Liputan6.com, London - Inggris telah menjadi penyumbang terbesar dari kalangan pemerintahan untuk membiayai program yang mencegah kekerasan terhadap wanita dan perempuan secara global.
Dilansir dari The Guardian, Sabtu (2/11/2019) pernyataan tersebut dikeluarkan tepat tujuh tahun setelah gerakan yang memberi dukungan terhadap negara-negara dengan tingkat kekerasan tertinggi.
Program yang menghabiskan biaya hingga 67 juta poundsterling ini telah sukses mengurangi aksi kekerasan di Afrika dan Asia serta segera menjadi modal untuk mengadakan riset dalam menemukan ide baru untuk mengatasi masalah global tersebut.
Advertisement
Menurut World Health Organization (WHO), satu dari tiga wanita di dunia pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual dalam hidup mereka, bahkan kebanyakan dilakukan oleh pasangannya sendiri.Â
Tetapi survei secara global ini menutupi kesenjangan regional dan nasional.
Sebuah survei yang dilakukan di Zambia, Afrika menunjukkan 64% wanita mengatakan bahwa mereka telah mengalami pelecehan seksual oleh pasangan mereka dan 33% telah ditendang, diseret, dicekik, atau dibakar.
Di Sudan Selatan, sebuah negara yang mengalami krisis kemanusiaan yang berkepanjangan, sebanyak 70% perempuan dan gadis yang menjalin hubungan mengatakan bahwa mereka telah mengalami beberapa bentuk kekerasan.
Diluncurkan oleh Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DfID) pada Sabtu 2 November 2019, program "What Works to Prevent Violence: Impact at Scale – builds on a previous initiative", diluncurkan pada tahun 2014, yang mengumpulkan bukti tentang skala dan dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan beserta cara untuk menghentikannya.
Program ini juga mendukung 13 proyek skala kecil di Afrika dan Asia. Mulai dari konseling pasangan di Rwanda, hingga memperkenalkan waktu bermain sekolah di Pakistan, serta penelitian mengenai faktor pendorong, prevalensi, dan biaya sosial dan ekonomi dari kekerasan.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dampak Positif yang Nyata
Sejumlah program percontohan ini membantu mengurangi separuh tingkat kekerasan fisik dan seksual dalam waktu kurang dari dua tahun.
Di Tajikistan, tingkat kekerasan terhadap perempuan di dua wilayah turun dari 64% menjadi 34% setelah 10Â pekan konseling, pelatihan keterampilan dan bimbingan.
Persentase pria yang mengatakan mereka kasar juga turun dari 47% menjadi 5%.
Tingkat bunuh diri yang dilakukan oleh wanita di wilayah tersebut juga turun dari 20% menjadi 9% sedangkan untuk pria juga menurun dari 10% menjadi nihil.
Tingkat pendapatan wanita juga meningkat. Setelah program tersebut berlangsung selama lima belas bulan, dampak positifnya masih dirasakan oleh masyarakat.
Sementara itu, sebuah proyek di Republik Demokratik Kongo yang melatih para pemimpin agama untuk membicarakan pelecehan dalam khotbah mereka mengurangi hampir 60% kekerasan dalam rumah tangga di 15 desa selama dua tahun.
"Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan memengaruhi komunitas di seluruh dunia dan satu dari setiap tiga perempuan akan mengalaminya dalam hidup mereka. Ini adalah masalah yang harus kita tangani di negara berkembang dan maju," kata Kepala DfID Inggris, Alok Sharma.
"Namun, bagi perempuan dan anak perempuan yang hidup dalam kemiskinan ekstrem ancamannya bahkan lebih tinggi. Kegagalan untuk mengatasi masalah ini bukanlah suatu pilihan dan dengan tidak melakukan apa pun dapat mengecam generasi mendatang untuk mengulangi siklus kekerasan ini."
Advertisement
Langkah Selanjutnya
Dana tambahan baru senilai lebih dari 33 juta poundsterling akan digunakan untuk memperluas proyek-proyek yang sukses ini, dan menyesuaikan serta mengujinya di lokasi baru.
Sementara 10 juta poundsterling lainnya akan digunakan untuk merancang dan mengujicobakan ide-ide dan program-program baru, terutama untuk meneliti bagaimana kekerasan dapat diatasi pada saat konflik dan selama krisis kemanusiaan, di mana tingkat kekerasan dalam rumah tangga meningkat.
DfID juga ingin menguji coba program-program yang secara khusus menargetkan kekerasan terhadap anak perempuan remaja dan di antara para penyandang cacat, serta menangani kekerasan terhadap anak-anak untuk menghentikannya diturunkan dari generasi ke generasi.
DfID akan menargetkan negara-negara di Asia, Afrika sub-Sahara, Afrika utara, dan Timur Tengah.
Pihaknya berharap keberhasilan program ini akan memacu donatur lain untuk mendanai program serupa yang bertujuan untuk mencegah kekerasan.
"Orang-orang berpikir itu akan mengambil generasi, tetapi apa yang begitu kuat tentang 'What Works' adalah bahwa hal itu tidak hanya menunjukkan bahwa kita mencegah kekerasan, tetapi dampak ini sedang dicapai selama dua hingga tiga tahun. Bukti kuat memberi kita alat untuk membantah pentingnya berinvestasi dalam pencegahan." ujar Charlotte Watts, kepala penasihat ilmiah DfID
Negara-negara anggota PBB telah berkomitmen untuk menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada tahun 2030, target yang sangat ambisius dari tujuan pembangunan berkelanjutan.
Tetapi Watts berpendapat: “Kami menghasilkan bukti yang jelas akan berkontribusi pada bagaimana kami mencapai target SDG. Kami melihat penurunan kekerasan dalam beberapa konteks. Itu akan berlangsung dari negara demi negara ... Di mana pun kita berada saat itu (2030), kita akan menghasilkan bukti untuk membantu kita melangkah lebih jauh.