Liputan6.com, Jakarta - Pihak berwenang India telah menghentikan produksi sirup obat batuk di pabrik Maiden Pharmaceuticals, kata seorang menteri negara bagian pada Rabu (12/10). Penghentian itu dilakukan setelah adanya laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa obat tersebut mungkin terkait dengan kematian puluhan anak di Gambia.
Menteri Kesehatan di negara bagian Haryana, Anil Vij, mengatakan kepada mitra Reuters ANI bahwa pihak berwenang memeriksa pabrik Maiden yang berlokasi di dekat Kota Sonipat.
Mereka menemukan adanya 12 pelanggaran praktik yang tidak sesuai prosedur. Untuk itu, kata Vij, mereka memerintahkan pabrik untuk mengentikan produksi, dikutip dari laman VOA Indonesia, (12/10/2022).
Advertisement
WHO mengatakan pada pekan lalu bahwa analisis laboratorium dari empat produk Maiden - Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup dan Magrip N Cold Syrup – menujukkan produk-produk tersebut memiliki kandungan dietilen glikol dan etilen glikol yang "tidak dapat diterima.” Kandungan tersebut dapat menjadi racun dan timbal sehingga mengakibatkan cedera ginjal akut.
Polisi Gambia, dalam laporan penyelidikan awal pada Selasa (11/10), mengatakan bahwa kematian 69 anak-anak tersebut diakibatkan cedera ginjal akut yang terkait dengan sirup obat batuk yang dibuat di India. Obat-obatan tersebut diimpor melalui perusahaan yang berbasis di AS.
Peristiwa ini adalah salah satu insiden terburuk yang melibatkan obat-obatan dari India, yang sering dijuluki sebagai "apotek dunia.”
Situs web berita Moneycontrol sebelumnya mengutip BPOM Haryana yang mengatakan dalam sebuah laporan bahwa Maiden tidak melakukan pengujian kualitas propilen glikol, dietilen glikol dan etilena glikol, sementara pasokan propilen glikol tertentu yang digunakan dalam produksi obat tersebut tidak memiliki tanggal pembuatan dan kedaluwarsa.
Bahan yang Digunakan dalam Farmasi
Dietilen glikol dan etilena glikol digunakan dalam cairan antibeku dan cairan rem, namun kedua bahan tersebut juga digunakan sebagai alternatif yang lebih murah di beberapa produk farmasi untuk menggantikan gliserin, pelarut atau zat pengental dalam banyak sirup obat batuk.
Eksekutif Maiden Naresh Kumar Goyal menolak berkomentar. Dia mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa perusahaan itu berusaha mencari tahu dari pembelinya apa yang terjadi di Gambia.
Maiden mengatakan di situs webnya bahwa kapasitas produksi perusahaan tahunan mencapai 2,2 juta botol sirup, 600 juta kapsul, 18 juta suntikan, 300.000 tabung salep dan 1,2 miliar tablet yang dihasilkan di tiga pabrik.
Mereka menjual produknya di dalam negeri dan mengekspor ke negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Kementerian Kesehatan India mengatakan pekan lalu bahwa sampel dari keempat produk Maiden yang telah diekspor ke Gambia telah dikirim untuk diuji di laboratorium federal. Hasil uji laboratorium itu akan "menjadi dasar tindakan lebih lanjut serta memberikan kejelasan tentang masukan yang diterima/untuk diterima dari WHO."
Advertisement
WHO Terbitkan Peringatan atas Obat Batuk Produksi India
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan peringatan global terhadap empat sirup obat batuk yang disinyalir terkait dengan kematian 66 anak di Gambia. WHO menyebut sirup itu berpotensi 'menyebabkan sakit ginjal akut dan 66 kematian pada anak'.
Produk-produk itu dibuat oleh perusahaan India, Maiden Pharmaceuticals. Menurut WHO, mereka gagal menyediakan jaminan tentang keamanan produk mereka.
Sementara itu, perusahaan belum berkomentar, dikutip dari BBC, Senin (10/10/2022). Sementara, pejabat India menyatakan bahwa mereka sudah meminta WHO untuk membagikan bukti keterkaitan antara obat batuk itu dengan sejumlah kematian anak.
WHO mengidentifikasi keempat obat batuk dimaksud adalah Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Keempat produk telah diidentifikasi tersedia di Gambia, tetapi 'bisa saja didistribusikan melalui pasar informal ke negara atau kawasan lain'," kata WHO sebagaimana tercantum dalam peringatan yang dipublikasikan di laman resmi mereka.
Badan PBB itu juga memperingatkan penggunaan obat tersebut bisa menyebabkan penyakit serius maupun kematian, terutama di antara anak-anak. Intervensi WHO datang setelah otoritas kesehatan Gambia yang merupakan salah satu destinasi wisata populer, mendeteksi peningkatan kasus penyakit ginjal akun di antara anak-anak balita pada akhir Juli 2022.
Sejak itu, pemerintah Gambia menyetop penggunaan semua sirup parasetamol dan menggantinya dengan tablet. Direktur Layanan Kesehatan Gambia, Mustapha Bittay mengatakan kepada BBC's Focus dalam program Afrika, bahwa angka kematian telah menurun sejak pelarangan tersebut, tapi dua kasus tambahan tercatat dalam dua minggu terakhir.
Laboratorium Tak Mampu
Bittay mengatakan bahwa Gambia saat ini belum memiliki laboratorium yang mampu menguji apakah obat-obatan aman digunakan. Karena itu, mereka mengirimkannya ke luar negeri untuk diuji. Dia juga menambahkan bahwa Gambia sedang berdiskusi dengan Bank Dunia untuk bisa mendanai pengadaan laboratorium pengujian mutu.
Sementara, WHO menyebut laboratorium yang menganalisis sejumlah sampel produk 'mengonfirmasi bahwa obat batuk itu mengandung kontaminan dietilen glikol dan etilen glikol dalam jumlah yang tidak bisa diterima'. Senyawa itu beracun dan efeknya meliputi 'sakit perut, muntal, diare, tidak mampu kencing, sakit kepala, perubahan kondisi mental, hingga cedera ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian'.
Bittay juga menyatakan sampel itu mendeteksi E.coli, bakteri penyebab diare dan muntah-muntah. Pejabat kesehatan Gambia mengatakan pada bulan lalu, puluhan anak meninggal dunia, tanpa menyebut angka pasti.
Merespons kematian tersebut, Kepala WHO Tedros Ghebreyesus mengatakan di Jenewa, Rabu pekan lalu, "Kehilangan nyawa anak-anak muda ini jelas sangat menyedihkan bagi keluarga mereka."
Advertisement