500 Lebih WNI Jadi Korban Penipuan Investasi Bodong di AS, Pelaku Diduga Seorang Diaspora

Skema penipuan investasi bodong di Amerika Serikat diduga melibatkan seorang diaspora Indonesia.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 15 Jun 2021, 13:20 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2021, 13:11 WIB
Penembakan Brutal di Amerika Serikat, 3 Orang Terluka
Petugas polisi melakukan pemeriksaan di lokasi penembakan di Times Square di New York, AS (8/5/2021). Penembakan brutal terjadi di kawasan Times Square, dekat West 44th St. dan 7th Ave di New York yang mengakibatkan 3 orang terluka termasuk bocah perempuan berusia 4 tahun. (AFP/Kena Betancur)

Liputan6.com, New York - Kasus penipuan dalam bidang investasi kerap menjadi momok paling mengerikan namun juga paling sering terjadi. Hal ini pun menimpa lebih dari 500 warga dan diaspora Indonesia di Amerika Serikat yang menjadi korban dugaan penipuan investasi dengan pola skema piramida atau dikenal luas sebagai ponzi scheme.

Ponzi sendiri merupakan modus investasi palsu yang membayarkan keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya, bukan dari keuntungan yang diperoleh oleh individu atau organisasi yang menjalankan operasi ini.

Mengutip laporan VOA Indonesia, Selasa (15/6/2021), para WNI dan diaspora tergiur dengan tingginya bunga yang ditawarkan. 

"Awalnya saya membaca informasi di media sosial, dari Facebook perkumpulan Hibachi dan Pondok Gaul. Nama yang menawarkan program ini Immanuel Jaya. Saya tergiur karena program itu menawarkan bunga 18% per bulan. Jadi pada 19 Oktober 2019 saya menelpon orang itu, saya masih ingat sekali," ujar Gunawan Widjaja, salah seorang diaspora Indonesia di New York ketika diwawancarai VOA awal Juni lalu.

Lain lagi dengan Steven Caraballo, mahasiswa New York University yang mengenal skema ini dari istri dan teman-teman kerja istrinya. Ia dijanjikan mendapat keuntungan dari bunga 15% ditambah keuntungan tambahan jika merujuk orang-orang lain sebesar 2%.

"Saya dijanjikan mendapat 15% dan bonus rujukan 2% dari apa yang saya investasikan. Untuk pertama kali, saya menerima bunga dari empat ribu dolar yang saya berikan. Saya yakin ini cara mereka meraih kepercayaan kami. Jadi pertama kali saya mendapat uang yang saya berikan ditambah bunganya. Tetapi ketika saya mulai menanamkan lebih banyak uang, saya tidak mendapat apapun. Total kerugian saya 55 ribu dolar."

Lebih dari 500 Orang Jadi Korban

Ponzi-1
(Foto: thenypost.files)

Lebih parahnya lagi, jumlah korban akibat penipuan investasi ini diperkirakan mencapai lebih dari 500 orang. 

Menurut Atase Kepolisian di Kedutaan Besar Republik Indonesia KBRI di Washington DC, Ary Laksmana Widjaja, hingga saat ini diperkirakan sudah lebih dari 500 warga dan diaspora Indonesia yang menjadi korban.

“Yang sudah melapor memang belum banyak, tapi kami perkirakan ada lebih dari 500 orang yang menjadi korban... Kami sudah menyampaikan informasi awal pada penegak hukum di Amerika, dalam hal ini FBI (Biro Penyidik Federal), juga mengkoordinasikan laporan-laporan yang masuk.”

Bermula Sejak 2019

(Foto: Ilustrasi dolar AS, investasi, uang. Dok Unsplash/Pepi Stojanovski)
(Foto: Ilustrasi dolar AS, investasi, uang. Dok Unsplash/Pepi Stojanovski)

Rupanya kasus ini bukan merupakan kasus baru. 

Kasus ini sudah bermula sejak tahun 2019 silam ketika puluhan orang menanamkan investasi keuangan pada dua perusahaan yaitu Global Travel dan Easy Transfer yang dikelola diaspora Indonesia di New York. Para investor ini dijanjikan mendapat keuntungan dari bunga antara 12 – 73 persen.

Menurut pengakuan para korba, hampir seluruh transaksi investasi dilakukan dalam bentuk uang tunai tanpa melibatkan institusi perbankan atau perjanjian resmi dari notaris. Jika ada pun, tidak tertera rincian tentang identitas perusahaan dan jenis investasinya. 

Beberapa dokumen yang diperoleh VOA hanya menyebut nama program. Alamat yang digunakan pun hanya sebuah gedung apartemen tanpa merujuk unit tertentu. Perjanjian investasi pada setiap nasabah pun berbeda-beda.

“Saya punya kontrak atau surat perjanjian dengan Immanuel. Tetapi tidak menyebutkan dengan akurat saham, atau properti, atau lokasi investasinya. Mereka berjanji akan mengembalikan uang saya ditambah keuntungan bunganya, dan mereka bahkan mengatakan dalam skenario terburuk, saya akan mendapat kembali uang yang pertama kali saya tanamkan. Tetapi pada kenyataannya?... Saya telah melaporkan (pada pihak berwenang) dan saya berharap kedua pemerintahan – Indonesia dan Amerika – segera terlibat. Kami tidak ingin orang-orang ini kabur begitu saja.”

Setidaknya dua orang kakak beradik diaspora Indonesia yang diduga sebagai pelaku skema ponzi ini menghilang segera setelah kasus ini mencuat di beberapa negara bagian. Meskipun demikian keduanya diduga masih tinggal di kawasan Elmhurst, New York. VOA telah berulangkali menghubungi keduanya melalui telepon dan meninggalkan pesan, tetapi tidak mendapat jawaban apapun.

Sebagian korban telah melapor pada kepolisian setempat dan FBI. Seperti William Kusanto.

“Iya saya sudah lapor polisi. Laporannya ia minta data-data kita orang dan kejadiannya gimana. Lapor ke FBI tapi FBI-nya lewat telepon. Mereka minta data-data aku dan pelaku.”

Korban Diminta Melapor

Kurs Rupiah terhadap Dolar
Karyawan bank menunjukkan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Senin (2/11/2020). Nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin (2/11) sore ditutup melemah 0,1 persen ke level Rp14.640 per dolar AS, dari perdagangan sebelumnya yaitu Rp14.690 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Atas laporan kasus ini, Atase Kepolisian di KBRI, Ary Laksamana Widjaja telah berkali-kali menyerukan agar warga dan diaspora Indonesia yang menjadi korban untuk segera melapor ke pihak berwenang, baik polisi maupun FBI. 

“Katakanlah ada yang melapor di New York, Los Angeles, Houston, Chicago, Tennessee dan sebagainya; mungkin satu dua orang dengan kerugian 5-10 ribu dolar per orang. Tampaknya kecil. Tapi jika yang melaporkan banyak maka akan tampak bahwa secara keseluruhan kasus ini besar dan aparat akan bertindak lebih cepat untuk mencegah lebih banyak korban yang jatuh.”

Ary mengatakan ia memahami keengganan warga dan diaspora Indonesia melapor karena sebagian ada yang tidak memiliki dokumen resmi.

“Kita sekarang mendorong mereka untuk melapor dan jangan takut dengan masalah status keimigrasian mereka. Tidak ada kaitan antara permasalahan hukum – pidana maupun perdata – dengan keimigrasian."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya