Penampakan Menawan Kawah Gunung Tambora yang Meletus 205 Tahun Lalu

205 tahun lalu, pada April 1815, Gunung Tambora di Sumbawa mengalami erupsi dengan kekuatan letusan mencapai level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI).

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 19 Jun 2020, 11:31 WIB
Diterbitkan 19 Jun 2020, 11:09 WIB
Penampakan terkini kawah Gunung Tambora. (Twitter/@infomitigasi)
Penampakan terkini kawah Gunung Tambora. (Twitter/@infomitigasi)

Liputan6.com, Jakarta - 205 tahun lalu, pada April 1815, Gunung Tambora di Sumbawa mengalami erupsi dengan kekuatan letusan mencapai level 7 Volcanic Explosivity Index (VEI). Saking dahsyatnya, dampak letusan bukan hanya di Indonesia, tapi hingga ke Eropa.

Kala itu, Tambora menyemburkan abu panas dan gas ke atmosfer, menggelapkan langit. Mahatari pun menghilang dari pandangan. Lebih dari 90 ribu jiwa tewas akibat aliran piroklastik, tsunami, dan debu yang menyesakkan jalan napas. Juga akibat kelaparan dan wabah yang terjadi selama beberapa bulan kemudian.

Tatkala awan abu menebal, lava panas yang tumpah ke lereng gunung memanaskan udara di atasnya. Suhu mencapai ribuan derajat Celsius. Udara panas dengan cepat naik, meninggalkan ruang hampa yang memungkinkan terciptanya angin puyuh yang kemudian menumbangkan pepohonan, meratakan rumah-rumah, menyapu manusia, ternak, dan kuda.

Hampir setiap rumah di sanggar binasa. Desa Tambora, yang lebih dekat, lenyap di bawah timbunan batu apung yang masih membara. Lava dalam jumlah besar tumpah ke laut, memicu tsunami setinggi hampir 4,5 meter, yang menerjang apa pun yang ada dalam jangkauannya.

Ledakan hebat dari reaksi lahar dengan air laut yang dingin melemparkan abu dalam jumlah yang lebih besar ke atmosfer. Ladang batu serpihan apung tercipta di sepanjang garis pantai yang mengganggu lalu lintas kapal selama beberapa tahun kemudian.

Kapal Inggris Fairlie menjumpainya di Samudra Hindia Selatan pada Oktober 1815, yang jauhnya lebih dari 3.218 km. Para awak sempat mengiranya sebagai rumput laut.

Di Fort Marlborough atau Bengkulu, para tetua desa menyimpulkan asal muasalnya adalah dari alam gaib. "Disimpulkan bahwa asalnya adalah tarung antar-jin...," demikian dilaporkan aparat yang ada di sana.

Sementara, di Gresik, warga di sana menduga ledakan itu adalah 'artileri supernatural' milik Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul, yang dilepaskan untuk merayakan pernikahan salah satu anaknya. 

Mereka tak sadar, malapetaka sedang menimpa di kaki Gunung Tambora.

Kini, setelah ratusan tahun berlalu, kawah Gunung Tambora terlihat menawan. Seperti dalam foto yang diunggah akun Twitter @infomitigasi.

"#Tambora Crater June,13 2020 @CopernicusLand Sulit dibayangkan bahwa dahulunya letusan Tambora pernah mengguncang dunia, berbanding terbalik dengan kondisi saat ini yang terlihat indah dan menawan kawahnya."

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Orang Eropa Terpaksa Makan Kucing

Gunung Tambora
Gunung Tambora (ISS-Digital Camera)

Efek dari letusan Gunung Tambora bahkan hingga Eropa. Masyarakat Barat tak menyangka Bumi seakan-akan berubah dan seolah-olah menunjukkan tanda akhir dunia.

Kekuatan letusan Tambora pada 10-12 April 1815 adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Empat kali lipat dari amuk Krakatau pada 1883 dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.

Erupsi diiringi halilintar sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer. Sir Stamford Raffles, pendiri Singapura modern, mengira bunyi memekakkan telinga itu berasal dari meriam.

Vulkanolog dari Cambridge University, Clive Oppenheimer, dalam bukunya "Eruptions that Shook the World" memperkirakan 60.000-120.000 nyawa terenggut, baik secara langsung--oleh awan panas, tsunami-- maupun tak langsung, akibat kelaparan dan wabah penyakit yang berjangkit berbulan-bulan kemudian.

Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di mana pun di muka Bumi," tulisnya, seperti dimuat situs sains NewScientist.

Lautan sejauh mata memandang dipenuhi batang pohon, batu yang mengapung, juga jasad manusia gembung, yang menghalangi laju kapal.

Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. "Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregang nyawa setiap harinya."

Erupsi Tambora juga berdampak global. Abu dan panas sulfur dioksida menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 2 derajat Celsius atau sekitar 3 derajat Fahrenheit.

Di belahan dunia lain, efek Tambora juga merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah.

Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya. "Bahan makanan berkurang, orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus. Warga Eropa dan sisi timur Amerika Utara mengalami kesulitan tak terbayangkan," kata Stephen Self, dosen ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley, seperti dimuat situs Imperial Valley News.

Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.

Penyair Li Yuyang dalam puisinya mengisahkan tentang rumah-rumah yang tersapu banjir. Para orangtua terpaksa menjual anak-anak mereka, ditukar dengan sekantung gandum. Suami menyaksikan istri dan buah hatinya mati perlahan akibat kelaparan.

Tambora bahkan mengubah peta sejarah, 18 Juni 1815, cuaca buruk yang diakibatkan Tambora konon ikut membuat Napoleon Bonaparte kalah perang di Waterloo. Hari terpedih dalam sejarah gilang-gemilang Sang Kaisar Prancis.

Kegelapan yang menyelimuti Bumi menginspirasi novel-novel misteri legendaris, misalnya, Darkness atau Kegelapan karya Lord Byron, The Vampir atau Vampir karya Dr John Palidori dan novel Frankenstein karya Mary Shelley.

Pada tahun 2004, para ilmuwan menemukan sisa-sisa peradaban kuno dan kerangka dua orang dewasa yang terkubur abu erupsi Gunung Tambora di kedalaman 3 meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya "diawetkan" oleh dampak letusan dahsyat itu.

Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius di abad ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas dijuluki sebagai "Pompeii di Timur."

 

Melahirkan Sepeda

Dampak letusan Tambora: sepeda
Dampak letusan Tambora: sepeda (Wikipedia)

Musim panas 1816 tak berlangsung seperti biasa. Salju turun di New England, hujan rajin mengguyur. Dingin, badai, dan gelap. Suasana serba muram. Pada tahun itu Eropa dan Amerika Utara mengalami 'The Year Without a Summer'.

Akibatnya, tanaman pangan mati karena beku maupun kekurangan sinar matahari. Makanan jadi barang langka.

Panen yang gagal membuat kelaparan merajalela. Para pemilik kuda tak mampu memberi pakan hewan peliharaannya. Hewan-hewan itu bahkan disembelih untuk dimakan manusia.

Kalaupun nekat bepergian menggunakan kuda, niscaya biayanya makin mahal. Hanya segelintir orang tajir yang mampu.

Kondisi itu pun melahirkan alat transportasi sebagai cikal bakal sepeda. Pada 12 Juni 1817, Baron Karl von Drais memamerkan sebuah bingkai kayu, dengan dua roda dan bangku berlapis kain di depan warga Kota Mannheim, Jerman barat daya.

Saat orang bertanya-tanya apa gerangan benda tersebut, sang bangsawan menaiki barang ciptaannya itu. Ia meluncur dari Mannheim ke Schwetzinger Relaishaus, lalu kembali lagi ke titik awal. Jarak 14 kilometer ia tempuh dalam waktu kurang dari satu jam.

"Itu kuda! Kuda yang tak makan apa-apa dan bukan binatang," seru seorang pemeran pembantu rumah tangga, dalam drama musikal di Capitol Theater di Mannheim, menggambarkan momentum tersebut, seperti dikutip dari situs Irish Times.

Drais menyebut temuannya sebagai laufmaschine atau mesin yang bisa berjalan. Belakangan, benda itu dijuluki 'dandyhorse' atau 'draisine' -- yang adalah cikal bakal sepeda yang kita kenal saat ini.

Pada dasarnya, laufmaschine adalah sepeda tanpa pedal yang bergerak dengan cara didorong. Sang baron menempatkan dua roda sejajar dalam bingkai kayu yang menyeimbangkan laju roda dengan dynamic steering.

Memang lebih lambat dari versi saat ini, tapi masih jauh lebih cepat daripada berjalan kaki.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya