Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI dan KBRI Beijing mencatat, total 42 perempuan WNIÂ telah menjadi korban kawin pesanan terindikasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di China sepanjang tahun 2019. Korban bahkan mencakup perempuan di bawah umur atau anak-anak.
"Tahun ini ada 42 perempuan WNI korban pengantin pesanan terindikasi TPPO di China. Termasuk korban yang masih di bawah umur (anak-anak)," kata Wakil Duta Besar RI untuk China, Listyowati pada sela-sela diskusi kelompok terfokus 'Fenomena Pengantin Pesanan China' yang digelar oleh Direktorat Perlindungan WNI-Kemlu RI di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Baca Juga
Pencatatan dimulai ketika KBRI Beijing menerima laporan langsung dari WNI yang bersangkutan atau aparat penegak hukum yang menyampaikan nota kekonsuleran kepada pihak kedutaan.
Advertisement
"Pendataan datang dari otoritas dan juga WNI yang langsung menghubungi KBRI untuk meminta bantuan," lanjut Listyowati.
Semua permintaan bantuan sudah ditangani pihak KBRI Beijing, kata Listyowati.
Namun, ia menjelaskan, kedutaan RI baru berhasil mengevakuasi 24 orang dari suami yang bersangkutan ke shelter KBRI --untuk kemudian dipulangkan ke Indonesia.
"Total 24 orang sudah berhasil kami pulangkan ke Indonesia per-Oktober 2019," jelasnya yang menambahkan, "Kami masih menempuh berbagai langkah, sesuai dengan prosedur hukum setempat, untuk merangkul korban yang masih bersama suami."
Proses pemulangan merupakan hasil koordinasi dengan Pemerintah China, serta kerja sama antara Kemlu RI dengan berbagai lembaga terkait (termasuk Polri dan Polda).
Berdasarkan pemetaan KBRI, domisili korban saat di China berasal dari dua provinsi, Hennan dan Hebei.
"Itu merupakan beberapa provinsi dengan populasi terbanyak di China, jadi wajar kantung-kantung WNI korban pengantin pesanan terindikasi TPPO berasal dari sana," kata Konsul Protokol dan Kekonsuleran KBRI Beijing, Ichsan Firdaus dalam kesempatan yang sama.
Pihak KBRI telah melakukan pendekatan kepada otoritas penegak hukum China di Provinsi Henan dan Provinsi Hubei. Pendekatan berfokus pada penyelarasan pemahaman tentang fenomena kawin pesanan terindikasi TPPO.
"Mereka sudah melakukan langkah-langkah penegakan hukum dengan menahan aktor intelektual dan agen-agen penyalur/perekrut," kata Ichsan.
"Tapi, setiap aparat dari berbeda area punya bentuk penanganan yang berbeda pula. Oleh karenanya, kita terus melakukan pendekatan dengan pihak berwenang terkait penyelarasan pemahaman tentang fenomena tersebut," lanjutnya.
"Kita juga menginformasikan kepada otoritas lokal bahwa jika ada WNI yang ingin melakukan perpanjangan visa tinggal, diwajibkan untuk urus ke KBRI, agar kami bisa lebih mudah memantau dan mendata mereka."
Simak video pilihan berikut:
Urgensi Koordinasi Multi-lembaga
Pemerintah Indonesia didesak untuk melakukan koordinasi internasional, nasional hingga ke tataran akar rumput, guna memutus rantai fenomena kawin pesanan yang terindikasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) lintas negara, di mana total 42 WNI dikabarkan telah menjadi korban di China sepanjang tahun ini.
Hal itu disampaikan oleh kelompok aktivis buruh migran yang berbicara dengan syarat anonimitas dalam sebuah diskusi kelompok terfokus di Jakarta, Kamis 10 Oktober 2019.
Diskusi diisi oleh narasumber dan dihadiri pejabat terkait dari Kementerian Luar Negeri RI, Direktorat Jenderal Keimigrasian, Polri dan Polda, berbagai lembaga negara serta lembaga swadaya masyarakat.
Sejumlah narasumber dalam diskusi memaparkan, fenomena kawin pesanan (mail-order bride) terindikasi TPPO merupakan persoalan multidimensional yang menyentuh aspek hukum, administrasi-birokrasi, sosial dan ekonomi, hingga diplomasi dan kebijakan luar negeri.
Pada persoalan aspek hukum, kegamangan mengenai definisi dan nuansa delik fenomena kawin pesanan terindikasi TPPO membuat sejumlah aparat di Indonesia kesulitan dalam mendeteksi, melakukan penegakan hukum (gakum) dan pencegahan pada peristiwa potensial. Aspek ini menyorot khusus pada aparat sistem peradilan pidana RI (polisi, jaksa, dan hakim) dan Keimigrasian RI, serta payung hukum yang menaungi penegakan hukum lembaga-lembaga tersebut.
Untuk dimensi administrasi-birokrasi, beberapa narasumber diskusi mengakui ada sejumlah bentuk-bentuk pelanggaran administratif --seperti pemalsuan dokumen pernikahan hingga dugaan birokrat 'yang bermain'-- sehingga memungkinkan celah terjadinya fenomena tersebut. Aspek ini menyorot khusus pada otoritas RI di bidang dukcapil Kementerian Sosial RI, kantor urusan agama Kementerian Agama RI hingga otoritas kekonsuleran negara asing.
Sejumlah narasumber juga menyebut aspek sosial-ekonomi yang menjadi faktor pendorong di beberapa komunitas masyarakat Indonesia dalam hal terjadinya fenomena kawin pesanan. Hal ini tercermin dari tidak pahamnya para korban dan komunitas, serta beberapa yang terjerumus akibat iming-iming finansial dari pelaku.
Sementara pada aspek diplomasi dan kebijakan luar negeri, para narasumber menekankan pentingnya penyelarasan persepsi dengan negara destinasi, terkhusus China, mengenai fenomena kawin pesanan terindikasi TPPO. Pejabat Kementerian Luar Negeri RI menggarisbawahi bahwa ada perbedaan pemahaman mengenai fenomena mail-order bride yang memicu minimya upaya penegakan hukum di negara asal pelaku.
"Kita telah berupaya berkoordinasi dengan antar-kementerian hingga melakukan sosialisasi ke kantung-kantung komunitas yang selama ini menjadi daerah asal korban pengantin pesanan terindikasi TPPO seperti di Kalimantan Barat dan Jawa Barat," kata pejabat kementerian yang berbicara dalam syarat anonimitas.
"Harapan ke depan adalah, lembaga pemerintah bisa membentuk payung hukum yang lebih komprehensif untuk meng-address persoalan ini, dan meningkatkan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dari tataran nasional hingga daerah untuk melakukan sosialisasi pencegahan," lanjutnya.
Advertisement