Liputan6.com, Pyongyang - Korea Utara mengatakan bahwa mereka tidak mengekspor senjata apa pun ke Rusia selama perang antara Ukraina-Rusia. Selain itu pihaknya juga tidak memiliki rencana untuk melakukannya.
Pyongyang menyebut laporan intelijen AS tentang transfer senjata itu adalah upaya untuk menodai citra Korea Utara.
Advertisement
Baca Juga
Laporan dari media pemerintah Korea Utara pada Kamis (22/9/2022) membuat seorang pejabat pertahanan Korea Utara yang tidak ingin disebutkan namanya menghimbau AS untuk berhenti membuat "pernyataan sembrono" dan untuk "tutup mulut". Pasalnya, awal bulan ini, para pejabat pemerintahan Biden mengonfirmasi perkiraan intelijen AS yang telah dideklasifikasi bahwa Rusia sedang dalam proses pembelian senjata dari Korea Utara, termasuk jutaan peluru artileri dan roket -- ketika Moskow berusaha untuk mengurangi kekurangan pasokan senjatanya di Ukraina yang diperburuk oleh sanksi yang diberikan AS ke Rusia.
Advertisement
Seperti dikutip dari laman AP News, pernyataan Korea Utara ini muncul beberapa minggu setelah Moskow menyatakan temuan intelijen AS itu "palsu".
Ekspor senjata dari Korea Utara ke Rusia bisa melanggar sejumlah resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melarang negara itu mengimpor atau mengekspor senjata.
Pejabat Korea Utara menegaskan bahwa Pyongyang tidak pernah mengakui atau menganggap sanksi Dewan Keamanan PBB yang “melanggar hukum” terhadapnya yang dibuat oleh AS dan sekutunya. Pejabat itu juga mengatakan bahwa ekspor dan impor perangkat militer adalah "hak yang sah dan lazim bagi negara berdaulat," menurut pernyataan yang diterbitkan oleh Korean Central News Agency (KCNA).
"Kami mengambil kesempatan ini untuk memperjelas satu hal. Kami belum pernah mengekspor senjata atau amunisi ke Rusia sebelumnya dan kami tidak berencana untuk mengekspornya," kata pejabat yang disebut sebagai Wakil Direktur Biro Peralatan Umum Kementerian Pertahanan Nasional di Korea Utara.
"Tidak pasti dari mana asal rumor yang disebarkan oleh AS, tetapi hal tersebut bertujuan untuk menodai citra DPRK," kata pejabat itu. DPRK merupakan nama resmi negara itu, Republik Rakyat Demokratik Korea.
Isyarat Korea Utara
Pada bulan Agustus lalu, Rusia membeli pesawat tak berawak buatan Iran yang menurut para pejabat AS memiliki masalah teknis. Hal tersebut dilakukan karena Rusia masih menghadapi sanksi dan kontrol ekspor.
Para ahli mengatakan bahwa jika Korea Utara bersedia, mereka bisa menjadi sumber utama persenjataan kecil, artileri, dan amunisi militer lainnya untuk Rusia, mengingat kompatibilitas sistem pertahanan mereka yang didasarkan pada kekuatan Soviet.
Korea Utara telah berusaha untuk mempererat hubungan dengan Rusia bahkan ketika sebagian besar Eropa dan Barat telah menjauh, mereka menyalahkan AS atas krisis tersebut dan mengecam "kebijakan hegemonik" Barat sebagai pembenaran tindakan militer Rusia di Ukraina untuk melindungi dirinya sendiri.
Korea Utara juga dianggap telah memanfaatkan perang sebagai jendela untuk mempercepat pengembangan persenjataannya sendiri, menguji lusinan persenjataan termasuk rudal jarak jauh pertamanya sejak tahun 2017, mengeksploitasi perpecahan di Dewan Keamanan PBB, ketika Rusia dan China berupaya menghalangi AS untuk memperketat sanksi terhadap Pyongyang.
Pemerintah Korea Utara juga mengisyaratkan bahwa mereka tertarik untuk mengirim pekerja konstruksi untuk membantu membangun kembali daerah-daerah yang baru bergabung ke Rusia di timur Ukraina. Kemudian pada bulan Juli, Korea Utara menjadi satu-satunya negara selain Rusia dan Suriah yang mengakui kemerdekaan wilayah Donetsk dan Luhansk.
Advertisement
Laporan Itelijen AS
Menurut laporan intelijen AS yang baru dideklasifikasi dari Amerika Serikat, Kementerian pertahanan Rusia sedang dalam proses pembelian jutaan roket dan peluru artileri dari Korea Utara untuk mendukung invasinya ke Ukraina.
Seorang pejabat AS yang identitasnya tidak mau disebutkan itu mengatakan bahwa dengan fakta Rusia beralih mendekati negara yang terisolasi, Korea Utara menunjukkan militer Rusia terus menderita kekurangan pasokan senjata, dan sebagian karena kontrol ekspor dan sanksi.
Para pejabat intelijen AS percaya bahwa Rusia mungkin dapat membeli peralatan militer Korea Utara tambahan di masa depan. Temuan intelijen itu pertama kali dilaporkan oleh The New York Times, seperti dikutip dari laman AP News, Selasa (6/9/2022).
The New York Times, yang pertama kali melaporkan pembelian tersebut, mengatakan bahwa laporan tersebut hanya memberikan sedikit detail tentang persenjataan yang terlibat atau waktu atau ukuran pengiriman. Pejabat AS itu tidak merinci berapa banyak persenjataan yang ingin dibeli Rusia dari Korea Utara.
Temuan ini muncul setelah pemerintahan Biden baru-baru ini mengonfirmasi bahwa militer Rusia pada bulan Agustus menerima pengiriman drone yang diproduksi Iran untuk digunakan di medan perang di Ukraina.
Gedung Putih mengatakan bahwa Rusia telah menghadapi masalah teknis dengan drone buatan Iran yang diperoleh dari Teheran pada bulan Agustus, untuk digunakan dalam perangnya dengan Ukraina.
Baru-baru ini, Rusia mengambil Mohajer-6 dan Shahed –kendaraan udara tak berawak dari Iran, sejalan dengan apa yang dikatakan pemerintahan Biden yang kemungkinan hal tersebut merupakan rencana Rusia untuk memperoleh ratusan UAV Iran untuk digunakan di Ukraina.
Putin dan Kim Bertukar Surat
Di tahun 2022, Korea Utara telah menguji coba lebih dari 30 rudal balistik, termasuk di antaranya adalah penerbangan pertama rudal balistik antarbenua yang sudah dilakukan sejak 2017, saat Kim Jong Un berusaha untuk memajukan persenjataan nuklirnya meskipun ada tekanan dan saksi dari AS.
AS sering kali menjatuhkan dan mengungkap temuan intelijen selama perang yang berkecamuk di Ukraina untuk menyoroti rencana operasi misinformasi Rusia atau untuk memusatkan perhatian pada kesulitan Moskow dalam melaksanakan perang tersebut. Militer Ukraina yang lebih lemah telah melakukan perlawanan keras terhadap pasukan Rusia yang secara militer lebih unggul.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kim baru-baru ini saling bertukar surat di mana mereka berdua menyerukan kerja sama "komprehensif" dan "strategis dan taktis" antara kedua negara. Moskow, pada bagiannya, telah mengeluarkan pernyataan yang mengutuk kebangkitan kembali latihan militer berskala besar antara Amerika Serikat dan Korea Selatan tahun ini, yang dipandang Korea Utara sebagai latihan invasi.
Rusia, bersama dengan China, telah menyerukan keringanan sanksi PBB yang dikenakan pada Korea Utara atas uji coba nuklir dan rudalnya. Kedua negara tersebut adalah anggota Dewan Keamanan PBB, yang telah menyetujui total 11 putaran sanksi terhadap Korea Utara sejak tahun 2006. Pada bulan Mei, Rusia dan China memveto tawaran yang dipimpin AS untuk menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Korea Utara atas uji coba rudal tingkat tinggi tahun ini.
Beberapa ahli mengatakan bahwa Kim kemungkinan dapat memperkuat niatnya untuk mempertahankan senjata nuklirnya karena dia mungkin berpikir serangan Rusia terjadi karena Korut telah menandatangani persenjataan nuklirnya.
Advertisement