Liputan6.com, Korea Selatan - Kim Ji-young tiba di Korea Selatan dari Korea Utara bersama ibu dan tiga sepupunya pada Maret 2013. Sebelum melewati periode penyesuaian yang sulit, pembelotan adalah "seperti mimpi" untuknya.
Dikutip dari BBC, Jumat (12/3/2021), setiap hari keluarga tersebut menghadapi tantangan baru. Pada saat itu, mereka juga tidak mengenal siapa pun.
Baca Juga
"Ada banyak berbedaan budaya," katanya, "Kami harus memulai dari awal lagi."
Advertisement
Kim bukanlah satu-satunya pembelot yang berhasil melarikan diri dari kehidupan diktator yang terisolasi di Korea Utara. Untuk yang berhasil, mereka harus mempelajari dasar-dasar kehidupan masyarakat berteknologi tinggi dan demokratis.
Mereka diajari hal-hal kecil seperti cara menggunakan kartu ATM sampai memahami cara kerja perwakilan pemerintah. Saat datang, para pembelot juga harus menjalani masa penyelidikan dan tanya jawab dengan dinas intelijen.
Sokeel Park, direktur negara Kebebasan Korea Selatan di Korea Utara mengatakan bahwa ada proses tiga bulan di sebuah lembaga Hanawon. "Lalu ada tiga bulan di sebuah lembara bernama Hanawon, fasilitas pendidikan pemukiman kembali yang dijalankan oleh pemerintah Korea Selatan."
"Ini adalah sekolah tiga bulan di mana mereka mempelajari berbagai hal tentang masyarakat Korea Selatan," jelasnya, "...cara menggunakan mesin ATM dan infrastruktur transportasi modern Korea Selatan dan cara mendapatkan pekerjaan. Mereka mempelajari berbagai hal tentang kewarganegaraan, demokrasi, dan perbedaan Korea Selatan."
Selain itu, ada juga pusat komunitas yang menyediakan sumber daya bagi pengungsi yang dimukimkan kembali.
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan video pilihan di bawah in:
Diberi Rumah Sewa Umum
Pusat komunitas ini cenderung fokus pada periode untuk membantu para pembelot mengatur ponsel dan rekening bank serta berkenalan dengan komunitas lokal mereka. Setelah proses di Hanawon, para pembelot diberi rumah sewa umum.
Untuk beberapa hari pertama, Kim diberi sekotak makanan seperti ramen, nasi, minyak, dan bumbu agar mereka dapat bertahan.
Seorang konselor atau pembelot yang sudah menetap akan membantu membersihkan rumah dan memberikan dukungan tambahan. Setelah itu, mereka harus menjalani hidup mereka sendiri.
Warga Korea Utara yang menetap di Korea Selatan mempunyai polisi yang ditugaskan untuk mengawasi mereka.
Sokeel Park bahkan mengatakan, kadang-kadang mereka akan menjadi teman. "Kadang-kadang mereka menjadi teman. Mereka biasanya perwira yang lebih tua, lebih seperti figur ayah. Perean mereka adalah untuk check in -- hampir seperti layanan sosial."
Petugas-petugas ini terkadang bekerja bersama dengan sebuah asosiasi atau gereja. Untuk dukungan kesehatan mental, Park mengatakan bahwa ada beberapa layanan konseling yang teredia -- walaupun memang masih perlu diperbaiki untuk menjadi lebih baik.
Masalah ini menjadi sorotan karena pada 2019, seorang pembelot bernama Han Sung-ok dan putranya ditemukan tewas di sebuah apartemen di Seoul -- mereka diyakini mati kelaparan. Para tetangga menggambarkannya sebagai orang yang terganggu dan cemas.
Banyak pembelot yang akan mengalami trauma ekstrim tetapi mungkin tidak mencari bantuan atau bahkan tahu di mana untuk menemukannya. Menurut survei pengungsi Korea Utara di Korea Selatan, sekitar 15% pembelot mengaku memiliki pikiran untuk bunuh diri. Persentase yang lebih tinggi dari rata-rata orang di Korea Selatan yaitu 10%.
"Kesehatan mental membutuhkan perubahan dan kesadaran sosial sehingga orang dapat mengidentifikasi hal-hal ini dan mencari pertolongan dan berpikir bahwa tidak masalah untuk mencari pertolongan," katanya.
Seorang analisis Korea Utara, Fyodor Tertitsky, mengatakan bahwa kehidupan di Korea Selatan dapat membuat para pembelot merasa seperti terisolasi. Bukan hanya karena mereka memasuki masyarakat yang sagat berbeda, mereka juga dipandang dengan masyarakat sebagai "yang lain".
"Anda tidak bisa pulang karena Anda dianggap pengkhianat dan terasing dari keluarga atau teman dan lingkungan Anda," kata Tertitsky. "Ini adalah pengalaman yang traumatis terutama jika Anda dipaksa untuk melarikan diri."
Tiba di Korea Selatan dan mencari pekerjaan bisa menjadi sesuatu yang sulit. "Pendidikan di Korea Utara dan Korea Selatan sangat berbeda dan hanya ada sedikit pekerjaan yang dapat dilakukan oleh orang Korea Utara di Korea selatan," jelas Kim.
Advertisement
Sering Diabaikan Dalam Wawancara
Mencari pekerjaan juga menjadi hal yang sulit bagi para pembelot karena mereka belum pernah mendengar istilah pekerjaan paruh waktu dan belum pernah mendapatkan pekerjaan sendiri sebelumnya.
"Mereka sering diabaikan dalam wawancara," kata Kim.
Untuk wanita yang masih muda, Kim mengatakan bahwa mereka biasanya dapat bekerja di restoran untuk menyajikan makanan dan saat mereka bertambah usia, pekerjaan mereka akan bertransisi untuk bekerja sebagai asisten di dapur.
Selain untuk wanita, para pria biasanya memiliki pekerjaan mengemas pesanan belanja secara daring atau di industru konstruksi.
Para pembelot juga diberi insentif untuk bekerja dan bertahan pada suatu pekerjaan dan mendapatkan keterampilan. Bisnis-binsis di Korea Selatan juga diberi insentif untuk mempekerjakan para pembelot.
Ada subsidi juga bagi pembelot yang ingin melanjutkan pendidikan. Mereka tidak perlu membayar untuk gelar sarjana universitas dan bagi yang berusia di bawah 35 tahun, mereka dapat melanjutkan sekolah pascasarjana secara gratis. Beasiswa juga tersedia.
Pembelot juga mendapatkan keuntungan yang dapat mereka pakai untuk hal-hal seperti belajar untuk menggunakan komputer.
Bagi anak-anak kecil, mereka bersekolah di sekolah lokal Korea Selatan atau sekolah khusus yang melayani anak-anak dari Korea Utara.
Menurut Tertitsky, di sekolah-sekolah tersebut, para murid dikelilingi oleh anak-anak yang memiliki latar belakang yang sama. "Ini bukan tempat terbaik karena Anda memperoleh pendidikan terbatas, Anda tidak terpapar pada masyarakat Korea Selatan."
"Dalam arti lain, jika Anda bersekolah di sekolah Korea Selatan, anak-anak bisa menjadi kejam. Mereka bisa meremehkan Anda dan tidak mudah mengejar saat ketinggalan," jelasnya, "Itu bukan tempat yang paling menyenangkan."
Kim mengatakan bahwa secara umum, siswa Korea Utara sedang duduk di SMP, SMA, dan tertinggal di perguruan tinggi dalam studi mereka dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Korea Selatan -- mereka juga terkadang putus sekolah karena tantangan yang mereka hadapi.
Reporter: Paquita Gadin