Lockdown Corona COVID-19 Kian Longgar, Inggris Siap Buka Toko dan Sekolah 1 Juni

Pemerintah Inggris terus mengantisipasi adanya penyebaran Virus Corona baru fase dua, dengan tetap menerapkan sistem denda apabila ada warga negaranya yang melanggar.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 11 Mei 2020, 10:02 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2020, 07:03 WIB
Kemunculan Pertama PM Inggris
PM Inggris, Boris Johnson selesai memberikan pernyataan pada hari pertamanya kembali bekerja setelah pulih dari virus Corona di Downing Street, London, Senin (27/4/2020). Ini menjadi kemunculan pertama PM Johnson di depan publik setelah hampir sebulan terinfeksi COVID-19. (AP/Frank Augstein)

Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berpidato pada Minggu, 10 Mei 2020 malam. Dalam pidatonya ia menyampaikan rencana keluar dari fase tiga lockdown setelah negara tersebut menghadapi Virus Corona COVID-19.

Dikutip dari laman Telegraph, Senin (11/5/2020), Boris menyebut terlalu dini untuk menghentikan masa lockdown.

Sebab, pemerintah Inggris terus mengantisipasi adanya penyebaran Virus Corona fase kedua. Sementara itu, Inggris tetap menerapkan sistem denda apabila ada warga negaranya yang melanggar.

Mulai Rabu depan, masyarakat akan diizinkan untuk menghabiskan waktu di luar tanpa batas untuk tujuan rekreasi, selama mereka menjaga jarak sosial.

Toko dan sekolah pun direncanakan akan dibuka kembali pada tanggal 1 Juni 2020, demikian dikutip dari laman London.eater.

PM Boris Johnson menyampaikan; "Pembukaan kembali akan bergantung pada lima faktor utama: kapasitas rumah sakit, angka kematian setiap hari; tingkat infeksi di bawah 1 orang; alat pelindung diri yang memadai; tidak ada risiko membanjiri rumah sakit dengan lonjakan kedua."

Virus Corona jenis baru hingga saat ini terus mewabah.

Kasus Virus Corona COVID-19 di seluruh dunia kini sudah menembus angka 4 juta. Jumlah pasien tertinggi berada di Amerika Serikat, yakni 1,3 juta.

Berdasarkan data dari Johns Hopkins University, ada 216 ribu kasus yang terdapat di Inggris.

 

Simak video pilihan berikut:

Pernyataan Menlu Inggris

Perdana menteri baru Inggris Boris Johnson (AFP Photo)
Perdana menteri baru Inggris Boris Johnson (AFP Photo)

Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab berkata jumlah tersebut merupakan tragedi besar. Namun, ia berkata perbandingan lebih tepat dilakukan ketika pandemi selesai.

"Saya berpikir kita akan mendapatkan putusan riil terkait betapa bagusnya kinerja berbagai negara sampai pandemi ini berakhir, dan terutama sampai kita mendapatkan data komprehensif internasional terkait penyebab seluruh kematian," ujarnya.

Dominic Raab juga berkata badan statistik Inggris lebih komprehensif dalam menghitung jumlah kematian, sehingga angka kematian Virus Corona di Inggris tinggi. Ia meragukan negara lain melakukan hal serupa.

"Dan sejujurnya itu tergantung betapa bagusnya sebuah negara dalam mengumpulkan statistik, dan kantor statistik nasional kita dikenal sebagai pemimpin di dunia," kata Raab yang menekankan transparansi.

Kantor statistik Inggris tidak hanya menghitung orang yang resmi positif Virus Corona jenis baru, melainkan mereka yang meninggal sebelum ikut tes tetapi mengalami gejala virus ini.

Dominic Raab pun berkata tingkat kematian bukanlah kontes menyanyi Eurovision dan tidak perlu dibuat peringkat.

Sebelumnya, Dr. Deborah Birx yang menjadi koordinator respons Virus Corona COVID-19 di Amerika Serikat menjelaskan berbagai negara tak menghitung dengan cara yang sama.

Contohnya, jika ada pasien meninggal akibat penyakit lain di AS tetapi positif Corona jenis baru, maka ia dicatat meninggal akibat Virus Corona.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya