Badan Obat Eropa Rekomendasikan Penggunaan Vaksin COVID-19 Adaptasi dari Varian Omicron

European Medicines Agency (EMA) pada Kamis 1 September merekomendasikan penggunaan dua vaksin yang diadaptasi terhadap varian Omicron COVID-19 dari Pfizer/BioNTech dan Moderna.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 02 Sep 2022, 14:03 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2022, 14:03 WIB
Ilustrasi bendera Uni Eropa di kantor pusatnya di Brussels (AP Photo)
Ilustrasi bendera Uni Eropa di kantor pusatnya di Brussels (AP Photo)

Liputan6.com, Brussel - European Medicines Agency (EMA) pada Kamis 1 September merekomendasikan penggunaan dua vaksin yang diadaptasi terhadap varian Omicron COVID-19 dari Pfizer/BioNTech dan Moderna.

Vaksin adaptasi yang disebut sebagai Comirnaty Original/Omicron BA.1 (dari Pfizer/BioNTech) dan Spikevax Bivalent Original/Omicron BA.1 (dari Moderna) akan dikirim ke Komisi Eropa untuk disetujui, setelah itu vaksin dapat digunakan untuk disuntikkan ke manusia.

Penggunaan vaksin ini minimal bagi mereka yang berusia 12 tahun ke atas yang telah menerima setidaknya vaksinasi primer COVID-19, seperti dikutip dari Xinhua, Jumat (2/9/2022).

Menurut EMA, penelitian menunjukkan bahwa vaksin ini dapat memicu respons imun yang kuat terhadap Omicron BA.1 dan strain COVID-19 asli pada orang yang sebelumnya divaksinasi. Efek samping yang diamati dari penggunaan vaksin yang diadaptasi ini sebanding dengan yang terlihat pada vaksin sebelumnya, yaitu ringan dan punya efek ringan.

"Ketika pandemi berkembang, strategi UE adalah memiliki berbagai vaksin yang diadaptasi guna menargetkan varian yang berbeda sehingga negara-negara anggota memiliki sejumlah pilihan untuk memenuhi kebutuhan mereka ketika merancang strategi vaksinasi masing-masing."

"Ini adalah elemen kunci dalam strategi keseluruhan untuk memerangi pandemi COVID-19 karena tidak mungkin bisa memprediksi bagaimana virus akan berkembang di masa depan dan varian mana yang akan beredar musim dingin ini," kata EMA.

Vaksin adaptasi lainnya yang seharusnya melindungi lebih baik terhadap varian lain, seperti subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, saat ini sedang ditinjau EMA.

Jepang Alami Gelombang COVID-19 Terburuk, Turis Asing Masih Sulit Masuk

Ilustrasi bendera Jepang (AFP/Toru Yamanaka)
Ilustrasi bendera Jepang (AFP/Toru Yamanaka)

Jepang, yang selama ini mendapat pujian karena berhasil menjaga kasus Virus Corona dan kematiannya sebagian besar terkendali di awal pandemi, mengalami gelombang Virus Corona paling parah sejauh ini dan telah menjadi hotspot virus tersebut di Asia Timur.

Dilansir ABC, Kamis (1/9/2022), negara ini masih memiliki pembatasan jumlah turis asing yang diizinkan masuk. Meski baru saja mengumumkan akan melonggarkan aturan ketat yang membatasi pergerakan bagi mereka yang ingin berkunjung.

Ketika mencapai kasus sebanyak 1.476.374, Jepang melaporkan jumlah kasus mingguan tertinggi di dunia selama seminggu hingga 21 Agustus, menurut pembaruan epidemiologi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang pandemi COVID-19.

"Data itu juga mencatat jumlah kematian tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat yakni sebanyak 1.624, kata WHO dalam pembaruan mingguannya. 

Kentaro Iwata, seorang profesor penyakit menular di Universitas Kobe, mengatakan kepada ABC bahwa gelombang ketujuh telah didorong oleh varian BA.5 Omicron, kurangnya kekebalan dan rendahnya vaksinasi di kalangan anak muda. 

Profesor Iwata mengatakan Jepang berhasil mengendalikan wabah varian Omicron sebelumnya, tidak seperti AS dan banyak negara Eropa, yang berarti kekebalan di masyarakat kurang. 

"Kami melindungi diri dari infeksi sampai saat ini, yang berarti kami tidak memiliki kekebalan yang diberikan oleh infeksi alami. Oleh karena itu kami sangat rentan terhadap banyak infeksi," katanya.

Dia mengatakan sebagian besar kasus menyebar di antara orang dewasa muda yang umumnya lebih puas diri dan memiliki tingkat vaksinasi yang lebih rendah daripada kelompok usia lainnya.

Gagal Distribusi Obat

FOTO: Tokyo Darurat Virus Corona COVID-19
Seorang wanita yang mengenakan masker untuk membantu mengekang penyebaran virus corona COVID-19 keluar dari gerbang stasiun kereta api di Tokyo, Jepang, Jumat (6/8/2021). Tokyo dalam keadaan darurat virus corona COVID-19 sejak pertengahan Juli. (AP Photo/Kantaro Komiya)

Mengenai tingkat kematian COVID-19 Jepang selama gelombang ini, Profesor Iwata mengatakan Jepang berjuang untuk mendistribusikan obat anti-virus yang cukup, seperti Paxlovid, kepada orang-orang yang rentan, yang menghasilkan tingkat kematian yang lebih tinggi. 

"Pemerintah Jepang gagal mendistribusikan obat ini dengan baik. Jadi kami menggunakan obat ini hanya untuk 60.000 orang, sedangkan di Korea lebih dari 300.000 menerima obat ini sekarang dengan sekitar setengah ukuran populasi dibandingkan dengan Jepang."

Aturan untuk Turis Asing

Suasana Malam di Tokyo Jelang Pemberlakuan Pembatasan Baru
Orang-orang yang memakai masker berjalan di distrik Shibuya di Tokyo (19/1/2022). Pemerintah Jepang menyetujui pembatasan virus corona baru di sebagian besar negara, termasuk ibu kota untuk memerangi rekor infeksi yang dipicu oleh varian Omicron. (AFP/Behrouz Mehri)

Ketika negara itu mengalami gelombang lain kasus virus corona, pemerintah telah mengambil langkah hati-hati untuk melonggarkan pembatasan perbatasan yang diberlakukan pada awal pandemi.

Pada bulan Juni, Jepang mulai mengizinkan turis asing kembali tetapi membatasi jumlahnya menjadi 20.000 per hari.

Pengunjung hanya dapat melakukan perjalanan dalam tur kecil yang terorganisir, harus mengikuti pemandu mereka dengan ketat dan hanya dapat meninggalkan akomodasi mereka untuk tamasya yang direncanakan.

Namun semalam, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengumumkan batas tersebut akan dinaikkan menjadi 50.000 dan persyaratan untuk melakukan perjalanan hanya dengan tur terorganisir akan dibatalkan mulai 7 September.

Saat ini, semua pelancong yang masuk harus telah menerima tiga dosis vaksin COVID-19 dan menunjukkan tes PCR negatif yang diambil 72 jam sebelum kedatangan.

Delirium, Gejala COVID-19, Gejala Baru COVID-19, Gejala Covid, Gejala Baru Covid
Infografis yang menyebut bahwa delirium merupakan gejala baru dari COVID-19, penyakit yang disebabkan Virus Corona SARS-CoV-2, tersebar di media sosial dan grup WhatsApp. (Sumber: Istimewa)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya