Liputan6.com, Kabul - Norwegia mengecam dekrit Taliban Afghanistan terbaru yang menuntut perempuan menutupi seluruh tubuhnya di depan umum dan memperingatkan bahwa penguasa baru Afghanistan mengarahkan negara itu menuju bencana kemanusiaan, ekonomi dan HAM.
Dekrit Taliban, yang diumumkan pada hari Sabtu (7/5), memerintahkan semua perempuan Afghanistan mengenakan burka tradisional di depan umum.
Advertisement
Baca Juga
Burka tradisional pada prinsipnya adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh, dari kepala hingga ujung kaki. Taliban akan menghukum kerabat laki-laki mereka bila mereka tidak mematuhi dekrit tersebut, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (10/5/2022).
Dekrit terbaru ini serupa dengan yang diberlakukan oleh Taliban selama pemerintahan mereka sebelumnya di Afghanistan, pada 1996 hingga 2001.
Sebelumnya tahun ini, Taliban memutuskan untuk tidak membuka kembali sekolah untuk anak perempuan di atas kelas enam, mengingkari janji sebelumnya dan memilih untuk menenangkan basis pendukung garis keras mereka.
Keputusan itu telah menuai kecaman internasional dan mengganggu upaya Taliban, yang merebut kekuasaan di Afghanistan Agustus lalu, untuk mendapatkan pengakuan dari donor-donor internasional potensial pada saat negara itu terperosok dalam krisis kemanusiaan yang memburuk.
“Saya marah mengetahui ada pengumuman yang memperingatkan bahwa perempuan di Afghanistan harus menutupi wajah mereka di depan umum, tidak bisa mengendarai mobil dan hanya meninggalkan rumah bila diperlukan,'' kata Henrik Thune, Wakil Menteri Luar Negeri Norwegia, Minggu (8/5).
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebijakan Taliban
Thune mengatakan bahwa dekrit tersebut “sama sekali tidak dapat diterima'' dan menekankan bahwa meskipun Taliban berkuasa, “mereka masih merupakan pemerintah yang terisolasi dan tidak representatif.”
"Kebijakan Taliban terus menindas perempuan dan anak perempuan, bukannya mengatasi krisis ekonomi dan kebutuhan akan pemerintahan yang inklusif,'' katanya.
Norwegia menjadi tuan rumah pembicaraan tertutup selama tiga hari pada bulan Januari antara Taliban, para diplomat Barat dan delegasi-delegasi di pegunungan yang tertutup salju di atas Ibu Kota Norwegia, Oslo.
Pembicaraan itu -- yang pertama di Eropa sejak pengambilalihan oleh Taliban -- berfokus pada bantuan kemanusiaan untuk Afghanistan dan HAM. Menteri luar negeri yang ditunjuk Taliban, Amir Khan Muttaqi, mengatakan diskusi "berjalan sangat baik." Pembicaraan itu juga termasuk diskusi antara Taliban dan anggota masyarakat sipil Afghanistan.
Thune mengatakan perlu untuk melakukan dialog, “meski jika Taliban memiliki nilai-nilai yang jauh berbeda dengan nilai-nilai yang kita junjung." Ia menambahkan bahwa tanpa dialog, “kita tidak memiliki kesempatan untuk mempengaruhi mereka yang berkuasa.''
Ia mendesak Taliban untuk sekali lagi menepati janji mereka kepada perempuan dan anak perempuan Afghanistan. ''Perempuan dan anak perempuan Afghanistan sedang menunggu hak mereka untuk menikmati hidup sepenuhnya dan tidak dikucilkan dari masyarakat,'' katanya.
Advertisement
Harus Tutupi Wajah
Taliban pada Sabtu memutuskan perempuan Afghanistan harus menutupi wajah mereka, menurut keputusan dari pemimpin tertinggi kelompok itu.
Pengumuman ini menandai sebuah eskalasi pembatasan yang meningkat pada perempuan di depan umum yang menarik reaksi dari masyarakat internasional dan banyak warga Afghanistan.
Seorang juru bicara Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Wakil membaca keputusan dari pemimpin tertinggi kelompok itu Hibatullah Akhundzada pada konferensi pers di Kabul, mengatakan bahwa ayah seorang wanita atau kerabat laki-laki terdekat akan dikunjungi dan akhirnya dipenjara atau dipecat dari pekerjaan pemerintah jika seorang perempuan-nya tidak menutupi wajahnya di luar rumah.
Mereka menambahkan penutup wajah yang ideal adalah burkak atau burqa biru yang menutup semua tubuh, yang menjadi simbol global rezim garis keras Taliban sebelumnya dari tahun 1996 hingga 2001, Reuters mewartakan sebagaimana dikutip dari MSN News, Minggu (8/5/2022).
Sebagian besar wanita di Afghanistan mengenakan jilbab karena alasan agama, tetapi banyak di daerah perkotaan seperti Kabul tidak menutupi wajah mereka.
Kelompok ini telah menghadapi tekanan balik yang kuat, yang dipimpin oleh pemerintah Barat tetapi bergabung dengan beberapa ulama dan negara-negara Islam karena meningkatnya batas-batas mereka pada hak-hak perempuan.
Sebuah kemunduran yang mengejutkan pada bulan Maret di mana kelompok itu menutup sekolah menengah anak perempuan pada pagi hari yang akan dibuka menarik kemarahan masyarakat internasional dan mendorong Amerika Serikat untuk membatalkan pertemuan yang direncanakan untuk mengurangi krisis keuangan negara.
Negara Barat Memotong Bantuan untuk Afghanistan
Washington dan negara-negara lain telah memotong bantuan pembangunan dan memberlakukan sanksi ketat terhadap sistem perbankan, sejak Taliban mengambil alih pada bulan Agustus, mendorong negara itu menuju kehancuran ekonomi.
Taliban mengatakan telah berubah sejak terakhir kali memutuskan ketika melarang pendidikan anak perempuan atau perempuan meninggalkan rumah tanpa kerabat laki-laki dan perempuan diharuskan mengenakan penutup wajah mereka.
Namun dalam beberapa bulan terakhir pemerintah telah meningkatkan pembatasan pada wanita termasuk aturan yang membatasi perjalanan mereka tanpa pendamping laki-laki dan melarang pria dan wanita mengunjungi taman pada saat yang sama.
Selain itu, industri opium dilaporkan terus-terusan meroket di Afghanistan. Proses pembuatan narkoba di negara itu disebut beroperasi terang-terangan di area padang pasir.
Hal itu diungkap oleh The Washington Post yang menyebut industri opium di Afghanistan berkembang secara besar-besaran. Para pakar dan pejabat dari negara-negara Barat lantas khawatir bahwa Afghanistan bisa menjadi eksportir besar di dunia.
Para pemain industri opium di Afghanistan menggunakan tanaman ephedra.
Menurut laporan TOLO News, Rabu (4/5/2022), pihak pemerintah Taliban masih belum berkomentar atas laporan tersebut.
Pakar ekonomi Afghanistan, David Mansfield, menjelaskan bahwa lab untuk opium terpantau sangat sibuk dalam beberapa bulan terakhir karena banyaknya ephedra yang masuk.
Namun, mantan pejabat pemerintah dalam urusan narkoba mengakui bahwa bisnis narkoba bertambah di Afghanistan.
"Sebagaimana disebut di Washington Post, bisnis narkoba di Afghanistan telah meningkat," ujar Ibrahim Zahra, mantan deputi Kementerian Pengendalian Narkotika.
Advertisement