COVID-19 di Gaza, Perjuangan Dokter di Tengah Segala Keterbatasan

Dokter di Gaza berjuang keras melawan pandemi COVID-19 di tengah keterbatasan.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 09 Sep 2020, 07:01 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2020, 07:01 WIB
Lockdown Covid-19, Begini Suasana Kamp Pengungsi Shati di Gaza
Seorang wanita mengenakan masker saat berbelanja di toko bahan makanan selama penguncian yang diberlakukan selama pandemi virus corona, di kamp pengungsi Shati, di Kota Gaza, Selasa, (1/9/2020). (AP Photo/Adel Hana)

Liputan6.com, Gaza - Penyebaran Virus Corona (COVID-19) di Gaza membuat para tenaga medis cemas. Masalah utama adalah sistem kesehatan di Gaza yang tak bisa bertahan melawan kasus dalam jumlah besar.

Seorang dokter bernama Ahmed el-Rabii menyebut dalam beberapa aspek pandemi yang terjadi lebih mengerikan daripada perang karena ancaman ada di mana-mana.

"Kamu selalu khawatir karena tidak tahu bagaimana atau di mana virusnya akan menyerangmu: dari pasien, dari kolega, atau dari menyentuh elevator atau permukaan lain," ujarnya seperti dilansir AP News, Selasa (8/9/02020).

Sudah ada lusinan dokter-dokter di Gaza yang terpapar COVID-19, termasuk el-Rabii. Ia kini menetap di rumah sakit yang didanai pemerintah Turki. Kegiatannya kini beribadah dan berkomunikasi dengan sahabat dan keluarga via telepon.

Selama bekerja sebagai dokter di RS pemerintah, el-Rabii hanya mendapat 40 persen bayaran saja. Oleh sebab itu ia membuka kliniknya sendiri, tetapi kini tempat prakteknya terpaksa tutup.

El-Rabii tertular setelah ada pasien yang dinyatakan positif COVID-19.

Palang Merah Internasional menyebut sistem kesehatan Gaza hanya mampu bertahan melawan gempuran pasien COVID-19.

"Sistem kesehatan Gaza sangatlah kurang perlengkapan untuk bertahan dari penyebearan besar, kasur perawatan insentif dan ventilator hanya cukup untuk beberapa lusin kasus serius," ujar Palang Merah Internasional.

Kementerian Kesehatan Palestina menyebut kekurangan dokter sudah mulai terasa. Alhasil, masa karantina bagi dokter yang terekspos COVID-19 dikurangi dari tiga minggu menjadi dua minggu.

Dokter pun merasakan tekanan fisik, mental, hingga finansial.

"Sistem-sistem kesehatan yang maju di dunia saja tidak bisa mengelola penyebaran, jadi bagaimana sistem kesehatan kita yang terkepung serta tergantung pada bantuan dapat bertahan melawan krisis," ujar seorang pejabat Kemenkes Palestina.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Kebijakan Hamas

Lockdown Covid-19, Begini Suasana Kamp Pengungsi Shati di Gaza
Seorang pria mengenakan masker saat berjalan ke rumah keluarganya selama penguncian yang diberlakukan selama pandemi virus corona, di kamp pengungsi Shati, di Kota Gaza, Selasa, (1/9/2020). (AP Photo/Adel Hana)

Sejak 2007, posisi Gaza berada dalam blokade Israel-Mesir untuk mengisolasi Hamas. Blokade tersebut membuat penyebaran virus lebih lambat dari daerah lain di dunia.

Hamas juga menyuruh agar orang yang keluar-masuk Gaza agar menetap di pusat karantina selama tiga minggu.

Akan tetapi, bulan lalu penyebaran COVID-19 mulai terjadi di masyarakat Gaza. Hingga kini, ada lebih dari 1.000 kasus aktif di Gaza dan sembilan orang sudah meninggal dunia.

Petugas kesehatan di Gaza, meski kelelahan, terus melakukan tes COVID-19. Seorang teknisi lab bernama Haitham Ibrahim mengaku sering merasa kelelahan ekstrim, belum lagi baju perlindungan rasanya sangat berat di tubuh.

Ibrahim juga berkata kondisi pasien lebih benak ketimbang petugas medis.

"Patian datang selama 20 hari dan ia sembuh, tetapi kita akan tetap berada dalam tekanan ini, tidak yakin kapan virusnya akan menyerang, hingga batas waktu yang tidak tentu," ujarnya.

Pekerjaan Ibrahim dibagi per dua pekan. Selama dua pekan ia bekerja, lalu dua pekan di pusat karantina, lalu dua minggu isolasi mandiri di rumah sebelum kembali kerja.

Ia berharap usai pandemi akan ada hasil baik bagi petugas kesehatan di Gaza. Sama seperti el-Rabii dan pegawai negeri lain di Gaza, gaji yang diterima Ibrahim juga hanya 40 persen saja.

"Kami harap pekerjaan kami akan dihargai usai krisis berakhir. Sekarang waktunya untuk fokus bekerja dan mengatasi pandemi," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya