Liputan6.com, New York City - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa bertemu secara virtual pada 23 Maret untuk membahas kembali upaya yang lama terhenti, dalam membuat Israel dan Palestina merundingkan two-state solution.
Perundingan two-state solution adalah hal yang penting, dalam upaya mengakhiri konflik kedua negara yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Pernyataan singkat dari empat mediator, yang dikenal sebagai Kuartet, mengatakan bahwa utusan membahas kembali "ke negosiasi yang berarti yang akan mengarah pada solusi dua negara, termasuk langkah-langkah nyata untuk memajukan kebebasan, keamanan dan kemakmuran bagi Palestina dan Israel, yang penting dalam haknya masing masing".
Advertisement
Diketahui, tidak ada pembicaraan damai yang substantif antara Israel dan Palestina sejak 2014, dan kedua belah pihak masih terpecah belah terkait isu-isu inti dari konflik tersebut.
PBB menyampaikan pernyataan pada diskusi Kuartet itu setelah pemungutan suara ditutup dalam pemilu Israel pada 23 Maret, seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (24/3/2021).
Hasil jajak pendapat menunjukkan tidak ada pemenang yang jelas, membuat nasib Perdana Menteri Benjamin Netanyahu belum pasti dan menandai kebuntuan politik yang berlanjut di Israel.
Pada akhir Januari 2021, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan ada "alasan untuk berharap" tentang kemajuan dalam mengakhiri konflik Israel-Palestina setelah bertahun-tahun belum adanya kemajuan.
Dikatakannya juga bahwa PBB akan mengeksplorasi semua inisiatif guna memfasilitasi "proses perdamaian sejati" berdasarkan two-state solution.
Mengacu pada pemerintahan AS sebelumnya, tanpa menyebut nama mantan presiden Donald Trump, Guterres menyampaikan: "Kami benar-benar terkunci dalam situasi di mana tidak ada kemajuan yang terlihat."
Diketahui bahwa pemerintahan Trump memberikan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada Israel.
Hal itu adalah dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv, dan memangkas bantuan keuangan untuk Palestina, serta membalikkan arah ketidakabsahan permukiman Israel di tanah yang diklaim oleh Palestina.
Saksikan Video Berikut Ini:
Peluang Upaya Perdamaian yang Lebih Luas di Era Pemerintahan Biden
Selama lebih dari tiga dekade, Palestina telah menargetkan kemerdekaan mereka di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem timur - wilayah yang direbut Israel dalam perang 1967.
Israel menarik diri dari Gaza pada 2005, tetapi memberlakukan blokade ketika kelompok militan Hamas merebut kekuasaan dari pasukan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada 2007.
Israel telah mencaplok Yerusalem timur - sebuah langkah yang tidak diakui secara internasional - dan mengatakan tidak berniat membongkar permukiman Tepi Baratnya, yang menurut PBB sebagai langkah yang ilegal menurut hukum humaniter internasional.
Hampir 500.000 orang Israel tinggal di Tepi Barat, dan lebih dari 200.000 orang di Yerusalem timur.
Rencana perdamaian yang diungkapkan oleh Donald Trump pada Februari 2020 menggambarkan Palestina yang terputus-putus yang menyerahkan bagian-bagian penting Tepi Barat ke Israel.
Langkah Trump juga dianggap berpihak pada Israel pada masalah-masalah utama yang diperdebatkan, termasuk perbatasan dan status Yerusalem hingga permukiman Yahudi.
Hal tersebut tentunya ditolak dengan keras oleh orang-orang Palestina.
Segera setelah Presiden AS Joe Biden dilantik pada 20 Januari 2021, pemerintahannya mengumumkan bahwa mereka akan memulihkan hubungan dengan Palestina dan memperbarui bantuan untuk para pengungsi, pembalikan dari pemutusan hubungan kerja Trump serta elemen kunci dari dukungan barunya untuk kedua negara.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres juga sempat menyebutkan pada Januari 2020 bahwa pendekatan Biden yang lebih adil membuka kemungkinan pertemuan Kuartet yang sebelumnya diblokir oleh AS, serta upaya perdamaian yang lebih luas.
Advertisement