Liputan6.com, Jakarta - Pemercik api keributan Pemilu Amerika Serikat 2020 itu bernama Donald Trump. Bukan tanpa alasan. Anggapan itu muncul setelah Trump mengeluarkan pernyataan menolak berkomitmen untuk transfer kekuasaan secara damai jika kalah.
Trump meyakini hasil Pemilu AS 2020 bisa berakhir di Mahkamah Agung, karena dia meragukan pemungutan suara melalui pos. Di tengah pandemi COVID-19, banyak warga negara bagian terdorong melakukan pemungutan suara melalui surat, dengan alasan menjaga diri dari ancaman Virus Corona.
"Saya telah sangat mengeluh tentang surat suara," kata Trump. "Dan surat suara itu bencana," imbuhnya dikutip dari BBC.
Advertisement
Ketika wartawan memberitahu bahwa "orang-orang sedang melakukan kerusuhan", Trump menyela, "Singkirkan surat suara, dan Anda akan tahu bahwa akan menjadi kelanjutan di sana."
Tidak seperti dalam sejarah pemilu sebelumnya, Pilpres AS 2020 ini dibayangi ancaman langsung dari Donald Trump tentang "kekerasan di jalanan" jika penghitungan suara tidak dipersingkat. Cuitan Donald Trump pun dengan cepat diberi label oleh Twitter lantaran berpotensi menyesatkan, diunggah di tengah suasana panas pada malam terakhir kampanyenya.
Trump meningkatkan permintaannya untuk penghitungan suara di negara bagian Pennsylvania yang menjadi medan pertempuran agar berakhir pada malam pemilihan, sebelum sebagian besar surat suara negara bagian dihitung. Ia pun mencerca Mahkamah Agung, yang telah menolak gugatan Partai Republik yang berusaha untuk memotong proses penghitungan.
"Keputusan Mahkamah Agung tentang pemungutan suara di Pennsylvania adalah keputusan yang sangat berbahaya. Ini akan memungkinkan kecurangan yang merajalela dan tidak terkendali dan akan merusak seluruh sistem hukum kita. Ini juga akan memicu kekerasan di jalanan. Sesuatu harus dilakukan!" kata Trump.
"Anda akan menghadapi populasi yang akan sangat, sangat marah," tegasnya.
Peringatan gelap dari Trump ini menandai akhir dari kampanye yang dalam banyak hal belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah pemilihan pertama di mana calon presiden petahana mengatakan akan mencoba menghentikan penghitungan suara jika pengembalian lebih awal pada malam pemilihan menunjukkan dia unggul, dan secara terbuka mendorong tindakan intimidasi oleh para pendukungnya.
Saat penghitungan suara Pilpres AS berlangsung, dua kandidat juga saling klaim kemenangan. "Kami menang besar, tetapi mereka (Demokrat/Joe Biden) sedang mencoba untuk mencuri Pemilu. Kami tidak akan pernah membiarkan mereka melakukannya. Suara tidak dapat diberikan setelah Polling ditutup," ungkap Trump.
Dikutip dari CNN, Rabu (4/11/2020) Biden juga menyampaikan kepada para pendukungnya di Wilmington, Delaware, "Kami merasa senang dengan posisi kami saat ini, kami benar-benar berhasil."
"Saya di sini untuk memberi tahu kalian malam ini bahwa kami yakin kami berada di jalur yang tepat untuk memenangkan pemilihan ini," sebut Biden.
Gejolak politik ini menimbulkan langkah antisipasi. Di Ibu Kota Amerika Serikat, Washington DC misalnya, sudah ada persiapan jika terjadi kerusuhan usai pesta demokrasi.
Toko-toko menutup jendela mereka, pihak berwenang sedang mempersiapkan pertahanan terhadap demonstrasi yang memicu kekerasan, dan tembok 'anti-pendakian' sedang dibangun di sekitar Gedung Putih, seperti dilaporkan ABC.
Wisatawan yang sedianya bisa berdiri di luar pagar Gedung Putih untuk melihat dengan jelas tempat tinggal bersejarah presiden AS, kini jalan-jalan sekitarnya diblokir oleh barikade dan penjagaan polisi. Kantor Eksekutif Presiden semakin diperkuat, dengan beberapa lapis pagar rantai tinggi, penghalang kendaraan beton, dan perimeter keamanan terus diperluas.
Pejabat kota dan penegak hukum bersiap menghadapi dua skenario yang memicu kecemasan: bentrokan di jalan-jalan dan di tempat pemungutan suara.
Baca Juga
Tidak ada tempat yang keamanannya lebih ketat daripada di Washington DC, di mana kampanye Trump menjanjikan pesta "kemenangan" malam pemilihan di Trump International Hotel, lima blok dari Gedung Putih di Pennsylvania Avenue.
Mantan agen Agen Rahasia veteran Don Mihalek mengatakan, protes kekerasan di Washington DC dan kota-kota AS lainnya pada 2020 telah memberikan gambaran bagi petugas penegak hukum untuk mempersiapkan eskalasi peristiwa jika protes pecah. "Sayangnya, mengharapkan kekerasan sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari situasi. Waktu dan tempat kerusuhan terjadi selalu menjadi perhatian," kata Mihalek.
Kerusuhan telah terjadi di Portland, Oregon pada malam sebelum pemungutan suara Pilpres AS. Bahkan, kerusuhan ini juga dikaitkan dengan 100 hari setelah kematian George Floyd, dan itu telah menjadi simbol perpecahan di AS.
Dua orang ditangkap di tengah kekerasan ketika jendela di kantor keamanan publik Universitas Negeri Portland dihancurkan, menurut Daily Mail. Para pengunjuk rasa juga melemparkan cairan yang mudah terbakar ke dalam Starbucks di daerah itu.
Kantor Sheriff di distrik Multnomah mengatakan, mereka menghentikan telah menghentikan upaya pembakaran dan mengumumkan pertemuan yang melanggar hukum, serta memerintahkan kelompok itu untuk pergi.
Para pengunjuk rasa berkumpul di sebuah taman pada pukul 21.00 dan berbaris bersama meneriakkan nama Jason Washington, seorang pria kulit hitam yang ditembak dan dibunuh polisi kampus PSU pada 2018.
Untuk mengantisipasi kerusuhan meluas, bisnis di pusat kota besar seluruh AS menutup jendela mereka. Kawasan bisnis di Washington DC menyarankan penduduk untuk "berhati-hati seperti mengamankan furnitur luar ruangan dan papan nama yang dapat digunakan sebagai proyektil".
Universitas George Washington menasihati mahasiswanya untuk mempersiapkan hari pemungutan suara Pilpres AS "seperti yang biasa Anda lakukan untuk badai atau badai salju" jika kerusuhan membuat mereka meninggalkan tempat tinggal mereka. Siswa didorong untuk "memilih makanan yang memiliki umur simpan yang lama", "menyimpan obat yang dijual bebas" dan "waspada terhadap lingkungan fisik Anda" mulai Selasa.
Sementara itu, negara bagian di seluruh AS sedang mempersiapkan potensi kerusuhan, dengan gubernur meminta penjaga nasional untuk mempersiapkan penempatan jika terjadi kerusuhan dan protes seputar pemilihan. Selain itu, lebih dari 3.600 tentara juga telah diaktifkan.
Sebuah jajak pendapat oleh USA Today dan Suffolk University menemukan bahwa tiga dari empat pemilih khawatir tentang kemungkinan adanya kekerasan, dengan hanya seperempat pemilih yang "sangat yakin" akan ada transfer kekuasaan secara damai jika penantang Demokrat, Joe Biden memenangkan pemilihan.
Menyampaikan pesan penutup di hari terakhir kampanye, Biden mengulangi pesan kampanyenya bahwa pemilu merupakan "pertarungan jiwa bangsa".
"Karakter Amerika secara harfiah ada pada pemungutan suara," katanya pada rapat umum drive-in di Cleveland, Ohio.
"Sudah waktunya untuk mengambil kembali demokrasi kita."
Pemerhati politik Amerika Serikat Didin Nasirudin menilai, kerusuhan berpotensi terjadi jika kemengangan yang diraih Trump atau Biden tipis. Ia menilai negara bagian kawasan Great Lakes menjadi titik rentan.
"Di beberapa negara bagian seperti Michigan, kemudian Pennsylvania, di negara bagian Great Lakes, itu yang mungkin potensinya lumayan besar," ujar Didin kepada Liputan6.com, Rabu (4/11/2020).
Negara Great Lakes adalah Illinois, Indiana, Michigan, Minnesota, New York, Ohio, Pennsylvania dan Wisconsin. Donald Trump sudah unggul di Illinois, Indiana, dan Ohio, sementara Joe Biden menang di Minnesota dan New York.
Sepanjang 2020, kerusuhan sempat terjadi di New York akibat protes terkait isu rasisme. Daerah Times Square menjadi korban penjarahan. Kini, pebisnis di Times Square juga mulai menjaga toko-toko mereka untuk mengantisipasi kerusuhan akibat Pemilu AS.
Seminggu sebelum pilpres AS, Donald Trump mengangkat hakim agung baru, yakni Amy Coney Barret. Formasi hakim di Mahkamah Agung AS kini didominasi kubu konservatif.
Namun, hal itu belum tentu berpengaruh jika hasil sengketa pilpres AS dibawa ke MA. "Mereka tetap menjaga reputasi sebagai sebuah institusi yang fair," ujar Didin.
Ia menyebut ada beberapa faktor yang menentukan atmosfer pilpres di AS. Pertama, berapa selisih suaranya. Kedua, siapa yang menang. Ketiga, berapa negara bagian yang menjadi sengketa.
"Kalau melibatkan lebih dari satu negara bagian, repot," jelas Didin.
Lalu, bisakah Trump dihukum jika menolak menerima kekalahan Pilpres AS 2020? Pengamat politik AS di Australia, Dr Emma Shortis, menilai pertanyaan ini cukup rumit dijawab.
"Jika dia menolak untuk meninggalkan kantor dan menolak mengakui kekalahannya, itu berarti Konstitusi dan supremasi hukum tidak diakui," katanya, dikutip dari ABC Australia.
"Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh rakyat, tapi pada dasarnya baru pada 20 Januari mendatang ketika kekuasaan presiden mengalami transisi."
Dengan asumsi semuanya berjalan sesuai dengan yang diindikasikan oleh jajak pendapat, jelas dia, maka Biden akan menjadi panglima tertinggi AS pada Januari dan dia dapat memerintahkan militer untuk menyingkirkan Trump dari Gedung Putih).
Dr Shortis mengatakan, banyak hal yang akan terjadi antara waktu pengumuman pemenang pilpres dan tanggal pelantikan presiden AS 20 Januari 2021.
"Kami akan melihat krisis konstitusional sepenuhnya (bila Trump menolak untuk menyerah). Menurut saya penyelesaiannya tidak akan mudah," katanya.
Hinga pukul 22.17 WIB, Rabu (4/11/2020), suara elektoral Joe Biden masih unggul tipis dari Donald Trump. Dikutip dari Peta Hasil Pemilu AS 2020 versi AP, Joe Biden meraih 238 suara elektoral dan Donald Trump 213.
Joe Biden unggul di Washington, Oregon, California, Colorado, New Mexico, Arizona, Minnesota, Illinois, Vermont, New Hampshire, Massachusetts, Rhode Island, Connecticut, New Jersey, Delaware, District of Columbia, Maryland, New York, Hawaii, Maine, dan Virginia.
Sedangkan Donald Trump menang di Montana, Idaho, Wyoming, Utah, North Dakota, South Dakota, Nebraska, Kansas, Oklahoma, Texas, Arkansas, Iowa, Missouri, Indiana, Ohio, Kentucky, Tennessee, Mississippi, Alabama, Lousiana, South Carolina, West Virginia, dan Florida.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Adu Janji Donald Trump Vs Joe Biden
Warga Amerika masih menanti hasil Pemilu AS 2020, siapa yang akan duduk di Gedung Putih selama empat tahun ke depan. Presiden petahana Donald Trump atau saingannya dari Demokrat Joe Biden?
Meskipun penghitungan suara dilakukan pada hari yang sama saat Pemilu AS digelar, 3 November 2020, namun tidak mengherankan jika hasil akhir di penghujung hari tak bisa didapat. Alasanya, karena pandemi COVID-19, kondisi itu membuat pemilih diberikan pilihan untuk memberikan hak suara melalui surat termasuk cara yang ada.
Oleh karena itu, mungkin perlu sedikit lebih banyak waktu untuk menghitungnya.
Di tengah masa penghitungan suara Pemilu AS, berikut ini rekam janji kedua capres yang mereka buat selama kampanye kepada rakyat Amerika, dikutip dari India TV, Rabu (4/10/2020):
Janji Donald Trump
- Mengembangkan vaksin untuk Virus Corona COVID-19 pada akhir tahun 2020, dan bekerja untuk mengembalikan negara kembali normal pada tahun 2021, mempersiapkan diri untuk menghadapi pandemi di masa depan.
- Menciptakan 1 crore (10 juta pekerjaan baru).
- Donald Trump juga berjanji untuk memotong pajak yang akan meningkatkan gaji yang dibawa pulang dan mempertahankan lapangan pekerjaan di Amerika.
- Mengubah Amerika Serikat menjadi negara adidaya manufaktur untuk mengakhiri ketergantungan pada China.
- Melanjutkan agenda untuk kemandirian energi.
- Menempatkan fokus pada pengajaran soal keistimewaan Amerika.
- Di bidang perawatan kesehatan, Donald Trump telah berjanji akan membawa rencana kesehatan baru dengan mengusulkan premi asuransi rendah, mencakup semua kondisi yang sudah ada sebelumnya (sesuatu yang juga telah dia janjikan dalam debat presiden), melindungi jaminan sosial dan pengobatan. Presiden juga berjanji untuk melindungi para veteran dan layanan kesehatan kelas dunia.
- Donald Trump telah berjanji untuk memblokir imigran ilegal agar tidak memenuhi syarat untuk skema kesejahteraan yang didanai oleh uang pembayar pajak, perawatan kesehatan, biaya kuliah gratis.
- Dia mengatakan bahwa pemerintahnya akan memastikan deportasi wajib bagi anggota geng non-warga negara.
- Melarang perusahaan Amerika mengganti warga AS dengan pekerja asing berbiaya rendah.
- Mewajibkan pendatang baru untuk dapat menghidupi diri sendiri secara finansial.
Janji Joe Biden
- Joe Biden telah menjanjikan vaksin Virus Corona COVID-19 gratis untuk semua warga Amerika jika dia memenangkan Pemilu AS.
- Biden mengatakan dia akan memperbaiki kegagalan model pengujian dan penelusuran kasus COVID-19 yang dilakukan Trump, masalah peralatan pelindung pribadi.
- Ia mengatakan bahwa pemerintahnya akan memberikan rencana pedoman nasional yang jelas, konsisten, dan berbasis bukti untuk distribusi efektif pengobatan dan vaksin.
- Melindungi kaum lanjut usia Amerika dan mereka yang berisiko tinggi selama pandemi.
- Menerapkan wajib memakai masker.
- Membangun kembali dan memperluas pertahanan yang telah dibongkar Trump untuk memprediksi pencegahan dan mitigasi ancaman pandemi termasuk yang datang dari China.
- Untuk mengembalikan pekerjaan, Joe Biden telah berjanji akan memberikan bantuan yang mereka butuhkan kepada pemerintah negara bagian, lokal, dan suku sehingga para pendidik petugas pemadam kebakaran dan pekerja penting lainnya tidak di-PHK.
- Perpanjang asuransi pengangguran krisis COVID-19 untuk membantu mereka yang kehilangan pekerjaan.
- Bekerja untuk menyediakan paket bagi bisnis jalanan utama dan pengusaha yang terkena dampak pandemi COVID-19 untuk membantu mereka bangkit.
- Joe Biden juga berjanji akan memaksa China untuk bermain dengan aturan perdagangan internasional, sesuai aturan perusahaan asing, dan tindakannya di Laut China Selatan.
- Mereformasi sistem imigrasi AS untuk menyambut imigran di komunitas.
- Mencabut larangan perjalanan dan pengungsi non-Amerika, juga disebut sebagai "larangan Muslim", menegaskan kembali komitmen Amerika untuk pencari suaka dan pengungsi, mengatasi akar penyebab migrasi tidak teratur, dan menerapkan pemeriksaan perbatasan yang efektif.
Advertisement
Hasil Pemilu AS Bakal Pengaruhi Masa Depan Asia
Pemilu presiden Amerika Serikat akan membentuk peran Negeri Paman Sam di dunia selama tahun-tahun mendatang.
Di Asia, hasil akhir dari pemilu Amerika Serikat ini penting. Geopolitik Asia itu kompleks dan arus perubahan semakin cepat.
Sementara para mitra sebelumnya dapat mengandalkan Amerika Serikat untuk mencoba membentuk keseimbangan kekuatan regional, Trump malah mengubah strategi Asia menjadi serangkaian tawar-menawar taktis bilateral. Demikian seperti mengutip Channel News Asia, Rabu (4/11/2020).
Baca Juga
Kemitraan Trans-Pasifik ditinggalkan lebih awal dengan hilangnya keunggulan kompetitif yang nyata bagi industri AS, khususnya pertanian. Ketika pemerintahan Trump mengalihkan perhatiannya ke strategi Indo-Pasifik, strategi itu tampaknya terputus dan bahkan terkadang tidak bermoral.
Sementara tujuan militer AS di kawasan itu tetap ada, alat ekonomi dan diplomatik kurang dimanfaatkan.
Bilateral, dengan pengaruh yang menguntungkan Amerika, telah menekan antusiasme untuk bermitra dengan Amerika Serikat.
Penarikan dukungan untuk forum regional mengirimkan pesan mendalam tentang ketidaktertarikan AS di kawasan di mana jaringan dan pembangunan konsensus bergantung pada multilateralisme.
Diplomasi keluhan pemerintahan Trump sangat membingungkan ketika diplomat dan militer China tanpa malu-malu menunjukkan kekuatan baru negara mereka.
Jelas bahwa tim Biden sedang menyusun pendekatan berbeda untuk mengejar kepentingan AS di Asia.
Keanggotaan tim, yang dipimpin oleh Antony Blinken, mencakup sederetan pakar kebijakan luar negeri berpengalaman yang telah bertugas di pemerintahan dan yang akan dikenal oleh rekan-rekan di wilayah tersebut.
Ini adalah tim yang menghormati dan memanfaatkan tempat multilateral untuk keuntungan AS, memiliki apresiasi yang dalam terhadap pendekatan China terhadap kekuasaan, dan yang memahami bahwa pengungkit ekonomi, serta pengungkit diplomatik dan militer, harus menjadi bagian dari pendekatan holistik.
Adapun sejumlah perbedaan signifikan dalam pendekatan Trump sebagai berikut:
Pertama, sementara pemerintahan Trump melihat sekutu sebagai kewajiban, pemerintahan Biden akan memimpin kebijakan Asia dengan pendekatan yang mengutamakan sekutu.
Kedua, Amerika Serikat akan kembali menemukan tujuan bersama dengan negara lain di kawasan ini dalam membangun jaringan dan, jika diperlukan, lembaga untuk tindakan kolektif.
Ketiga, pemerintahan Biden akan mengintegrasikan kerja sama dengan mitra Asia dalam mengatasi tantangan global pandemi COVID-19 dan perubahan iklim.
Tantangan terbesar tentu saja adalah kebijakan China.
Persaingan strategis semakin ketat. Perang dagang adalah perwujudan awal dari pendekatan baru AS ini. Pemerintahan Trump menganut antipati ideologis kuno dan pejabat Beijing tidak ragu-ragu untuk mengikutinya.
Gaya Biden akan berbeda, tetapi rasa urgensi dalam mobilisasi untuk memenuhi tantangan China akan tetap ada. Sebuah tajuk utama baru-baru ini di Axios membawa pulang hal ini: Kebijakan AS China di bawah Biden akan "membawa sekutu".
Penasihat China Biden, Ely Ratner, ikut menulis laporan yang menyatakan bahwa Amerika Serikat "harus menerima dan mengakui bahwa naik ke tantangan China akan membutuhkan pengorbanan dan pertukaran yang sulit."
Ketegangan AS-China akan terus berlanjut terlepas dari hasil pemilu. Perilaku Tiongkok telah mengundang banyak reaksi di Washington, seperti yang terjadi di seluruh kawasan.
Ketegasan yang lebih besar di laut China Timur dan Selatan telah membuat tetangga maritimnya gelisah. Praktek perdagangan dan investasi predator telah membuat pemaksaan metode baru dalam tata negara ekonomi.
Persaingan dalam generasi teknologi berikutnya juga telah mempertemukan model Beijing baru yang lebih otoriter melawan demokrasi liberal. Dan pejabat China telah beroperasi dengan cara yang mengundang dendam dari seluruh Asia Pasifik dan sekitarnya.
Yang tidak jelas adalah bagaimana ketegangan ini akan berkembang.
Ironisnya, ketidakpastian kepresidenan Trump mungkin menawarkan prediksi yang paling dapat diprediksi. Trump 2.0 akan mempercepat konfrontasi, tetapi dengan perselisihan tentang perdagangan dan pembagian beban, kemungkinan juga akan menurunkan kepercayaan sekutu.
Konfrontasi tanpa Amerika Serikat yang mantap di ladang hanya dapat menghasilkan hasil yang buruk bagi sebagian besar negara Asia. Sekutu akan menjadi kurang aman dan karenanya lebih cenderung mencari sumber keamanan dan kemakmuran alternatif.
Fakta Menarik Pemilu AS 2020
Momen Pemilihan Presiden Amerika tengah jadi buah bibir. Masyarakat dari duniapun tengah menunggu siapa yang jadi orang nomor satu dari hasil pemilu Amerika tersebut.
Persaingan ketat tengah terjadi antara Donald Trump dan rivalnya Joe Biden.
Selain itu, berikut ini sejumlah fakta menarik terkait pemilu Amerika 2020 dilansir dari Timesofindia, Rabu (4/11/2020):
1. Digelar pada saat pandemi : Hal ini adalah pertama kalinya terjadi, saat pemilihan presiden diadakan pada saat pandemi mematikan dari COVID-19 yang berdampak tak hanya di AS tapi juga seluruh dunia. Pemilu pada paruh waktu tahun 1918-pun juga berlangsung di tengah pandemi flu Spanyol, hal itu membuat partisipasi pemilih ikut turun hingga 20%. Saat itu, 1920, Warren G Harding yang menang dan tak lama Flu Spanyol hilang.
2. Menggunakan pilihan melalui surat suara atau lainnya : Pada tahun ini, pandemi membuat perubahan yang tidak tertandingi atas banyaknya pemilih melakukan pemungutan suara awal melalui surat atau model lainnya. 100 juta orang Amerika dalam pemungutan suara lebih awal pemilihan presiden kali ini tercatat rekor dari sebelumnya.
3. Pemilu termahal : Pada siklus pemilu Amerika 2020, termasuk pemilihan presiden dan kongres, disebut-sebut menghabiskan dana besar sekitar $ 14 miliar (Rp 203 Triliun). Hal tersebut menjadikan pemungutan suara itu menjadi yang termahal dalam sejarah, angka tersebut merupakan gabungan dari jumlah yang telah terjadi selama dua siklus pemilu terakhir.
4. Jika Trump kalah dan menang : Donald Trump jika dikalahkan, maka dia akan menjadi presiden pertama yang dikalahkan oleh mantan wakil presiden. Jika terpilih kembali, tercatat sebagai presiden ke empat yang dipilih secara berturut-turut.
5. Jika Biden menang : Jika Trump kalah dan Biden tidak mencalonkan diri kembali pada tahun 2024, maka AS akan menyaksikan pemilihan presiden satu periode berturut-turut, pertama sejak Benjamin Harrison dan Grover Cleveland pada tahun 1989-1897 sebagai presiden tertua.
6. Presiden AS Tertua : Jika Biden terpilih maka dia akan mengalahkan rekor Trump sebagai presiden tertua yang pernah disumpah selama delapan tahun. Biden memulai karir politik nasional sebagai senator AS termuda yang keenam dalam sejarah.
Bila menang, Biden bisa menjadi presiden tertua yang dipilih dan yang tertua untuk mengabdi pada negara di usia 78 tahun, ia juga bisa menjadi presiden pertama dari Delaware dan pertama memiliki karir yang lama di Senat yaitu pada tahun 1973 sampai 2009.
Advertisement