Liputan6.com, Tokyo - Komunitas Uighur di Xinjiang, China, sedang menjadi sorotan internasional karena isu kamp detensi. Kelompok HAM menuding pemerintah China dituding melanggar hak etnis Uighur dengan alasan ingin memberantas ekstrimisme.
Seorang mangaka asal Jepang pun berinisiatif menuliskan manga berdasarkan kisah seorang wanita Uighur yang sempat ditahan oleh pemerintah China. Kejadian berlangsung selama tiga kali di antara 2015 dan 2017.
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan Kyodo News, manga itu berjudul "What has happened to me" (Apa yang telah terjadi pada saya) bercerita bagaimana wanita Uighur ditangkap usai melahirkan anak kembar tiga di Mesir. Ia ditangkap ketika baru kembali ke China bersama bayi kembarnya.
Wanita itu mengaku kondisi penahanannya membuatnya kesulitan tidur. Ia bahkan diikat di kursi dan disetrum oleh petugas. Malangnya lagi, salah satu anak kembarnya meninggal dunia ketika berada dalam pengurusan otoritas China.
Pembaca pun merasa kaget atas penyiksaan yang terjadi. Sejak muncul di Twitter, manga itu sudah mendapatkan 2,5 juta views dan 86 ribu retweet serta diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Manga itu adalah karya Tomomi Shimizu (50). Ia mengaku mengetahui kisah Uighur dari media massa pada tahun 2018. Tanpa menyebut nama negara yang terlibat, Shimizu merasa terpanggil membuat manga tentang Uighur.
"Meski (China) adalah negara tetangga, negara itu penuh hal-hal yang tidak diketahui. Misi saya adalah bercerita kepada banyak orang tentang mereka lewat manga," jelas Shimizu yang berencana terus merilis testimoni Uighur.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Mengaku Tak Ada Penyiksaan
Pihak pemerintah China berkali-kali menegaskan tidak ada penyiksaan yang terjadi pada komunitas Uighur. Mereka berkeras bahwa tak ada kamp detensi, melainkan tempat pelatihan vokasi agar para "murid" bisa mendapatkan bekal kemampuan.
Berdasarkan dokumen rahasia yang dibocorkan International Consortium for Investigative Journalists (ICIJ), para "murid" Uighur itu dibatasi untuk berhubungan dengan keluarga, yakni hanya boleh menelepon selama seminggu sekali. Tempat duduk hingga cara berbaris mereka pun diatur dengan ketat.
Dokumen tersebut juga menyebut tidak boleh ada kekerasan ke para siswa, namun testimoni dari tokoh di komik Tomomi Shizuku berkata lain. Durasi pendidikan di "sekolah" tersebut minimal satu tahun, meski ada laporan murid boleh keluar lebih awal.
Pemerintah China sendiri mengecam dokumen rahasia tersebut. Pihak Kedutaan Besar China di Inggris berkata dokumen rahasia dari ICIJ adalah berita palsu.
"Apa yang disebut dokumen-dokumen bocor ini adalah murni karangan dan berita palsu. Ada banyak dokumen berwenang di China untuk menjadi referensi masyarakat China dan media asing yang ingin tahu tentang pendidikan vokasi dan pusat-pusat pelatihan," ujar Kedutaan Besar China di Inggris.
Advertisement
Mata-mata via Aplikasi?
Laporan ICIJ juga menyebut pemerintah China menggunakan aplikasi untuk memata-matai Muslim Uighur di Xinjiang.
Menurut ICIJ, aplikasi yang digunakan China adalah aplikasi Zapya (Kuai Ya) yang kerap digunakan komunitas Muslim untuk berbagi konten religi. Pengembang aplikasi itu adalah DewMobile asal Beijing.
Lewat aplikasi tersebut, pengguna bisa berbagi video, foto, dan files lain tanpa menggunakan koneksi internet. Pengguna Zapya di Uighur juga ternyata mencapai jutaan dan China berhasil memantau siapa penggunanya.
Salah satu pengungsi Uighur, Zumrat Dawut, berkata polisi sering memeriksa aplikasi Zapya. Jika ada yang men-download konten religi, maka polisi akan menahan orang tersebut.
Informasi yang China dapatkan lewat Zapya juga sangat detail. Mereka tahu berapa saja imam yang tak berizin di wilayah Xinjiang, orang-orang yang berhubungan dengan mereka, bahkan tagar apa saja yang dipakai.
Menurut dokumen rahasia bertanggal 29 Juni 2017 itu, China berhasil tahu ada 1,8 juta orang pengguna Zapya di kalangan Uighur, 3.925 imam tak berizin, dan 5.576 orang yang berhubungan dengan para imam tersebut.
Ada pula 124 provokator atau yang disebut "hijrat" oleh pemerintah China, serta 72 orang yang punya hubungan dengan para "hijrat". Pemerintah juga tahu lokasi mereka yang memakai tagar-tagar yang dianggap berbahaya.
Meski demikian, belum jelas bagaimana pemerintah China mendapatkan data dari Zapya. Pihak pengembang Zapya juga tidak mau memberi komentar soal dokumen rahasia yang bocor itu.
"Dokumennya tidak menjelaskan abagaimana pemerintah mendapatkan data pengguna dari Zapya," jelas ICIJ. "Dokumen-dokumen itu tidak memberikan tanda bahwa perusahaan terkait bekerja sama dengan otoritas China."