Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kelompok hak asasi manusia internasional mengutuk junta Myanmar pada Sabtu (10/4) karena menghukum mati 19 orang, dalam penggunaan hukuman mati pertama yang diketahui sejak militer merebut kekuasaan.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak pemimpin sipil Aung San Suu Kyi digulingkan pada 1 Februari, dengan pasukan keamanan menewaskan lebih dari 600 orang karena pengunjuk rasa menolak untuk tunduk pada pemerintahan militer. Demikian seperti mengutip Channel News Asia, Minggu (11/4/2021).
Advertisement
Media pemerintah melaporkan pada hari Jumat bahwa 19 orang telah dijatuhi hukuman mati karena perampokan dan pembunuhan oleh pengadilan militer, dengan 17 di antaranya diadili secara in absentia, upaya pengadilan tanpa dihadiri pihak tergugat atau terdakwa.
Mereka ditangkap di kotapraja Okkalapa Utara Yangon - salah satu dari enam daerah di pusat perdagangan yang saat ini berada di bawah darurat militer, yang berarti siapa pun yang ditangkap di sana akan diadili oleh pengadilan militer.
Enam kota kecil itu adalah rumah bagi sekitar dua juta orang - lebih dari seperempat populasi Yangon.
Sementara Myanmar telah lama menerapkan hukuman mati dalam hukum pidana, negara tersebut belum melaksanakan eksekusi selama lebih dari 30 tahun, kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia untuk Human Rights Watch.
"Ini menunjukkan militer bersiap untuk kembali ke masa ketika Myanmar mengeksekusi orang," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hukuman Tanpa Banding
Mengadili kasus di pengadilan militer berarti tidak ada banding, dan "tidak ada jaminan pengadilan yang bebas dan adil dengan cara atau bentuk apa pun", tambahnya.
Hukuman itu bisa menjadi taktik untuk memaksa pengunjuk rasa turun ke jalan dan kembali bekerja, katanya, karena boikot nasional telah menghentikan sebagian besar ekonomi Myanmar.
"Misi inti mereka adalah menggunakan kekerasan untuk membuat semua orang turun dari jalan dan menghancurkan (gerakan pembangkangan sipil)," kata Robertson.
Norwegia juga bereaksi terhadap hukuman mati tersebut dengan menyebut mereka "tidak dapat diterima dan perkembangan yang sangat mengkhawatirkan".
"Norwegia sangat mendesak Myanmar untuk tidak melakukan eksekusi, untuk menghentikan kekerasan dan mengizinkan Utusan Khusus PBB untuk berkunjung," kata menteri luar negeri Norwegia Ine Eriksen Soreide dalam Twitter.
Pejabat PBB mengatakan utusan khusus, Christine Schraner Burgener, berada di negara tetangga Thailand berharap untuk memasuki Myanmar untuk pertemuan tatap muka dengan para jenderal untuk merundingkan jalan keluar dari krisis.
Junta sejauh ini menolaknya untuk masuk.
Advertisement