Initiative' dibentuk guna menyelaraskan perubahan iklim dan kebijakan polusi udara pada tahun 2030.

Menurut WHO, setiap tahun polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini, di mana 600.000 di antaranya adalah anak-anak.

Menurut Bank Dunia, polusi udara merugikan ekonomi global sekitar US $ 5,11 triliun. Di 15 negara dengan emisi gas rumah kaca tertinggi, dampak kesehatan yang ditimbulkan akibat polusi udara diperkirakan menelan biaya lebih dari 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Akan tetapi, dengan memenuhi Perjanjian Paris (Paris Agreement) tentang perubahan iklim, dapat menyelamatkan lebih dari 1 juta jiwa per tahun pada 2050 dan menghasilkan manfaat kesehatan senilai sekitar US $ 54,1 triliun -- sekitar dua kali lipat biaya mitigasi.

Cara Bergabung dalam Climate Action Summit di New York

Ilustrasi DK PBB
Ilustrasi (iStock)

Sementara itu, Utusan Khusus Sekretaris Jenderal untuk KTT Aksi Iklim 2019, Duta Besar Luis Alfonso de Alba, mengatakan dalam sebuah telekonferensi pada Jumat 2 Agustus 2019 di Kantor Informasi PBB di Jakarta: "Krisis iklim dan krisis polusi udara didorong oleh faktor-faktor yang sama dan harus diatasi dengan aksi bersama."

"Pemerintah di semua tingkatan memiliki kebutuhan mendesak dan peluang besar, tidak hanya untuk mengatasi krisis iklim, tetapi juga untuk meningkatkan kesehatan dan menyelamatkan kehidupan jutaan orang di seluruh dunia, sembari membuat kemajuan dalam pembangunan berkelanjutan," lanjutnya.

"Kami meminta pemerintah di semua tingkatan untuk terlibat dalam tantangan ini dan membawa komitmen kuat dan rencana konkret ke KTT Aksi Iklim mendatang," pungkasnya. 

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menekankan kepada para pemimpin pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat sipil untuk mengambil tindakan berani dan punya ambisi besar, dengan visi dan misi konkret, dalam KTT Aksi Iklim 2019.

Clean Air Initiative telah dikembangkan sebagai bagian dari Social and Political Drivers Action Area pada KTT Aksi Iklim 2019, yang dipimpin oleh WHO, bersama dengan Pemerintah Peru dan Spanyol, Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).

Di samping itu, seruan untuk meningkatkan kualitas udara adalah bagian dari gerakan yang memanfaatkan pendorong sosial dan politik guna meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi ketidaksetaraan, mempromosikan keadilan sosial dan memaksimalkan peluang kerja yang layak untuk semua, sambil melindungi iklim untuk generasi mendatang.

Pemerintah di tingkat mana pun yang tertarik untuk bergabung dengan 'Clean Air Inisiative' dapat menghubungi email spdcast@un.org.

Manfaat yang Didapat dari Penghilangan Polusi Udara

Udara Jakarta Buruk, Warga Beraktivitas Pakai Masker
Seorang pria berjalan mengenakan masker pelindung untuk menghindari polusi udara buruk di Jakarta, Rabu (17/7/2019). Dinkes DKI menyarankan masyarakat untuk menggunakan masker saat beraktivitas untuk mencegah dampak polusi udara pada tubuh. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bukti terbaru yang dihimpun PBB menunjukkan, dengan memenuhi Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim, yaitu mempertahankan kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-produksi, akan menyelamatkan lebih dari 1 juta jiwa per tahun pada 2050. Hanya dengan mengurangi polusi udara saja.

Selain itu, Alfonso de Alba melanjutkan, kita pun bisa mengambil keuntungan kesehatan yang sangat besar, senilai dua kali lipat biaya mitigasi. Pada akhir estimasi yang lebih tinggi, manfaat kesehatan dari pengurangan polusi udara saja diperkirakan mencapai US $ 54,1 triliun untuk pengeluaran global sebesar US $ 22,1 triliun.

"Manfaat tambahan sangat besar. Meningkatkan kualitas udara dengan mengembangkan e-mobilitas, misalnya, akan berdampak pada kesehatan masyarakat (biaya perawatan kesehatan yang lebih rendah), sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan alam dan secara signifikan mengurangi gejala kesehatan yang tidak menguntungkan, yang disebabkan oleh tingkat kebisingan dari transportasi konvensional, terutama di kota-kota besar," tuturnya.

"Menambahkan opsi transportasi aktif yang layak dan aman, seperti bersepeda dan berjalan kaki, juga mampu meningkatkan kinerja fisik manusia dan membantu mencegah penyakit datang, seperti diabetes, kanker paru-paru, dan jantung," ujar Alfonso de Alba lagi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya