Industri Perikanan Rentan Eksploitasi ABK dan Perdagangan Orang

Indonesia menduduki peringkat ke-3 negara yang memproduksi perikanan tangkap, serta aktif mengirim AKP (Awak Kapal Perikanan) kepada kapal ikan asing. Hal itu menyebabkan industri perikanan rentan praktik perdagangan orang dan kerja paksa ABK.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Jul 2020, 16:18 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2020, 16:16 WIB
Ilustrasi perdagangan manusia (iStock)
Ilustrasi perdagangan manusia (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam rangka memperingati hari menentang perdagangan manusia sedunia yang jatuh hari ini, 30 Juli 2020, Yayasan Plan Internasional Indonesia berkolaborasi dengan Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat mengadakan webinar bertajuk 'Perlindungan Bagi Awak Kapal Dari Pandemik COVID-19 dan Perdagangan Orang' melalui proyek SAFE Seas.

Secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara yang memproduksi perikanan tangkap, serta aktif mengirim AKP (Awak Kapal Perikanan) kepada kapal ikan asing.

Hal itulah yang menyebabkan industri perikanan menjadi industri yang rentan terhadap praktik perdagangan manusia dan kerja paksa terhadap ABK (Anak Buah Kapal). Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat mengatakan bahwa masih sering terlihat pelanggaran perburuhan terjadi.

Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat juga mengatakan bahwa biasanya pelanggaran perburuhan terjadi bersamaan dengan penangkapan ikan secara illegal.

"Hal itu terjadi karena kemungkinan operator dari penangkapan illegal tersebut ingin memiliki keuntungan yang banyak dengan pengeluaran yang sedikit, sehingga mereka menghindari biaya yang terdapat dalam undang undang ketenagakerjaan," ujar Marina Colby, perwakilan dari Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat, dalam diskusi virtual, Kamis (30/7/2020).

Praktik-praktik yang terkait dengan ekploitasi ini seperti mengesampingkan upah, menahan paspor, dan merekayasa kontrak ABK yang menempatkan ABK di posisi bahaya.

Itulah yang menjadi fokus tujuan SAFE Seas untuk memperkuat kapasitas penegakan hukum pemerintah nasional, dalam menangani eksploitasi tenaga kerja di kapal yang sangat meminta keterlibatan para pejabat pemerintah dari tingkat nasional hingga internasional.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Alasan Pelaut Indonesia Banyak Bermigarsi ke Luar Negeri

Ilustrasi perdagangan manusia (iStock)
Ilustrasi perdagangan manusia (iStock)

Secara global, pekerjaan di sektor maritim adalah salah satu pekerjaan yang membutuhkan cukp banyak manusia. Menurut data FHO tahun 2004, terdapat 35 juta pekerja sector maritime di dunia dan 27 pekerja yang bekerja di perikanan tangkap. Dalam kementrian perhubungan, Indonesia sendiri tercatat memiliki 1.172.508 pelaut dengan 3.500 lulusan akademi maritim dan 1862 lulusan kapal perikanan setiap tahunnya.

Melihat banyaknya jumlah pekerja sektor maritim, ILO (International Labour Organization) mengungkapkan bahwa dalam sektor perikanan, Indonesia adalah supplier pelaut perikanan nomor 1 di dunia. Dengan jumlah kapal besar (<150 GT) yang masih dilarang beroperasi di Indonesia, menjadi alasan mengapa pelaut Indonesia memutuskan untuk bekerja di luar negeri.

Hal ini disebabkan karena tidak adanya kapal yang bisa menampung banyaknya pelaut di Indonesia. Itulah yang menjadi salah satu alasan terjadinya kerja paksa dan perdagangan manusia pada ABK di wilayah maritim luar negeri. 

Basilio Dias Araujo, Ketua Tim Perlindungan Awak Kapal dan Asisten Deputi Ketamanan dan Ketahanan Martim mengatakan dalam diskusi virtual bertajuk 'Perlindungan Bagi Awak Kapal dari Pandemik COVID-19 dan Perdagangan Orang', "pekerjaan sektor perikanan adalah pekerjaan terkotor, berbahaya dan sangat sulit".

Strategi Indonesia dalam Melindungi Nelayan Indonesia

Ilustrasi perdagangan manusia.
Ilustrasi perdagangan manusia. Ilustrasi: Amin H. Al Bakki/Kriminologi.id

Indonesia sesungguhnya memiliki UU perlindungan terhadap AKP, yaitu UU no 7 tahun 2016 tentang perlinfungan nelayan yang berada dalam naungan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam memaksimalkan upaya memberantas eksploitasi tersebut, pemerintah Indonesia membentuk tim nasional mulai dari tahun lalu yang terdiri dari Tim Teknis Awak Kapal Perikanan, Kementrian Indonesia, IMO, ILO dan FAO.

Saat ini tim nasional tersebut sedang menyiapkan rencana aksi nasional untuk perlindungan awak kapal perikanan untuk 2020-2024. Dan untuk mempercepat proses pelaporannya, di situs Menko Maritim telah menyediakan 1 format pelaporan yang sudah sesuai dengan standar ILO dan IMO bagi para korban.

Basilio mengungkapkan bahwa ia memiliki rencana akan melakukan integrasi data kependudukan dan dokumen pelaut untuk meningkatkan pengasawan dan pergerakan awak kapal perikanan. Ia percaya jika Indonesia bisa memiliki sistem ini, pemerintah bisa menghubungkan dan mengumpulkan data dari semua kementrian yang ada, mulai dari Kemendagri RI dan Kemlu yang mempunyai data kependudukan, Kemenkumham yang mempunyai data imigrasi, Kemenhub yang mempunyai data pelaut dan yang menerbitkan buku pelau dan BP2MI yang memberikan bantuan kepada pekerja imigran di luar negeri.

"Maka Insyaallah kita bisa menelusuri semua pergerakan pelaut mulai dari mereka sekolah sampai kepada mereka ditempatkan di luar negeri sampai kemudia mereka kembali lagi ke dalam negeri," ucap Basilio Dias Araujo.

Namun untuk integrasi data tersebut, ia belum memiliki dukungan dari lembaga manapun. Ia berharap jika melalui SEAF Seas bisa membantu menjalankan rencananya tersebut.

 

Reporter: Vitaloca Cindrauli Sitompul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya