Liputan6.com, Kairo - Pada 26 Juli 1956, Presiden Mesir, Kolonel Gamal Abdel Nasser, mengumumkan nasionalisasi Perusahaan Terusan Suez untuk memberikan pendanaan untuk pembangunan Bendungan Tinggi Aswan.
Pemerintah Inggris dan pemegang saham Prancis yang memiliki saham di Perusahaan Terusan Suez kaget terhadap berita tersebut pada saat itu, demikian seperti dikutip dariÂ
Baca Juga
Dalam pidato dua setengah jam yang disampaikan kepada pertemuan massa di Alexandria, Presiden Nasser mengatakan Undang-Undang Nasionalisasi sudah diterbitkan dalam lembaran resmi.
Advertisement
Dia mengatakan semua aset perusahaan dari kedua negara tersebut di Mesir telah dibekukan dan pemegang saham akan dibayar harga saham mereka sesuai dengan harga penutupan di Bursa Efek Paris.
Dua belas orang Mesir telah ditunjuk sebagai anggota dewan khusus yang akan mengelola perusahaan yang baru dinasionalisasi.
Terusan Suez adalah jalur air utama untuk perdagangan dunia dan sumber pendapatan penting bagi Inggris.
Perusahaan Terusan Suez, yang mengelola saluran air, secara hukum dikelola Mesir tetapi, pada tahun 1869, Inggris diberikan konsesi 99 tahun.
Kontrak menjadwalkan terusan itu kembali ke tangan Pemerintah Mesir pada 16 November 1968. Namun, Kairo tak sabar.
Presiden Nasser, yang mengambil alih Mesir setelah Kudeta empat tahun sebelumnya, telah menerapkan program nasionalisasi di negara itu, menebalkan kritiknya terhadap Barat.
Dia mengatakan 120.000 orang Mesir telah meninggal membangun kanal tetapi Mesir hanya menerima sebagian kecil dari penghasilan tahunan 35 juta lira dari perusahaan tersebut.
Keputusan Presiden Nasser untuk menaungi perusahaan Terusan Suez datang menyusul penarikan bantuan keuangan Inggris dan Amerika Serikat terhadap Bendungan Aswan yang diinginkan Mesir.
Dipahami bahwa Uni Soviet justru setuju pada Juni 1956 untuk memberikan pinjaman tanpa syarat terhadap proyek Mesir.
Â
Dalam Konteks
Selain menasionalisasi Perusahaan Terusan Suez, Nasser juga memblokade Selat Tiran - satu-satunya perlintasan Israel ke Laut Merah.
Inggris dan Prancis bergabung dengan Israel, meskipun aliansi ini ditolak selama bertahun-tahun setelahnya.
Pada 29 Oktober 1956, pasukan Israel menyerbu Semenanjung Sinai Mesir.
Dua hari kemudian, pasukan militer Inggris dan Prancis menyerang dan menyerbu zona kanal Mesir setelah Presiden Nasser menolak tawaran mereka untuk menciptakan zona penyangga antara Israel dan Mesir.
Uni Soviet mengancam akan mengintervensi untuk membela Mesir.
Presiden Eisenhower dari Amerika Serikat dan PBB, khawatir Uni Eropa akan menggunakan krisis sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan di Timur Tengah, menekan Inggris, Prancis dan Israel untuk menyetujui gencatan senjata dan akhirnya penarikan diri dari Mesir pada November 1956.
Advertisement