Liputan6.com, Tokyo - Topan Hagibis yang menghantam Jepang pada Sabtu (12/10/2019) dilaporkan menelan korban jiwa pertamanya. Seorang pria berusia 49 tahun ditemukan tak sadarkan diri di sebuah truk mini yang terguling akibat terpaan angin kencang di Chiba, timur Tokyo.
"Dia sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, tetapi kemudian meninggal," kata Hiroki Yashiro, juru bicara Departemen Pemadam Kebakaran Ichihara, Chiba, dikutip dari Channel News Asia pada hari ini.
Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengatakan, pusat badai diperkirakan mendarat di tengah atau timur Jepang pada Sabtu malam, dengan embusan angin maksimum sebesar 216 km/jam.
Advertisement
Baca Juga
Sedangkan Earth Observatory NASA menyampaikan bahwa Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Aqua menangkap gambar awan bagian luar Topan Hagibis yang sudah mengenai daerah pantai sebelah timur negara tersebut.Â
Hagibis diperkirakan akan menjadi badai pertama dengan peringkat "sangat kuat" yang melanda Pulau Honshu sejak 1991, ketika sistem kategorinya diperkenalkan, menurut media setempat.
Pada tengah hari, 1,64 juta orang di daerah yang terdampak sudah berada di bawah perintah evakuasi. Pihak berwenang di Jepang mendesak agar para lansia, disabilitas, dan mereka yang memiliki anak-anak untuk pergi lebih awal.
JMA menyebut Hagibis adalah badai besar yang luar biasa, diprediksi membawa "angin brutal dan merubah lautan jadi ganas." Curah hujan tinggi pun memantik kekhawatiran pejabat setempat, dengan peringatan gelombang pasang menjelang Bulan purnama yang bisa meningkatkan risiko banjir.
Â
Penjelasan NASA
Earth Observatory NASA pada Jumat, 11 Oktober 2019, melaporkan Topan Hagibis telah berputar ke arah utara-barat laut di atas Samudra Pasifik barat.
Pada saat itu (13.05 waktu standar Jepang), angin yang berkelanjutan adalah 210 kilometer (130 mil) per jam, sehingga membuat topan ini masuk ke dalam Kategori 4 pada skala badai Saffir-Simpson (skala klasifikasi besarnya badai, angin dan siklon tropis berdasarkan kecepatan angin ribut. Skala ini hanya digunakan untuk badai di Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik bagian utara).
NASA juga menjelaskan ukuran badai, yang menurut situs resminya: "Topan Hagibis membentang sejauh 1.400 kilometer. Sebagai perbandingan, Honshu --pulau terbesar dan terpadat di Jepang-- memiliki panjang sekitar 1.300 kilometer."
Menurut Patrick Duran dari tim Short-term Prediction Research and Transition Center (SPoRT) NASA di Marshall Space Flight Center, badai tersebut tidak selalu luas.
Pada 8 Oktober 2019, Hagibis semakin intensif, jadi mata badai (inti pusaran angin) juga jauh lebih kecil. Duran mencatat, mata badai kecil seperti itu biasanya terlihat di siklon tropis yang sangat intens.
"Hal yang paling unik tentang Topan Hagibis adalah seberapa cepat kekuatannya meningkat menjadi topan super di awal kehidupannya," kata Duran.
"Kami tidak memiliki cukup pengamatan untuk mengetahui seberapa umum peristiwa intensifikasi seperti itu berlangsung, tetapi kami tahu bahwa ini adalah salah satu intensifikasi paling cepat yang kami amati."
Keesokan harinya, intensifikasi cepat badai terganggu oleh "siklus penggantian mata" --di mana mata luar baru menggantikan mata dalam.
Karena proses pergantian itulah, intensifikasi melambat. "Meskipun siklus penggantian mata mengurangi kecepatan angin maksimum badai, tetapi ini juga menyebabkan angin menyebar di area yang lebih besar," Duran menjabarkan.
"Artinya, wilayah yang lebih luas bisa diterjang angin yang sifatnya merusak ketika badai mendekati daratan."
Â
Advertisement
Mempelajari Badai
Topan Hagibis disinyalir akan membuat pendaratan di dekat bagian tengah Honshu selama akhir pekan dan kemudian berputar ke timur laut ke pulau, menurut NASA.
Sementara itu, Japan Meteorological Agency (JMA) memperingatkan adanya hujan lebat, gelombang laut tinggi, dan gelombang badai di beberapa daerah pesisir. Moda transportasi seperti MRT, shinkansen, dan banyak penerbangan dibatalkan atau ditunda untuk sementara waktu.
Meskipun Hagibis nantinya sudah menjauh dari daratan dan manusia (dan menyingkir dari Jepang), para ilmuwan kemungkinan akan terus mempelajari badai untuk mencari tahu lebih lanjut tentang evolusinya.
Sebagai contoh, mereka telah memperhatikan perilaku yang menarik selama siklus penggantian mata badai, di mana mata badai lama beredar di sekitar batas dalam mata badai baru.
"Fenomena tersebut sudah pernah terlihat selama beberapa badai sebelumnya, tetapi kali ini adalah contoh yang indah tentang betapa rumitnya fisika penggantian mata badai," pungkas Duran. "Memahami proses ini terjadi adalah bagian yang sangat penting untuk meningkatkan prakiraan intensitas siklon tropis."