Jakarta - Belum ada tanda pandemi Virus Corona COVID-19 akan berakhir. Kendati demikian, tren kasus yang menurun dijadikan tolak ukur sejumlah negara untuk kembali membuka diri dan masuk dalam fase pemulihan.
Virus Corona jenis baru SARS-Cov-2 sejauh ini sudah menginfeksi lebih dari 7 juta orang di seluruh dunia, dan lebih dari 402 ribu penderita COVID-19 meninggal. China, negara di mana virus Corona COVID-19 jenis baru muncul akhir tahun 2019, membagikan data sekuens virus (GSD) kepada Organisasi Kesehatan Dunia WHO awal Januari lalu.
Langkah China ini memungkinkan laboratorium di seluruh dunia mulai mengembangkan perangkat tes, obat-obatan dan vaksinnya. Sejak itu pula, pecah perang propaganda terkait riset vaksin dan obat virus Corona COVID-19 berkobar, dipicu oleh politik presiden AS, Donald Trump.
Advertisement
Dilaporkan, pemerintah di Washington ingin mengangkangi potensi vaksin Corona COVID-19, yang sedang dikembangkan oleh sebuah perusahaan di Jerman di awal pandemi COVID-19.
Siapa Pemilik Hak Virus dan Produknya?
"Sistem hukum internasional mendorong negara-negara untuk meneliti virus, sebagai sumber daya berdaulat yang bisa ditawarkan atau dipertukarkan dengan imbalan produk masa depan seperti vaksin," tegas Mark Ecclestone-Turner, salah satu penulis makalah mengenai isu kedulatan atas virus kepada Thomson Reuters Foundation seperti dikutip dari DW Indonesia, Senin (8/6/2020).
Dosen di Keele University di Inggris itu menyebutkan, secara moral adalah salah, jika berpikir seseorang punya klaim lebih kuat atas sebuah vaksin, karena mereka berasal dari negara kaya. "Kita harus keluar dari model lawas, mereka yang meneliti virus dan mengembangkan produk kesehatannya, adalah pemilik sumber daya itu," papar Ecclestone-Turner.
Dia menambahkan, kita harus memandang virus dan produknya sebagai milik publik. Di mana semua orang di dunia punya klaim serta akses yang sama pada organisme maupun produknya.
Saksikan Juga Video Ini:
Jalan Buntu Legalitas Keragaman Hayati
Pandemi Virus Corona COVID-19 memperburuk ketidakadilan yang sudah ada. Dan mengungkap ringkihnya kelompok yang terpinggirkan, termasuk warga miskin di perkotaan, penduduk asli dan pekerja migran, demikian laporan kelompok pembela hak asasi manusia.
Celah yang menganga antara negara kaya dan misikin makin kentara dalam semua hal, muai dari fasilitas karantina sampai ke tindakan bantuan. Gagasan paspor imunitas, bahkan menambah ketakutan warga, karena ini memberikan hak siapa saja yang boleh bepergian atau bekerja, dan menambah dalam ketidak adilan.
Inilah mengapa peranan WHO kini sangat penting, dan harus menjamin kewajiban berbagi data dan pengetahuan terkait COVID 19 secara global. Kebutuhan rakyat harus diprioritaskan di atas kemampuan untuk membayar, demikian tuntutan lebih 150 akademisi, mantan kepala negara dan pejabat PBB dalam sebuah surat terbuka yang dirilis bulan lalu.
WHO juga sudah meluncurkan "COVID-19 Technology Access Pool" yang didukung institusi internasional lain dan sekitar 30 negara, dengan tujuan supaya teknologi pembuatan vaksin, tes, perawatan serta teknologi kesehatan lainnya bisa diakses semua orang.
Di saat krisis Virus Corona COVID-19, makin banyak contoh berbagi data dan sampel dengan cepat. Namun di sisi lain, krisis juga semakin menjelaskan, adanya sejumlah negara yang masih tidak bersedia melepaskan kedaulatanya atas sumber daya genetik patogen serta sekuens data genetik yang terkait dengan itu.
Advertisement