Indonesia Perlu Sampaikan Kekecewaan ke China yang Minta Setop Pengeboran di Natuna

China protes melalui nota terkait pengeboran migas di kawasan laut di lepas pantai Natuna Utara.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Des 2021, 20:02 WIB
Diterbitkan 03 Des 2021, 19:05 WIB
Presiden AS Xi Jinping dalam pertemuan virtual dengan Presiden AS Joe Biden.
Presiden AS Xi Jinping dalam pertemuan virtual dengan Presiden AS Joe Biden. Dok: White House

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Republik Rakyat China (RRC) ketahuan mengirim protes ke Indonesia terkait  Natuna Utara. China merasa risih atas pengeboran migas di kawasan tersebut. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Jumat (3/12/2021), Dr. Dinna Prapto Raharja, pakar politik dan pendiri Synergy Policies, mengatakan Indonesia harus menanggapi nota protes China terkait Natuna Utara.

"Nota protes China itu tidak berdasar dan menunjukkan bahwa memang tidak ada penghormatan atas kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Nota ini wajib ditanggapi dengan bahasa yang terang dan tidak ditutup-tutupi tentang kekecewaan Indonesia atas komitmen China menghormati kedaulatan negara-negara Asia Tenggara," ujarnya.

Ia menambahkan, "selama bertahun-tahun China melakukan klaim tidak berdasar yang sama pada negara-negara di ASEAN. Ada mixed messages yang disampaikan China terkait komitmen damai dan penghormatan pada kedaulatan wilayah.”

Hal senada disampaikan Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR. 

"Sebelum rapat itu Bakamla melaporkan tentang keberadaan kapal-kapal China di seputar rig lepas pantai dan merasa terancam dengan kehadiran mereka. Setelah itu kami rapat dan lalu mempertanyakan hal itu ke Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Laut dan Kementerian Luar Negeri. Baru diketahui adanya nota protes itu," papar Farhan. 

"Nota diplomatik itu merupakan upaya sebuah negara untuk mendapat perhatian dari negara yang dikirimi nota itu. Sebagai sesama negara yang memiliki hubungan diplomatik, kita harus menanggapi. Apalagi karena konsep kedaulatan versi China dan versi Indonesia belum nyambung. Indonesia menggunakan UNCLOS, China tidak bersedia mengakui UNCLOS, tetapi menggunakan konsep sembilan garis putus-putus sebagai traditional fishing grounds-nya."

Sementara, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada VOA mengatakan "tidak dapat mengkonfirmasi isi berita tersebut," karena "komunikasi diplomatik, termasuk melalui nota diplomatik, bersifat tertutup."

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Hikmahanto: Indonesia Tidak Pernah Mengakui Sembilan Garis Putus

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)
Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)

Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia mengatakan nota protes itu tidak perlu ditanggapi. “Justru Pemerintah Indonesia melalui Bakamla perlu melakukan pengamanan agar pengeboran di rig lepas pantai tetap terlaksana,” tegasnya. 

Ada empat alasan menurutnya yang membuat Indonesia tidak perlu lagi menanggapi nota protes China itu. “Pertama, Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus yang diklaim oleh China di Laut China Selatan. Sementara China melakukan protes terhadap Indonesia atas dasar klaim sembilan garis putus ini.”

Hal kedua, ujarnya, adalah karena selama ini China mengklaim sembilan garis putus yang menjorok ke Indonesia terkait sumber daya alam sebagai 'traditional fishing ground'.

“Traditional fishing ground merujuk pada sumber daya laut yang berada di kolom laut, seperti ikan. Lalu mengapa China protes terkait aktifitas pengeboran sumber daya alam yang berada dibawah dasar laut? Apakah China dengan sembilan garis putus akan mengklaim sumber daya alam di dasar laut?” tanya Rektor Universias Jendral A. Yani itu.

Lebih jauh Hikmahanto mengatakan dengan mengabaikan protes China berarti Indonesia konsisten tidak mengakui klaim China atas sembilan garis putus. Dan terakhir, ujarnya, “merupakan hal yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut tanpa menghiraukan protes China” karena Indonesia justru “melaksanakan hak berdaulat atas Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara sesuai ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB.”

Potensi Eskalasi?

FOTO: Kemeriahan Peringatan 100 Tahun Partai Komunis China
Penampil berpakaian seperti petugas penyelamat berkumpul di sekitar bendera Partai Komunis selama pertunjukan gala menjelang peringatan 100 tahun berdirinya Partai Komunis China di Beijing, China, 28 Juni 2021. Partai Komunis China akan merayakan HUT ke-100 pada 1 Juli 2021. (AP Photo/Ng Han Guan)

Menghadapi kemungkinan peningkatan eskalasi di kawasan itu, pakar politik Dr. Dinna Prapto Raharja mengatakan itulah sebabnya Indonesia harus menyampaikan pesan yang tegas pada China agar negara itu “batas toleransi pemerintah Indonesia.”

“Pesan kita harus tegas. Kerjasama ekonomi tidak bisa diartikan berkompromi soal kedaulatan wilayah,” tegas Dinna.

Ia juga mendorong cara menjawab nota protes itu secara lebih luas, “bukan hanya bilateral, tetapi juga multilateral. Lewat PBB misalnya. Pastikan semua pihak update dengan tindak-tanduk China supaya sama-sama ada upaya meredakan nafsu China.”

Infografis Klaim Sepihak China di Laut Natuna

Infografis Klaim Sepihak China di Laut Natuna
Infografis Klaim Sepihak China di Laut Natuna. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya