Liputan6.com, Kashmir - Perdana Menteri India, Narendra Modi, buka suara untuk pertama kalinya mengenai ketegangan terbaru di wilayah Kashmir yang bergolak.
Ketegangan pekan ini dipicu langkah New Delhi pada Senin 5 Agustus untuk mencabut Pasal 370 --hukum yang mengatur status otonomi khusus negara bagian Jammu & Kashmir.
Pencabutan diikuti dengan pembicaraan di parlemen untuk menurunkan status wilayah itu menjadi union territories di bawah administrasi pemerintah pusat --dengan level otonomi yang lebih rendah dari negara bagian.
Advertisement
Pasal itu memungkinkan Kashmir India, bernama resmi negara bagian Jammu dan Kashmir, memiliki konstitusinya sendiri, bendera yang terpisah dan kebebasan untuk membuat undang-undang. Sementara urusan luar negeri, pertahanan dan komunikasi tetap menjadi milik pemerintah pusat.
Baca Juga
Itu juga memungkinkan Jammu & Kashmir membuat aturan sendiri terkait dengan tempat tinggal permanen, kepemilikan properti dan hak-hak dasar. Pasal itu juga bisa menjadi justifikasi untuk melarang orang India dari luar negara bagian membeli properti atau menetap di sana.
Banyak warga Kashmir percaya bahwa pencabutan regulasi akan mengubah karakter demografis wilayah mayoritas Muslim itu demi membuka pintu bagi warga mayoritas Hindu.
Setelah pencabutan Pasal 370, New Delhi dilaporkan menerapkan pembatasan akses komunikasi, ruang gerak, dan memberlakukan jam malam bagi masyarakat di sana. Ratusan politikus lokal juga diringkus oleh aparat India, mengindikasikan upaya untuk meredam pergolakan massa.
Ketegangan masih dilaporkan hingga pekan ini.
Berpidato nasional di tengah eskalasi tensi, PM Modi membela tindakan pemerintah, beralasan bahwa kebijakan teranyar akan "membawa era baru" bagi Jammu & Kashmir, demikian seperti dikutip dari the New York Times, Jumat (9/8/2019).
Modi juga mengisyaratkan, pemerintahannya akan menyiapkan paket kebijakan baru bagi Kashmir yang ditujukan demi "kebaikan bersama," demikian seperti dikutip dari India Today.
Sang perdana menteri menambahkan, mencabut status otonomi khusus Jammu & Kashmir, satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di India, dan mengubahnya menjadi wilayah yang dikendalikan secara federal akan membawa pemerintahan daerah yang lebih bersih, tidak korup, lebih aman, dan ekonomi lokal yang lebih kuat.
Dalam pidatonya di televisi, PM Modi menjanjikan perkembangan pesat dalam penciptaan lapangan kerja.
"Tak lama lagi, perekrutan akan segera dimulai untuk mengisi lowongan pekerjaan pemerintah yang akan menyediakan pekerjaan bagi kaum muda. Perusahaan sektor swasta dan publik akan didorong dan beasiswa akan diperluas untuk mendapatkan jumlah siswa maksimal," kata kepala pemerintahan India itu.
"Dalam beberapa bulan, efek tata kelola dan pembangunan yang baik mulai terlihat di lapangan; proyek irigasi dan listrik, konektivitas jalan dan kereta api, modernisasi bandara berkembang dengan cepat," klaim perdana menteri.
Ia juga menyatakan bahwa pencabutan Pasal 370 juga bisa meminimalisir "gerakan separatisme dan terorisme" di wilayah yang turut diperebutkan dengan negara tetangga, Pakistan.
"Saya memiliki keyakinan penuh; di bawah sistem baru ini kita semua akan dapat membebaskan Jammu & Kashmir dari terorisme dan separatisme," jelasnya.
Simak video pilihan berikut:
Dinamika Terkini Terkait Situasi Kashmir
Pidato PM Modi diperkirakan tak disambut baik oleh warga Kashmir dan sebagian besar aktivis hak asasi manusia lokal. Mereka telah menyebut pencabutan Pasal 370 sebagai salah satu langkah paling tidak demokratis, tidak konstitusional, dan otoriter yang pernah dilakukan pemerintah India.
Banyak yang mengatakan, mereka menduga kebijakan itu didorong oleh sayap kanan, dan merupakan agenda nasionalis Hindu dari Partai Bharatiya Janata (BJP) -- yang memiliki sejarah panjang menabur perpecahan antara mayoritas Hindu India dan minoritas Muslim.
Langkah ini terbukti cukup populer di seluruh India. Orang-orang di mana saja di luar Kashmir telah merayakan, karena kebanyakan orang India menganggap Kashmir sebagai bagian integral dari negara. Bahkan politisi progresif yang biasanya bentrok dengan Modi, seperti Arvind Kejriwal, anggota parlemen Delhi, telah mendukungnya dalam masalah ini.
Advertisement
Menggantungkan Harapan pada Mahkamah Agung
Para kritikus telah menggantungkan harapan mereka pada Mahkamah Agung India, yang telah muncul dalam beberapa tahun terakhir sebagai penyeimbang utama bagi PM Modi dan nasionalisme Hindu, dan sebagai pembela sekularisme India.
Pasal 370 Konstitusi India, yang didirikan lebih dari 50 tahun yang lalu dan dicabut oleh pemerintah Modi pada Senin, telah menjamin Kashmir tingkat otonomi yang adil dari pemerintah pusat dan memungkinkannya untuk mengeluarkan undang-undang sendiri tentang kepemilikan tanah dan membentuk peradilan.
Pasal itu mengatakan bahwa setiap perubahan pada status Kashmir harus dilakukan dengan berkonsultasi dengan Majelis Konstituante di kawasan itu.
Meskipun majelis itu dibubarkan pada 1950-an, tidak lama setelah pasal itu disahkan, beberapa sarjana hukum lokal mengatakan bahwa falsafah hukum itu seharusnya masih tetap berlaku: yakni untuk memungkinkan agar suara warga Kashmir didengar pada setiap kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Sebuah tantangan hukum telah diajukan di depan Mahkamah Agung oleh seorang pengacara veteran, M.L. Sharma, yang menyebut penutupan pemerintah Kashmir, "tidak hanya tidak demokratis, tetapi juga kejam."
Dalam sebuah wawancara, Sharma mengatakan Pasal 370 diberlakukan untuk melindungi dan menegakkan perjanjian awal Kashmir untuk masuk ke India.
Pada tahun 1947, maharajah terakhir dari negara bagian pangeran Jammu dan Kashmir menandatangani perjanjian yang disebut Instrumen Aksesi yang menjelaskan bahwa Kashmir akan bergabung dengan India hanya dengan jaminan otonomi.