Liputan6.com, Crimea - Semenanjung Crimea direbut oleh Rusia pada tahun 2014. Di wilayah itu ada populasi Muslim Tatar yang jumlahnya signifikan. Ketika aneksasi terjadi waktu itu, Ukraina belum dapat melawan Rusia.
Lokasi itu kini dijadikan basis militer Rusia dalam menyerang Ukraina. Seorang aktivis HAM dan politik Crimea, Tamila Tasheva mengungkap cerita dari Crimea saat warga setempat dipersekusi karena menentang Rusia.
Advertisement
Baca Juga
Tamila kini merupakan Perwakilan Permanen Presiden Ukraina di Crimea. Ia bercerita bagaimana Rusia memakai metode serupa di perang saat ini, seperti mereka menyerang warga Crimea dulu. Orang-orang yang diculik kemudian dibawa ke Crimea
"Pada 2022 setelah dimulainya invasi skala penuh, mereka menggunakan metode sama, cara sama, seperti yang mereka lakukan delapan tahun lalu di Crimea," ujar Tamila kepada Liputan6.com, Kamis (2/3/2023).
"Contohnya di daerah Kherson atau Zaporizhzhia, mereka menculik aktivis, sukarelawan, di Kherson," lanjutnya. "Mereka menyiksa orang-orang tersebut, kemudian mentransfer mereka ke Crimea. Untuk memenjarakan dan juga menyiksa. Sayangnya saya punya banyak sekali bukti dari warga Crimea yang kini dipenjara di Crimea".
Selain itu, ia menyebut Crimea kadang-kadang menjadi lokasi transit orang-orang Ukraina yang dibawa paksa ke Rusia.
Tamila dan rombongannya sedang berkunjung ke Indonesia untuk bertemu para tokoh-tokoh. Selama lima hari, rombongannya bertemu dengan para akademisi, anggota DPR, MUI, hingga Habibie Center.
Wanita itu bercerita bagaimana orang Crimea yang terang-terangan mendukung Ukraina bisa ditangkap oleh Rusia. Orang-orang Muslim di Crimea pun dipenjara. Tamila lantas membantah jika Rusia diidentikan dengan pro-Muslim.
Pihak Tamila juga memberikan daftar tahanan politik dari Crimea yang berusia 50 tahun ke atas. Yang tertua adalah Halyna Dovphopola, seorang wanita berusia 67 tahun.
Situs Kharkiv Human Rights Protection Group menyebut wanita Crimea itu ditangkap karena pandangannya yang pro-Ukraina. Ia divonis 12 tahun penjara.
Crimea direbut Rusia pada 2014 melalui referendum, namun tidak diakui oleh dunia internasional.
Bos CIA: Putin Terlalu Percaya Diri Bisa Menaklukkan Ukraina
Ketika perang Ukraina memasuki tahun kedua, Direktur CIA William Burns mengatakan pada Minggu (26/2/2023), Presiden Rusia Vladimir Putin terlalu percaya diri pada kemampuan militernya untuk menaklukkan Ukraina.
Burns, dalam sebuah wawancara televisi, mengungkapkan bahwa kepala dinas intelijen Rusia telah menunjukkan keangkuhan dan kelewat percaya diri selama pertemuan mereka pada November 2022. Sikap itu menurutnya mencerminkan keyakinan Putin bahwa dia percaya dapat menghancurkan Ukraina, melemahkan sekutu Amerika Serikat (AS), hingga akhirnya kelelahan politik akan muncul.
Putin, sebut Burns, cukup bertekad untuk terus melanjutkan perang. Meskipun terdapat korban jiwa, kekurangan taktis, serta kerusakan pada ekonomi dan reputasi Rusia.
"Saya rasa Putin, saat ini, sepenuhnya terlalu percaya diri dengan kemampuannya ... untuk melemahkan Ukraina," kata Burns dalam wawancara dengan CBS seperti dikutip AP, Selasa (28/2/2023).
Burns juga mengatakan Putin meremehkan tekad AS untuk mendukung Ukraina. Wawancara Burns ini muncul pada saat kritis perang Ukraina karena AS yakin bahwa China sedang mempertimbangkan apakah akan memberikan peralatan militer mematikan ke Rusia.
"Itu akan menjadi taruhan yang sangat berisiko dan tidak bijaksana," kata Burns, seraya menambahkan bahwa langkah seperti itu hanya akan semakin memperkeruh hubungan antara dua ekonomi terbesar dunia itu. "Itulah mengapa saya sangat berharap mereka tidak melakukannya."
Burns melanjutkan, Presiden China Xi Jinping, telah mengamati dengan cermat bagaimana perang telah berkembang.
Advertisement
461 Anak Ukraina Terbunuh dalam Setahun Perang dengan Rusia
Ombudsman Ukraina Dmytro Lubinets menyatakan bahwa 461 anak telah terbunuh sejak dimulainya perang Rusia-Ukraina satu tahun lalu.
"Angka-angka ini belum final. Untuk mengklarifikasi ini, pekerjaan masih berlanjut di daerah yang diduduki sementara, dibebaskan, dan di mana konflik berlanjut," kata Lubinets kepada Anadolu dalam sebuah wawancara, Jumat (24/2), dikutip dari Antara, Sabtu (25/2).
Menurut dia, saat ini sulit untuk menentukan jumlah pasti warga Ukraina yang melarikan diri dari negara itu sejak awal perang.
Sementara berdasarkan angka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat lebih dari 8 juta pengungsi Ukraina di Eropa hingga 20 Februari 2023, 5 juta diantaranya telah terdaftar dalam berbagai program perlindungan nasional negara-negara Eropa.
Lubinets lebih lanjut mengatakan ombudsman tidak tahu berapa banyak warga Ukraina yang berada di Rusia dan Belarusia, tetapi lebih dari 15 juta orang meninggalkan Ukraina berdasarkan informasi dari badan pengungsi PBB tentang jumlah mereka yang melintasi perbatasan Ukraina.
Dia juga mencatat bahwa banyak anak yang dirugikan akibat perang.
"Ada 520.000 anak Ukraina di luar negeri karena perang yang dilakukan oleh Rusia," kata dia.
Ratusan Ribu Anak Jadi Pengungsi, Ribuan Kehilangan Orang Tua
Karena Rusia menghalangi akses informasi dan kontak tentang warga Ukraina yang dideportasi secara ilegal dengan segala cara, Lubinets memperkirakan jumlahnya bisa mencapai hingga 150.000 anak.
Dia juga mengatakan 6.447 anak--yang kehilangan orang tua mereka-- telah diidentifikasi. Sebanyak 1.233 di antaranya tidak memiliki keluarga.
"Sebagian besar dari anak-anak ini, yaitu 4.161 dari mereka, untuk sementara ditempatkan dengan kerabat dan kenalan. Yang lainnya berada di keluarga asuh dan panti asuhan keluarga, sementara 4.400 anak, termasuk 638 yang terkait dengan keadaan agresi militer Rusia terhadap Ukraina, diberikan status yatim piatu atau kehilangan pengasuhan orang tua,” ujar dia.
Dia juga mengatakan 2.826 anak tanpa satu atau lebih orang tua dievakuasi ke zona aman di Ukraina, dan 5.325 anak dikirim ke luar negeri.
Lubinets menambahkan bahwa kesehatan mental hampir 1,5 juta anak di Ukraina terancam, dan pendidikan 5,7 juta anak telah terganggu.
Pada 24 Februari tahun lalu, Rusia mendeklarasikan operasi militer khusus di Ukraina, yang mengakibatkan kematian sedikitnya 8.006 warga sipil dan 13.287 orang luka-luka, menurut angka terbaru PBB.
Advertisement