Liputan6.com, Madrid - Epidemi Virus Corona (COVID-19) yang mematikan akan menelan biaya pariwisata dunia setidaknya AS $ 22 miliar karena penurunan pengeluaran oleh wisatawan Tiongkok, menurut laporan kepala Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia pada Kamis 27 Februari.
Epidemi COVID-19 telah menewaskan lebih dari 2.760 orang, sebagian besar di China, di mana virus tersebut pertama kali muncul pada bulan Desember dan menginfeksi lebih dari 81.000 di lebih dari 45 negara. Demikian seperti dilansir dari Channel News Asia, Jumat (28/2/2020).Â
Advertisement
Baca Juga
"Ini terlalu dini untuk diketahui tetapi WTTC (World Travel & Tourism Council) telah membuat perhitungan awal bekerja sama dengan (perusahaan riset) Oxford Economics yang memperkirakan bahwa krisis akan menelan biaya sekurang-kurangnya US $22 miliar," kata Gloria Guevara kepada harian El Mundo.
"Perhitungan ini didasarkan pada pengalaman krisis sebelumnya, seperti SARS atau H1N1, dan didasarkan pada kerugian yang berasal dari wisatawan Tiongkok yang belum bepergian dalam beberapa pekan terakhir," katanya.
"Orang China adalah turis yang menghabiskan (dana) paling banyak saat mereka bepergian."
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bisa Terus Meningkat
Angka kerugian, yang setara dengan sekitar 20,2 miliar euro, adalah skenario paling optimis yang dibayangkan oleh studi yang diterbitkan pada 11 Februari oleh Oxford Economics. Pihaknya mengambil hipotesis penurunan 7,0 persen dalam perjalanan ke luar negeri oleh warga negara China.
Tetapi kerugiannya bisa lebih dari dua kali lipat, mencapai US $49 miliar jika krisis itu berlangsung selama wabah SARS, yang meledak pada November 2002 dan dikendalikan pada Juli 2003.
Bahkan, bisa meningkat menjadi US $ 73 miliar jika itu bertahan lebih lama dari itu, kata Oxford Economics.
Kondisi ekonomi yang paling mungkin mengalami kerugian adalah mereka yang paling bergantung pada pariwisata China, seperti Hong Kong dan Makau, Thailand, Kamboja, dan Filipina, demikian temuan para peneliti.
Pada hari Rabu, WTO mendesak negara-negara untuk menghindari mengambil langkah-langkah kesehatan yang akan menyebabkan "gangguan yang tidak perlu dengan lalu lintas dan perdagangan internasional", dengan mengatakan pembatasan perjalanan perlu proporsional untuk memastikan mereka tidak memiliki "dampak negatif pada sektor pariwisata".
Advertisement